Berdayakan Warga dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Sejak 2007, akses sumberdaya hutan mulai dimunculkan oleh pemerintah, apalagi saat dikeluarkan PP No. 6 tahun 2007 Jo PP No 3 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Manfaat sumber daya hutan dapat diperoleh secara adil jika dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat, melalui pengembangan kapasitas dan jaringan. Sehingga, langkah yang ditempuh yaitu dengan membentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), melalui Permenhut P.37/Menhut-II/2007. Permenhut ini menjadi kebijakan operasional dalam pelaksanaan HKm.

Kawasan hutan yang dapat dialokasikan untuk HKm adalah hutan lindung dan hutan produksi. Lewat HKm, masyarakat boleh memanfaatkan hutan selama jangka waktu 35 tahun. Dalam Permenhut 37/2007, pemberian ijin jangka panjang pengelolaan HKM itu ditempuh dengan penetapan areal kerja HKm terlebih dahulu oleh Menhut, setelah ada usulan dari bupati setempat.

Ada dua jenis perijinan pengelolaan HKm: Pertama, Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), dikeluarkan oleh Bupati atau Gubernur untuk lintas kabupaten. IUPHKm merupakan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan selain kayu pada areal kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Kedua, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK HKm), yang diberikan oleh Menhut, dan Menhut dapat mendelegasikan pemberian ijin itu kepada Gubernur. IUPHHK HKm merupakan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam areal IUPHKm pada hutan produksi.

Pemanfaatan HKm pada hutan produksi meliputi pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sementara di hutan lindung juga meliputi pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil bukan kayu.

Perjalanan HKm

HKm telah mengalami perubahan kebijakan sebanyak empat kali, hingga dilaksanakannya launching HKm Desember 2007. Perjalanan HKm dapat diikuti secara singkat sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seperti sebagai berikut:

  1. Kepmenhut No. 622/Kpts-II/1995

Kebijakan HKm dimulai pada masa Menteri Kehutanan Djamaludin Suryohadikusumo, dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan.

Konsep HKm di sini bukan untuk “pemberdayaan masyarakat”, tetapi hanya sebatas mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan hutan. Skema pendekatannya berupa “proyek tumpangsari” dengan masyarakat sebagai obyek dalam pembangunan hutan. Peserta kegiatan HKm diberi waktu melakukan kegiatannya di areal HKm selama dua tahun berturut-turut.

Manfaat masih tampak terbatas, Hak masyarakat dalam mengelola HKm hanya pada kawasan kritis dan dalam kerangka rehabilitasi hutan. Sehingga, terlihat pengelolaan HKm hanya untuk memperoleh tenaga kerja murah.

  1. Kepmenhut 677/1998

HKm 622/1995 tidak bertahan lama, pada masa Menteri Kehutanan Dr. Ir. Muslimin Nasution keluar kebijakan SK Menhutbun No. 677/kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Kebijakan ini membawa angin segar, terdapat beberapa kemajuan dalam substansinya.

Pertama, HKm sudah memasukkan unsur memberdayakan masyarakat. Kedua, terdapat peluang bahwa hasil hutan yang dipungut masyarakat bukan hanya non kayu tetapi juga kayu. Ketiga, muncul kejelasan hak kelola areal HKm, masyarakat diberi Hak Pengusahaan HKm untuk jangka waktu 35 tahun. Keempat, terbukanya partisipasi pihak lain untuk memfasilitasi pengembangan HKm. Kelima, ide ekowisata hadir, hutan dapat dimanfaatkan sebagai taman rekreasi. Disini hutan diperkenalkan tak hanya berfungsi ekonomi, tapi juga ekologi.

  1. Kepmenhut 31/2001

Tiga tahun kemudian, saat DR. Nur Mahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan, keluar kebijakan baru berupa keputusan menteri nomor 31/kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan HKm. Dengan begitu, Kepmen No 677/1998 tidak berlaku lagi, karena dianggap tidak sesuai dengan UU No. 41/1999 yang merupakan peraturan lebih tinggi dan menjadi konsideran bagi sebuah keputusan menteri.

Kelebihan Kepmenhut 31/2001 antara lain: pertama, penyelenggaraan HKm untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga sebagai petunjuk bahwa masyarakat adalah pelaku utama. Kedua, kebijakan ini dapat memberi peluang untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan. Kepmenhut ini memuat kewenangan Bupati untuk memberikan ijin kepada kelompok masyarakat dalam pengelolaan HKm, proaktif dalam memfasilitasi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Ketiga, adanya inisiatif HKm untuk mengembangkan dan menganut asas-asas demokrasi, keadilan sosial, akuntabilitas publik, dan kepastian hukum. Tentu hal ini menjadi jaminan bagi masyarakat untuk mengelola HKm dalam jangka panjang dengan ‘rasa aman’. Keempat, penyelenggaraan HKm terdapat proses bagi peran antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, serta forum pemerhati kehutanan.

  1. Permenhut 37/2007

Permenhut 37/2007 tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelumnya. Tapi terdapat perbedaan antar kedua aturan itu, seperti tentang lama ijin, bentuk perijinan, dan yang berwenang memberi ijin.

Lama perijinan dalam permenhut 37/2007 yaitu 35 tahun, sedangkan pada SK 31/2001 lama ijin hanya 25 tahun, dengan didahului ijin sementara selama 5 tahun. Dalam ijin sementara itu, setiap kelompok harus membenahi kelembagaannya dan segera membentuk koperasi.

Bentuk perijinan dalam aturan ini ada dua jenis, pertama, ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu HKm (IUPHHK HKm). IUPHKm 35 tahun merupakan ijin pemanfaatan pada semua aspek, kecuali ijin pemanfaatan kayu. Jika kelompok ingin memanfaatkan kayunya, maka kelompok tersebut harus mengajukan ijin lagi yang disebut IUPHHK HKm. Sedangkan SK 31/2001, hanya ada satu ijin yang terdiri dari ijin sementara dan ijin defenitif.

Kewenangan pemberi ijin pada P.37/2007 ada dua jenis, pertama, ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), yang dikeluarkan oleh Gubernur atau Bupati. Ijin ini merupakan usaha pemanfaatan hasil hutan selain kayu pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Kedua, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK HKm), yang diberikan oleh Menhut dan Menhut mendelegasikannya ke Gubernur. IUPHHK HKm merupakan ijin pemanfaatan hasil hutan kayu dalam areal IUPHKm pada hutan produksi. Sedang semua ijin dalam SK 31/2001 dikeluarkan oleh Bupati.

Perjalanan HK mini diliputi berbagai fenomena, seperti lamanya waktu dan pergantian Menteri Kehutanan. Pengakuan pemerintah kepada kelompok HKm untuk mendapatkan legalitas membutuhkan waktu hingga 12 tahun, serta mengalami pergantian Menteri Kehutanan sebanyak tujuh kali. Masa Menhut MS Kaban-lah tonggak sejarah pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skema HKm ditancapkan. Saat itu dikeluarkan SK Penetapan Areal HKm di Provinsi DIY, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Selanjutnya kelompok tani HKm dilokasi tersebut mendapat ijin HKm dari bupati masing-masing.

Target HKm

Perjalanan HKm mengalami titik puncak pada 15 Desember 2007, ketika digelar Pencanangan (launching) HKm nasional oleh Wakil Presiden RI di Kab. Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Saat itu Menteri Kehutanan menetapkan areal kerja Hutan Kemasyarakatan di tiga provinsi, yakni DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Lampung, dengan luas secara keseluruhan 8.164,26 Ha. SK Penetapan areal kerja HKm tersebut, lalu dijadikan dasar bagi Bupati Lombok Tengah, Bupati Lampung Barat, Bupati Lampung Utara, Bupati Tanggamus, Bupati Kulonprogo dan Bupati Gunung Kidul untuk menerbitkan Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) selama 35 tahun, yang diserahkan kepada 57 kelompok tani HKm.

Menteri Kehutanan menyampaikan bahwa target pengembangan penyelenggaraan HKm seluas 400.000 ha pada tahun 2009 dan 2,1 juta ha pada tahun 2015. Konsolidasi dan berbagai kegiatan telah dilakoni hingga saat ini untuk memastikan dan mencapai target tahun 2009 itu. beberapa daerah telah dilakukan verifikasi dan mengajukan ke Menhut untuk segera diproses mengenai penetapan areal kerja HKm, seperti di Buleleng Bali, Bengkulu, Lampung Tengah. Bahkan ada beberapa daerah yang sudah mendapatkan SK Penetapan Areal Kerja dari Menhut, seperti Buleleng Bali, Sumba Timur NTT, Kepahiang, dan Rejang Lebong Bengkulu.

 

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content