Pendidikan Buta Aksara di Pipikoro

Porelea

Sudah 35 tahun Ibu Nona (53 tahun) mengabdi sebagai guru di Sekolah Dasar Bala Keselamatan, Porelea. Tapi nasibnya tidak beranjak-beranjak, sampai sekarang statusnya masih sebagai guru honor. Tapi itu tidak menjadi halangan baginya untuk berbagi ilmu dengan anak-anak Porelea, ditengah kesibukannya pula dalam membantu ekonomi keluarga. Ibu Nona adalah istri Abed Nego, Kepala Desa Porelea, dalam sehari-harinya ia menjaga toko kecil di sudut rumahnya.

Enam bulan yang lalu Nona mempunyai tambahan status baru, yaitu kader pendidikan PNPM Peduli. Dalam sepekan, ia tidak hanya mengajar di ruang sekolah formal, tapi juga pada hari selasa dan sabtu siang menjelang sore untuk mengajar anak-anak putus sekolah di Lobo/sanggar belajar. “Dalam enam bulan pengajaran, para murid sudah mengenal huruf dan mahir merangkai kata,” tukas Nona.

Murid kelas informal Nona berjumlah 18 orang. Anak-anak yang biasanya bolos dan sudah lama tidak muncul di sekolah formal, Nona ajak bergabung belajar di Lobo. “Di Porelea, cukup banyak anak yang putus sekolah. Alasannya macam-macam, kebanyakan karena sibuk membantu orang tua di kebun atau karena menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga adik,” ujar Nona. Di Porelea, sebagian masyarakat kesadaran akan pentingnya pendidikan masih minim.

Meski kualitas pendidikan di Porelea masih terseok-seok, semangat masyarakat mendorong anaknya untuk mengecap pendidikan cukup tinggi. “Jika ada anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA di Gimpu, semua keluarga turut membantu,” tandas Nona. Setelah dibantu masyarakat, pelajar SMA yang telah lulus kelak itu berkomitmen untuk kembali pulang membangun desa. Semangat kekeluargaan itu terekam juga dalam menolong warga yang sakit. ketika ada warga yang harus dirujuk ke rumah sakit, warga akan bermusyawarah untuk bantuan biaya-nya.

Nona tidak sendiri sebagai kader pendidikan, ia dibantu Olfian (28 tahun). Dalam sekali pertemuan di Sanggar, Nona dan Olfian berbagi peran. Ada yang mengajar menulis dan ada yang mengajar membaca atau menghitung. “Tantangan sepertinya tidak ada dalam menjalankan tugas sebagai kader, sebab kami mengerjakannya langsung dari hati,” tutur Olfian. Meski mereka sudah berniat tulus, mereka masih membutuhkan bantuan, baik itu pelatihan, serta hal-hal yang sifatnya sepele, seperti kapur, buku, dan alat tulis.

Lonebasa

Oktavianus mengabdi sebagai salah satu dari empat guru di SD Bala Keselamatan Sejak 1989. Pada 1992 – 1999 ia ditunjuk sebagai kepala dusun, waktu itu ia jarang ke sekolah karena banyaknya kesibukan di administrasi dusun. Baru pada 1999 sampai 2012 Oktavianus kembali mengajar. Ia mengajar tiap hari untuk kelas satu sampai enam. Yang unik adalah metode mengajarnya, Oktavianus begitu pula dengan Komedi, selalu mengajarkan anak-anak Lonebasa untuk dekat dengan alam. “Saya ajak anak-anak menanam cengkeh di halaman sekolah, tanaman itu dipelihara oleh anak-anak, sekarang cengkehnya ada yang mati dan banyak pula yang hidup subur,” ungkap guru yang mendapat gaji Rp. 500 ribu pertiga bulan dan dana Yayasan Rp. 90 ribu perbulan itu.

Komedi adalah rekan Oktavianus dalam mengajar warga/anak putus sekolah, ia juga guru di Bala Keselamatan. Bersama Pak Oktav ia mengejar warga belajar ke kebun-kebun warga, yang kini muridnya berjumlah 16 orang. “Kami kejar-kejar mereka untuk diajar. Kami juga ajarkan cara-cara bertani ladang dan cokelat, cara membuat sarung parang dan membuat bakul,” tutur Komedi.

Tengah hari, Oktavianus, Komedi, dan Amir (Fasilitator) mengajak kami untuk ke kebun. Memang waktu itu saya penasaran bagaimana cara mereka mengajar. Ya tuhan, kebunnya minta ampun jauhnya, sekitar dua kilometer lebih. Kita melalui jalan setapak, turun landai ke kebun, masuk ke semak-semak hingga menemukan beberapa orang yang lagi memangkas dan membersihkan rumput di lereng kebun kopi. Berjalan lagi, akhirnya kita menemukan lima orang yang sementara memanen kopi. Mereka-lah murid Oktavianus.

Oktavianus pun beraksi, ia tidak mengeluarkan buku maupun pulpen, ia hanya memegang kopi dan mengajak seorang berbincang. Saya tak tahu apa yang mereka bincangkan, soalnya mereka menggunakan bahasa Uma (dialek lokal). “Kalau kita pakai bahasa indonesia itu sudah dianggap melanggar, apalagi kalau warga belajar melihat buku dan pulpen!” tegas Oktav. Dengan bahasa lokal itu, mereka melatih mengeja benda-benda itu untuk mengenal jenis-jenis huruf.

Ia mengajar barang 20 menit, saya meluangkan waktu untuk mengambil gambar. Subarkah, Amir dan Komedi menyeruput kopi yang dibuat istri petani itu. Sepertinya, mengajar orang dewasa, apalagi di daerah terpencil seperti ini sangatlah sulit. Tapi, setelah melihat kobaran semangat Oktavianus dan Komedi, saya yakin masih ada harapan untuk keluar dari kegelapan informasi itu. Saya kembali mengingat kata-kata Komedi, “Kita ini akar, bukan rotan. Apa yang didapat, itulah yang diajarkan”.
Dalam perjalanan, Komedi menunjuk gunung tempat warga belajarnya berkebun dan berladang. Saya bilang, untuk ini saya lebih baik mendengar saja, tidak usah menyaksikan.. hehe..

Kami balik ke rumah pak desa dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama, muncul rasa kantuk dan membuat kami terbaring untuk menghilangkan lelah. Amir keluar untuk mencari ojek ke Lawe. Saat berbaring, saya membayangkan bagaimana tradisi gotongroyong di kalangan masyarakat pipikoro, tadi pemilik kebun dibantu oleh petani lain untuk membersihkan dan memangkas batang-batang pohon kopi. Tradisi ini disebut Mapalus atau sambung tangan. Ini tak lain efek dari masih kuatnya hukum adat tadi.

Di Lonebasa telah ada sanggar yang telah didirikan oleh Perkumpulan Karsa bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat di sana, dengan bantuan program PNPM Peduli dari SCF dan Kemitraan. Sementara ini, sanggar lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang jumlah anak yang dibimbing ada 30 orang. selain sanggar, telah berdiri juga ‘rumah kesehatan’, tapi karena rumah itu terlalu kecil, sehingga aktivitas kesehatan banyak dilakukan di rumah pak desa, seperti aktivitas penimbangan bayi serta pemeriksaan ibu hamil.

Lawe

Alfius (40), guru untuk anak-anak Desa Lawe. Kalau di Belitung ada Ibu Muslimah tokoh pendidikan Laskar Pelangi, maka di Lawe ada Alfius. Saat ini ia diangkat sebagai Kepala Sekolah dengan status guru honor untuk sekolah Dasar Bala Keselamatan, sekaligus kader pendidikan program PNPM Peduli untuk layanan Hak-hak dasar.

Pada tahun 2003 Alfius kembali ke Lawe. Saat itu ia cuti kerja di sebuah perusahaan pengeboran minyak di Samarinda untuk melihat keluarga dan kampung halamannyadi Lawe. Orang tua mulai sakit-sakitan dan menganjurkan untuk menikah, ia pun menikahi gadis Lawe bernama Serli. Sejak itu ia tidak kembali ke perusahaan dan mungkin selamanya akan menetap di Lawe. Salah satu alasan yang memperkuat tekadnya bertahan di Lawe yaitu melihat mirisnya kondisi pendidikan ‘anak bangsa’, yang setelah 67 tahun Indonesia merdeka, masih ada anak yang tidak sekolah. Menurutnya, kita ini kembali ke belakang, kondisi sebelum merdeka.

“Saya menyaksikan sekolah itu hanya menjadi sarang rumput dan kandang kuda,” lirihnya. Selama dua tahun, pada 2001 – 2003, pendidikan di Lawe mandek, sebanyak tiga generasi otomatis tidak menikmati pendidikan. “Saya berfikir, kalau saya punya anak, sekolahnya nanti dimana?” Pertanyaan inilah yang menjadi dasar perjuangan Alfius dalam memperjuangkan pendidikan di Lawe. ia kemudian menawarkan diri ke Dinas Pendidikan Kab. Sigi untuk mengabdi sebagai guru di sekolah Bala Keselamatan.

Tahun 2004, Alfius mulai membenahi sekolah. Ruangan dipenuhi rumput dan kotoran kuda. Dengan sigap ia mengumpulkan anak-anak se desa yang putus sekolah untuk membantu membersihkan sekolah. “Saat itu tak ada kapur sebiji pun, saya tugaskan anak-anak untuk mengumpulkan kapur satu orang sebiji. Untuk papan tulis kami cat mengunakan karbon dari baterai yang dipecahkan,” kenang Alfius. Saat itu masih ada dua buah bangku, tiga meja, dengan murid awal 30 orang, sehingga sebagian murid belajar dengan berdiri. Kemudian ia berembuk dengan warga untuk penyediaan bangku sekolah. Disepakati satu kepala keluarga satu bangku.

Masalah lain adalah buku, Alfius berangkat seorang diri untuk meminta permohonan pengadaan buku ke Dinas Pendidikan. ia pun membawa pulang segepok ‘ole-ole’ buku untuk anak-anak Lawe. Di dinas pendidikan Alfius kaget, ternyata di Dinas Pendidikan masih ada laporan bulanan sekolah yang terus dilaporkan oleh Kepala Sekolah (sebuah sekolah di Pipikoro). “saya turun balik ke Dinas Pendidikan untuk mengambil daftar hadir dan mencocokkan nama yang ada di daftar hadir milik kepala sekolah, ternyata namanya tidak cocok. Kesempatan berikutnya saya ajak kepala desa untuk meyakinkan Dinas. Akhirnya kepala sekolah itu diskorsing enam bulan, lalu diturunkan statusnya menjadi guru bantu di daerah lain,” celoteh Alfius.

Sekolah yang dipimpin Alfius bertahan hingga hari ini, sekarang memiliki murid sebanyak 89 orang. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan, tapi pihak yayasan sepertinya tutup mata terhadap keadaan sekolah ini. Alfius pernah menanyakan honornya pada pihak yayasan. “Kata pengurus yayasan, honor yang Rp. 90 ribu perbulan itu hanya boleh diambil di Palu. Saya bilang, ambil saja honor itu, biar saya saja yang urus sekolah di Lawe,” cetus Alfius. Bagaimana tidak, honor sebegitu kecil, perjalanan ke palu saja membutuhkan ongkos lebih dari seratus ribu rupiah. “tiap tahun yayasan ambil foto, tapi tetap tidak ada bantuan. Sepertinya surga ada di telinga saja”.

Berulang kali ia mendatangi DPRD Komisi C (bagian anggaran) di Kota Palu untuk memperjuangkan nasib sekolahnya. Ia memperlihatkan foto-foto sekolah, lalu mengusulkan untuk pendirian bangunan baru. Puji tuhan, Alfius memperoleh dana pembangunan sekolah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar RP. 127 juta. “Saya tak segan-segan mendatangi anggota dewan, karena saya tahu janji-janji mereka,” ujar Alfius. Saat itu, yang dianggarkan adalah rehabilitasi. Tapi ia menjelaskan kalau sekolah ini tidak ada pondasinya karena beralaskan tanah. Sehingga diizinkan untuk membuat bangunan baru. Kini, sekolah itu sementara dibangun, sekarang sudah tampak pondasi semennya. Saya tidak membayangkan, bagaimana pasir dan semen itu bisa didatangkan ke Desa lawe, negeri di pinggir awan ini.

Kini Alfius ditemani Warens Cristopher mengajar di sekolah. Warens adalah mantan muridnya yang sudah tamat sekolah menengah atas. Mereka berdua rencananya akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, dengan mengambil sekolah jarak jauh. Sejak sekolah ini dipimpin Alfius, murid-murid sekolah ini dari tahun ke tahun lulus seratus persen, walau pelaksanaan ujiannya di daerah lain, yaitu di Onu. Dan seorang muridnya yang bernama Adrianto (13 tahun, sekarang sudah tamat SD) pernah menyabet juara satu lomba matematika se Pipikoro.

Sejak lima bulan lalu, Alfius turut mengabdikan diri sebagai kader pendidikan di program PNPM Peduli. Ia mengajar anak yang putus sekolah dan lebih banyak orang dewasa mengenai pengetahuan dasar, yaitu membaca, menulis dan menghitung. Kini ia memiliki murid informal sebanyak 18 orang. alfius mendatangi rumah murid-muridnya, dengan pola jemput bola. Misalnya ada ibu rumah tangga memasak di dapur, ia mengajari ibu itu hitung-menghitung sesuai bahan dapur yang ada. “untuk orang dewasa, kami menerapkan sistem pembelajaran melalui diskusi. Mereka bukan lagi anak-anak yang harus dipaksa, kita memasuki mereka saat ada waktu luang serta menghargai diri mereka,” tambah Alfius.

Alfius bertubuh kecil, tapi sesungguhnya ia orang besar, tersembunyi di pinggir-pinggir gunung, “Saya akan mengabdikan diri untuk pendidikan Lawe hingga liang lahat!” gemanya garang.

Idham Malik, 7 Juni 2012
Sulawesi Community Foundation

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content