Sulawesi Community Foundation (SCF) bersama Multistakeholder Forestry Programme (MFP) menyelenggarakan workshop Business Plan untuk koperasi petani kayu di tiga wilayah, yaitu Asosiasi Pengelola Kayu Rakyat (APKAR) Bulukumba, Koperasi Hutan Jati Muna (KHJM) Muna Sulawesi Tenggara, dan koperasi para Pemilik Ijin Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) hutan kawasan negara Kabupaten Pinrang. Lembaga seperti APKAR dan KHJM ini telah memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu, sehingga dapat mengelola bahan bakunya untuk menembus pasar ekspor.
“Workshop ini penting, sebab para pemilik koperasi belum begitu memahami pembuatan Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT), yang sangat menunjang dalam peningkatan dan pemasaran produk. Hasilnya akan ada tiga dokumen rencana usaha tiap asosiasi,” ujar Rustanto Suprapto, Direktur Eksekutif SCF saat pembukaan acara. Workshop berlangsung dari Kamis – Sabtu (2 – 4 Agustus 2012), di Hotel Amaris Panakukang, Makassar.
Workshop ini didampingi oleh Cahyadi Joko Sukmono, konsultan bisnis dari Frontier Indonesia dan Hartono Prabowo dari The Forest Trust (TFT). Dalam pelatihan ini, peserta dilatih untuk menuliskan segmentasi pasar yang ingin dituju, karakter konsumer, pemetaan kualitas produk, serta kebijakan apa dari koperasi untuk menghasilkan produk yang disukai oleh konsumen. Selain itu peserta diharapkan mampu memetakan aspek produksi, organisasi dan SDM. “Misalnya, menghitung proses produksinya dari aktivitas benih hingga tegakan siap tebang. Dari sini akan muncul kreativitas baru yang dapat menambah nilai organisasi, misalnya memperlebar jenis usaha (seperti usaha briket arang) dan menambah pelayanan semacam akses, jaminan legalitas dan keberlanjutan hutan,” ungkap Cahyadi.
Bisnis berbasis Pengelolaan Hutan Lestari
Cahyadi banyak menyentuh aspek manajemen bisnis, dengan mengungkit lebih awal tentang bagaimana membangun organisasi bisnis yang kokoh. Organisasi setidaknya harus mendefenisikan dengan jelas paradigma, visi serta misi yang ingin dicapai. Nah, dalam kerangka visi ini, organisasi harus mengakomodir pula kepentingan atau visi individu-individu yang ada di dalamnya.
Cahyadi yang merupakan Founder Republik Enterpreneur Syndicate ini memotivasi peserta workshop dengan merubah kepanjangan UKM, dari Usaha Kecil Menengah menuju Usaha Kelas Milyaran. Sehingga kesan UKM tidak lagi berkutat pada persoalan-persoalan yang dianggap sepele, tapi justru merupakan jembatan menuju kebahagiaan, kesejahteraan dan kebebasan yang diimpikan itu.
Menurutnya, bisnis hanyalah kendaraan yang akan mengantarkan kita pada tujuan dengan lebih cepat, aman, dan nyaman. Kalau ada bisnis tidak memenuhi persyaratan ini, pasti ada yang salah dengan bisnisnya. Sementara koperasi adalah salah satu bentuk badan hukum usaha yang diakui di Indonesia. Usaha koperasi ini dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan melalui gerakan ekonomi kerakyatan. “Sehingga, koperasi dituntut bekerja secara profesional dan harus menguntungkan. Koperasi tidak hanya menyentuh sektor bisnis saja, tapi lebih jauh lagi dapat menjadi kendaraan sosial,” ucap Cahyadi.
Pada hari pertama, Cahyadi menjelaskan apa yang dimaksud proses bisnis yang baik. Menurutnya bisnis yang baik itu mesti ada orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab untuk menjamin performa proses, terdapat batasan yang jelas, kejelasan hubungan internal dan pertanggungjawabannya, prosedur, tugas kerja, dan kebutuhan training terdokumentasi dengan baik, terdapat sistem feedback pada setiap aktivitas, memiliki ukuran dan target yang berhubungan dengan kepuasan pelanggan, waktu baku dari setiap aktivitas diketahui, mempunyai perumusan prosedur, serta tahu langkah-langkah yang hendak diambil berikutnya.
Pada hari ke dua, 3 Agustus 2012, Cahyadi kembali mendampingi peserta, kala itu ia memaparkan rumusan model bisnis. Model ini bersifat linear yang berangkat dari penentuan target pasar, lalu penentuan kualitas produk, setelah itu menentukan saluran distribusi pasar, membangun pola relasi dengan konsumer, melakukan identifikasi pada aktivitas kunci, sumberdaya kunci dan stakeholder kunci, yang dilanjutkan dengan proyeksi pendapatan dan struktur biaya.
Hari itu, peserta yang terbagi empat kelompok diajak untuk merumuskan segmentasi pasarnya. Dalam perumusan itu, peserta harus mengetahui serta mengetahui potensi bisnis kayunya, seperti tegakan, kualitas, besaran, serta mengetahui karakter dan kemauan konsumen. “Setelah mengetahui karakter konsumen, mungkin selanjutnya kita bisa menemukan perluasan bisnis, misalnya kita tidak hanya mengolah kayu, tapi limbah-limbah kayu itu kita tingkatkan nilanya menjadi briket atau serbuk gergaji (souldas), dan bisa bentuk lain dari limbah kayu ini dapat menjadi komoditas ekspor. Dari sini bisa dibentuk koperasi hutan rakyat Se Sulawesi, sehingga dapat mengakses pasar lebih luas dengan bahan baku lebih banyak,” tambah Sekjen Asosiasi Konsultan Koperasi dan UKM Indonesia (AKKUKMINDO) ini.
Cahyadi mencontohkan, misalnya di Pinrang dibentuk kebun persemaian terpadu. Di situ terdapat penjualan bibit yang ditujukan ke anggota koperasi. Pembibitan dikembangkan dengan bibit kayu yang tidak hanya untuk kebutuhan ekspor, tapi juga yang dibutuhkan masyarakat. Seperti bagaimana tanaman buah di tanam dalam pot? (Tanaman vertikultur yaitu melakukan penanaman pada media tanam secara vertikal, yang terbuat dari media sederhana, seperti bambu, paralon, yang ditanam secara vertikal). Lebih jauh dari itu, Cahyadi memotivasi peserta bagaimana industri perkayuan ini dapat dikemas menjadi tempat wisata. “Areal hutan tidak hanya ditanami kayu, tapi ada aktivitas persemaian, ada tempat vertikultur, dan bisa menyediakan tempat minum, misalnya butuh kamar mandi juga,” lanjutnya.
Tepatnya, Cahyadi memandu hari kedua itu dengan memberi gambaran pemetaan konsumen, mengarahkan bagaimana peningkatan nilai sebuah produk (Key activitas), lalu dilanjutkan pada bagaimana merawat hubungan yang di dalamnya terdapat rekan-rekan bisnis kunci (key partner), hingga tentang pengelolaan modal. Ia pun memandu peserta dalam memunculkan sebuah konsep produk, yang di dalamnya sudah melingkupi pikiran tentang modal, peralatan, bahan baku, tenaga kerja, proses kerja, hingga pada penjualan. Kemudian menangkap keinginan konsumen untuk penentuan konsep produk berikutnya. “Tentu jangan dilupakan soal efisiensi, bagaimana kita mampu menghemat pengeluaran serta efektif dalam memanfaatkan waktu,” tambah Cahyadi.
Hari ketiga dipandu oleh Hartono Prabowo dari The Forest Trust (TFT). Ia lebih banyak menjelaskan mekanisme pengelolaan bisnis dalam dunia kehutanan/perkayuan. Setelah penjelasan panjang lebar mengenai potensi hutan untuk bisnis oleh masyarakat, ia membagi peserta dalam dua tim untuk merumuskan aturan-aturan dalam kelompok serta strategi menyejahterahkan anggota.
“pertama-tama kita menentukan tujuan dengan berkendaraan organisasi. Setelah itu, melakukan pembagian tugas, siapa yang menjadi supir, siapa mekanik dan siapa penumpangnya. Kalau yang ikut sangat banyak, bagaimana agar semuanya bisa sampai ke tujuan, meski tidak tiba secara bersama-sama. Sehingga, harus ada aturan main berupa komitmen bersama, serta ada syarat-syarat atau prosedur dalam perjalanan,” ujar Hartono.
Siapa pun yang ingin bergabung dituntut memenuhi syarat-syarat keanggotaan serta harus membayar iuran-iuran tertentu. Keterbukaan informasi sangat dibutuhkan, sebab informasi dengan segera sampai ke para anggota untuk mencegah protes anggota. Apalagi pada ranah sertifikasi kita sering melupakan dokumentasinya. Seperti persetujuan tertulis dapat sebagai bukti, contoh lainnya yaitu dokumentasi daftar hadir.
Sementara dalam membuat rencana, ternyata terdapat lapisan-lapisan, seperti rencana pengelolaan hutan, rencana kerja tahunan, rencana produksi, rencana lingkungan, rencana sosial, serta rencana pengembangan hutan. “Misalnya sepuluh tahun ke depan kita panen berapa? tapi menuju ke sana harus dicapai target tahun ke tahun, dari tahun pertama hingga ke sepuluh bagaimana Rencana lingkungan, rencana sosial, rencana pengembangan hutannya?” Rencana pengelolaan hutan itu bersifat jangka panjang, visi misinya 5 – 10 tahun. kita pun memperoleh gambaran potensi hutan yang ada, sosial, ekonomi, serta status kepemilikan lahan. Dari kondisi yang ada, seberapa banyak yang bisa kita panen dalam setahun. Jangan sampai kita menanam sesuatu tapi tidak tahu mau jual kemana nantinya.
Sore hari, workshop ditutup, setelah masing-masing kelompok memaparkan rencana bisnis yang akan mereka lakoni nanti. Hartono pun menanggapi satu persatu hasil persentasi kelompok, “Ketika membentuk organisasi, pasti sudah ada bayangan mengenai apa yang mau dikerjakan. Mengenai visi dan misi, sebagian barangkali tidak menjadi bagian dari misi, tapi menjadi strategi. Misalnya, strategi dengan berhubungan dengan pemerintah. struktur dan penentuan orang pun harus sesuai dengan visi organisasi,” tambahnya.