Sharelearning pemegang Ijin Pengelolaan Hutan Skema CBFM

Makassar (23 – 26 September 2012), Sulawesi Community Foundation (SCF) yang didukung oleh Kemitraan/fatnershiip, menyelenggarakan Lokakarya Sharelearning Pemberdayaan Masyarakat melalui skema Community Based Forest Management (CBFM) yang terdiri atas Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Desa (HD). Kegiatan yang bertempat di Hotel JL star Panakukang Makassar ini diikuti oleh 15 peserta, perwakilan dari Badan Pengelolaan Das Palu – Poso, BP2HP Makassar, Dishut Minahasa, Keker Sulut, Jambata Sulteng, Roa Sulteng, HTR Agote Minahasa, HTR Kayuwatu Minahasa, LPHD Desa Namo, HKm Bulukumba, Hutan Desa bantaeng.

Kegiatan ini bertujuan untuk menggali pengalaman peserta pemegang ijin dalam proses memperoleh ijin kelola HTR, HKm, dan HD. Di samping itu untuk mendorong peningkatan kelembagaan dan dukungan dari para pengambil kebijakan. “Kita harap keaktifan dan keterbukaan para peserta untuk saling berbagi cerita serta membuat catatan yang dapat bermanfaat bagi para kelompok tani lain yang sementara memohon ijin. Juga ada catatan kritis mengenai kebijakan kementerian kehutanan beserta evaluasinya,” ujar Rustanto Suprapto, Direktur Eksekutif SCF. Pada hari pertama ini, peserta diminta untuk menuliskan cerita berbasis pengalamannya dengan menggunakan metode gunung cerita atau ATAP. Yang dimulai dengan awal terlibat, tantangan, aksi dan perubahan.

Dengan adanya skema CBFM ini, masyarakat di sekitar hutan dibebaskan untuk terlibat memanfaatkan hutan kawasan negara, termasuk hutan lindung dengan ketentuan yang berlaku. Kegiatan ini juga untuk menyusun rekomendasi dan kesepakatan bersama mengenai prakarsa pembentukan asosiasi pemejang ijin di masing-masing provinsi.

CBFM Sulawesi yang telah memperoleh Ijin

Hari pertama diisi dengan saling kenal antar peserta dan tukar informasi tentang proses perolehan ijin dan penyelenggaraan kegiatan di koperasi dan kelompok tani masing-masing. Terdapat perbedaan terhadap perjuangan dan permasalahan di masing-masing lokus, misalnya di Pinrang Sulawesi Selatan lebih memilih skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Di sana telah ada sekitar 12 koperasi yang memperoleh ijin di kawasan hutan produksi terbatas. Pengurusan administrasi untuk memperoleh ijin pencadangan terbilang mudah, ini diakui oleh Paharuddin, Ketua Koperasi Makaritutu, salah satu peserta lokakarya. “Proses perijinan sangat cepat, setelah mendapat sosialisasi dari BP2HP (Balai Pemantauan Pemantapan Hutan Produksi) dan SCF, kami langsung membuat proposal pengusulan pencadangan beserta peta-nya, akhirnya sekitar 8000 hektar bisa kami kelola dengan sistem koperasi”, ucap Pahar.

Selama setahun ini Pahar masih berkutat soal sosialisasi pada warga sekitar areal tentang HTR. “Kami belum bisa melangkah karena peta pencadangan belum dapat konfirmasi dari BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan), sebab siapa tahu kegiatan yang kami lakukan bergeser lokasi. Kami pernah coba olah, ternyata tidak masuk daerah kawasan hutan,”lanjut Pahar.

Di wilayah Sulsel yang lain, yaitu di Bantaeng menyelenggarakan Hutan Desa di kawasan hutan lindung, dengan seorang promotornya yang bernama Jamal, sekarang Jamal berperan sebagai ketua kelompok Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Bantaeng. “Awalnya kami khawatir terjadinya bencana, lalu kita ajak masyarakat untuk sama-sama membenahi hutan lindung. Kita bermusyawarah agar masyarakat sekitar hutan mempunyai sebuah lembaga yang menjadi payung agar bisa menangani pelanggaran-pelanggaran,” ucap Jamal.

Jamal beserta warga desa lalu mengusulkan perijinan ke Bupati, kemudian disusul pembentukan tim verifikasi untuk penerbitan SKB cadangan oleh pemerintah kabupaten. Setelah musyawarah tingkat desa, disepakatilah BUMDES sebagai lembaga pengelola. “Lembaga memberikan gambaran tentang potensi hutan yang merupakan persiapan untuk menerbitkan HPHD yang akan diusul ke gubernur. HPHD terbit di Bantaeng dengan no. 385 dan luas 342 hektar. Setelah terbit diadakan kerjasama dengan Bappeda, LSM Balang dan pihak Unhas. setelah itu dibuat rancangan kerja hutan desa,” ujar Jamal. Ketua BUMDES ini tidak memperoleh hambatan yang berarti, justru mendapat dukungan penuh dari Pemda Bantaeng, dalam perjalanannya, Bumdes mendapat bantuan 100 juta dari Pemda beserta sebuah mobil dinas.

Di Bulukumba diterapkan skema lain, yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa Bukit Harapan, Kecamatan Gantarang. Perwakilan yang hadir yaitu Mustamin, 47, ketua kelompok tani sekaligus sekretaris Desa Bukit Harapan. “Sebelum penetapan, warga telah mempunyai SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhitung) dan telah ada yang menanam ubi kayu. Tapi setelah penetapan, saya informasikan ke warga di mesjid bahwa SPPT-nya saya hapus,” celoteh Mustamin. Di desa ini masyarakat sudah mengerti adminstrasi, sehingga penghapusan SPPT tidak mengundang protes masyarakat. Lalu dilakukan konsolidasi antara kepala desa, kelompok tani dan anggota untuk membahas peta dan aturan internal. Setelah itu terbitlah ijin pengelolaan hutan.

Di Bukit Harapan, kelompok tani sudah terbentuk sejak 2002, baru pada 2011 memperoleh ijin pengelolaan hutan HKm. Namun, masih banyak warga yang menganggap bahwa cadangan hutan itu merupakan milik nenek moyangnya. Kendala lain yaitu di lokasi HKm masih terdapat banyak ternak sapi, juga masih terkendala modal dimana usaha belum menghasilkan laba.

CBFM Sulawesi yang belum memperoleh ijin

Workshop ini juga diikuti oleh peserta yang koperasi atau kelompok tani-nya sementara melakukan pengusulan pencadangan hutan dengan skema CBFM, seperti untuk wilayah Namo Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah dan Minahasa di Sulawesi Utara. Wilayah namo diwakili oleh LSM Jambata Sulteng dan ROA Sulteng, sementara di Minahasa di wakili LSM Keker Sulut dan Kelompok tani HTR Agote Minahasa, HTR Kayuwatu Minahasa, dan HTR Tatawiran Minahasa.

Di Namo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, rencananya akan dicadangkan kawasan hutan untuk skema Hutan Desa. Suaib, perwakilan Jambata menjelaskan bahwa mereka telah mengusulkan ijin pengelolaan hutan desa ke Gubernur Sulteng. “Awalnya kami melakukan studi banding ke Bantaeng untuk mempelajari skema hutan desa-nya. Proposal sudah diterima Bupati Sigi dan telah ada verifikasi dari kementerian kehutanan untuk penerbitan SK penetapan areal hutan desa. selain itu juga sudah diajukan ke gubernur, BPKH, dan BPDAS,” ucap Suaib.

Proses permohonan izin kelola cukup lama di Namo. Suaib mengakui bahwa masih banyak kendala yang dihadapi, seperti kualitas Sumberdaya Manusia yang terbatas, serta kesulitan komunikasi dengan pihak BPDAS dan BPKH. “Mereka juga sibuk, sehingga waktu pengeluaran ijin diundur. Sebenarnya sebentar lagi jatuh tempo. Kami berupaya membangun komunikasi kembali, juga dengan LSM pendamping. Dari segi dana tidak menjadi masalah, tapi jarak yang menghubungkan Desa Namo sangat jauh,” ujar Suaib, yang merupakan fasilitator pendamping.

Kabupaten Minahasa senasib dengan Namo Sigi. Tahun ini koperasi dan Kelompok tani untuk Minahasa sudah mendekati batas waktu pemberian ijin skema CBFM. “Persoalannya BP2HP yang menangani HTR Minahasa terletak di Palu (Sulteng), sehingga proses pengusulan lambat karena jarak yang jauh. Jika BP2HP Palu datang, mungkin sudah ada kesepakatan hari ini,” ujar Ari Tulung, ketua Kelompok Tani HTR Tatawiran Minahasa.

Ari masih sangsi terhadap pengajuan pencadangan yang telah dilakukan. Sebab di lokasi pencadangan masyarakat telah memiliki dokumen pemilikan berupa sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional dan telah dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan. “Cengkeh warga sudah tinggi, apakah tanah ini masih milik negara atau bisa diabaikan begitu saja, dan kami masih bisa memperoleh izin HTR?” tambah Ari yang juga selaku Kepala Desa dan Bendahara Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AKMI).

Hal ini ini diakui oleh perwakilan Dinas Kehutanan Minahasa, Novi Talumewo, “Sementara ini kami masih mengukuhkan koperasi dan prosesnya masih melalui verifikasi. kami baru mengusulkan peta pencadangan yang ternyata masuk di wilayah pemukiman untuk diverifikasi oleh BP2HP. Setelah lengkap barulah kami akan usulkan ke Bupati. Persoalan utamanya adalah BP2HP Minahasa bergabung di Palu. Selain itu, terhambat pula karena di Minahasa ada suksesi Pilkada”.

Menanggapi kegelisahan Ari Tulung tentang kepemilikan warga atas sertifikat tanah di lahan yang akan diusulkan menjadi cadangan HTR, Slamet Riyadi, staff BP2HP wilayah XV Makassar memberi tanggapan. “HTR fokusnya pada hutan produksi dan di dalamnya harus bersih konflik. Jika ada konflik kami tidak mau verifikasi. Kami akan bantu jika telah ada kesepahaman antar masyarakat tentang lahan konflik. Ketika kami menemukan sertifikat di areal HTR akan kami keluarkan baik yang diajukan perorangan atau koperasi. Untuk Minahasa, tidak masalah kalau pengajuan usul HTR-nya ditunda dulu, sebab bukti kepemilikan warga lebih kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan,” ungkap Slamet.

Slamet menambahkan, bahwa masyarakat boleh mengajukan secara berkelompok (KPH) pencadangan areal HTR ke bupati dengan tembusan ke Dinas Kehutanan, BP2HP dan bisa dikirim melalui pos. Berdasarkan permohonan itu, BP2HP akan melakukan verifikasi terhadap lokasi yang dimohonkan. “Kami ambil contoh, dari 40 ribu ha yang diajukan, yang keluar ijin baru 5500 ha. Banyak persoalan, telah verifikasi dan rekomendasi diberikan ke bupati, tapi terserah bupati mau memberi ijin,” celoteh Slamet.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content