Laporan Singkat Training “Community Livelihoods and Markets”. Bangkok, Tanggal 1 – 5 Oktober 2012
Diikuti oleh 17 peserta dari Negara-negara ASEAN plus Sri Langka, kegiatan training “Community Livelihoods and Markets: Improving Market Access in the Context of Climate Change” dilaksanakan pada tanggal 1 – 5 Oktober 2012 di pusat Training RECOFTC (The Center for People and Forest) – Bangkok. Dari Indonesia sendiri, ada empat peserta yang berkesempatan mengikuti training ini, yakni utusan dari Kementerian Kehutanan RI, Sekretariat ASEAN-Jakarta, dan dari Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) yang terdiri dari 2 orang. Saya sendiri mewakili FKKM – Sulawesi Selatan dan Sulawesi Community Foundation (SCF).
Disana kami berkesempatan bertemu, bertukar pikiran dan pengalaman dengan seluruh peserta dari berbagai Negara ASEAN + Sri Langka tentang bagimana sebuah “community forest” dapat memahami “Livelihood and Market Based System”, tentang “Value Chain and Value Added” atas produk yang mereka hasilkan. Sistem ini dihubungkan dengan proses mereka melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Selain itu sejauhmana kita mampu mengidentifikasi setiap rantai nilai “Value Chain” dari setiap produk sebagai landasan dalam melakukan intervensi.
Ada tiga kerangka obyektif yang ingin dicapai melalui training ini yaitu : (1) Bagaimana para peserta memahami potensi pasar sebagai sebuah sistem yang dapat berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat ; (2) Bagaimana kita memanfaatkan dan menggunakan rantai nilai “Value Chain” sebagai sebuah pendekatan untuk mengakses sistem berbasis pasar ; (3) Melakukan pemetaan terhadap setiap rantai nilai untuk menentukan intervensi seperti apa dan bagaimana yang dapat kita lakukan untuk memperkuat kehidupan masyarakat sebagai respon terhadap perubahan iklim.
Pendekatan dan metode yang digunakan dalam training sangat partisipatif. Para peserta diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam setiap sesi maupun topik yang dibicarakan, sehingga suasana pelatihan sangat dinamis dan konstruktif. Tidak ada sesi pembahasan tanpa diskusi kelompok maupun presentasi untuk mendalami masalah yang ada, baik itu contoh kasus yang ada di Negara masing-masing maupun beberapa contoh fakta yang disampaikan oleh para trainer dan fasilitator.
Singkat saya ceritakan tentang proses pelaksanaan pelatihan. Hari pertama sampai dengan hari ketiga training, para trainer dan fasilitator menjejali kami dengan beberapa konsep dan teori dasar tentang apa yang dimaksud dengan “community livelihood” dan bagaimana perubahan iklim “climate change” berdampak terhadap kehidupan kita. Bagaimana kita memahami konsep “livelihood” yang diterjemahkan dalam lima elemen (asset) penting yakni, sumberdaya manusia “Human”; sumberdaya alam “Natural Resources” ; infrastruktur “physical” ; dukungan finansial “Financial” ; dan modal sosial “Social Asset” mempengharuhi setiap keputusan atas intervensi seperti apa yang akan kita lakukan.
Konsep tentang rantai nilai “Value Chain” menjadi sebuah konsep yang rumit untuk dipahami (… setidaknya menurut saya) oleh karena kita harus memahami betul akan setiap “mata rantai” pasar dari sebuah produk yang dihasilkan oleh komunitas dan bagaimana kita mengidentifikasi setiap “mata rantai” tersebut untuk mengetahui intervensi seperti apa yang nantinya akan diputuskan. Untuk lebih memahami konteks, hari keempat pelatihan diagendakan untuk mengunjungi (Field Trip) salah satu “community forest” yakni “Ban Huay Sapan Samakkee” tepatnya di Nong Rong Sub district, Phanom Thuan Distrcit Kanchanaburi Province, Thailand, sebelah utara Kota Bangkok. “Community Forest” ini mengelola potensi hutan seluas kurang lebih 1.008 Rai atau 161.28 Hektar (1 hektar = 6,25 Rai. Rai adalah Satuan Thailand). Salah satu aturan prinsipil yang mereka tetapkan bahwa setiap anggota komunitas dilarang untuk menebang pohon yang sudah ditanam di kawaasan hutan tersebut. Anggota komunitas hanya dapat memanfaatkan potensi komoditas selain kayu (non-timber forest product) untuk dimanfaatkan sebagai produk yang dapat bernilai ekonomis.
Beberapa produk yang mereka hasilkan dari memanfaatkan kawasan hutan tersebut dapat digolongkan dalam empat kategori produk utama yaitu Jamur “Mushrooms”, Sayur-Sayuran yang tumbuh liar “Wild Vegetables”, Tanaman-tanaman Herbal “Herbs” kurang lebih 200 jenis dan beberapa jenis hewan “Animals”. Dari semua produk non-kayu ini, setidaknya dari pengamatan yang saya lakukan telah mampu berkonstribusi terhadap peningkatan kesejahteraan anggota komunitasnya. Oleh karena kemampuan dalam mengelola kawasan hutan ini lah, sehingga “Community Forest – Ban Huay Sapan Samakkee” ini menjadi tempat “belajar” bagi banyak orang yang ingin mengetahui lebih jauh tentang pengelolaan kawasan hutan oleh komunitas dan manfaat secara ekonomis yang dapat diambil dari menjaga kawasan hutan. Bahkan ke depan mereka telah merencanakan pembangunan gedung pelatihan “training center” sebagai pusat pembelajaran, mengingat banyaknya orang yang datang untuk belajar.
Pada sesi terakhir training, para peserta diberikan kesempatan untuk menunjukkan komitmen pribadi (personal commitment), tentang apa yang telah didapatkan melalui training ini dapat berkonstribusi terhadap pembangunan “Community Forest” melalui program nyata yang dapat dilakukan di masing – masing Negara asal. Saya sendiri berkomitmen untuk melaksanakan kegiatan pengembangan potensi lokal masyarakat di Muna Sulawesi Tenggara yang sudah terlembagakan melalui Koperasi Jati dalam bentuk pelatihan pengembangan produk handicraft berbahan baku limbah Jati dan sumber daya hutan lainnya yang ada di lahan mereka sendiri,…!!