Seminar SVLK dan Kebijakan Pengadaan Produk Kayu di Bulukumba

Sulawesi Community Foundation (SCF) menyelenggarakan seminar tentang kebijakan pengadaan barang produk kayu di Kantor Wakil Bupati Bulukumba, Selasa (20/3). Acara ini dihadiri sekitar 30 peserta dari beragam instansi pemerintah (SKPD), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perindustrian, Badan Hukum, Bappeda, DPRD, Perwakilan Industri kayu (PT AMIL dan PT PAL), serta Asosiasi Petani Kayu Rakyat (APKAR).

Acara ini dibuka langsung oleh Wakil Bupati Bulukumba, H. Syamsuddin. “Pertemuan multipihak ini diharapkan dapat merumuskan kebijakan, regulasi, standar prosedur pengadaan barang dan jasa yang kaitannya dengan bahan baku kayu di Bulukumba. Sehingga penggunaan kayu lokal dapat menjadi prioritas, termasuk juga pengadaan bangunan serta produk lokalnya,” ujarnya. Wabup menambahkan bahwa regulasi Perda nanti dapat melindungi masyarakat dalam mengembangkan dan memanfaatkan kayu di lahan miliknya.

Pada acara ini mengundang dua narasumber, pertama Hari Aleksander dari Multistakeholder Forestry Programme (mfp) Jakarta yang juga akademisi Universitas Padjajaran Bandung dan Ashar Said Mahbud yang merupakan akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Dalam kegiatan ini hadir pula Ibu Misbah A Wawo selaku Kepala Dinas Kehutanan serta Kahar Muslim selaku Ketua Komisi B DPRD Bulukumba.

Latar belakang kegiatan ini yaitu sebagai sharing informasi mengenai format pengadaan barang produk kayu, yang kaitannya dengan keberadaan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). LKPP merupakan institusi yang diakui pemerintah Indonesia yang berfungsi untuk menyusun kebijakan, regulasi, norma dan standar, prosedur pengadaan barang dan jasa pemerintah, sesuai dengan Perpres No. 106 tahun 2007. Diharapkan dalam seminar terjadi tukar pendapat serta masukan dari para SKPD dan ULP (Unit Pelayanan Pengadaan) di daerah untuk mendorong kebijakan pengadaan barang yang legal dan berkelanjutan.

“Kegiatan ini juga untuk mendukung implementasi verifikasi legalitas kayu untuk petani lahan milik dan industri di Bulukumba. VLK dalam undang-undang P 68 tahun 2011 bersifat mandatori atau wajib, sehingga semua unit manajemen wajib memenuhi kriteria VLK,” tutur Rustanto Suprapto, selaku Direktur Utama SCF.

Menurut Hari Aleksander, kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah ini harus sinergi dengan kebijakan sertifikasi legalitas kayu. Sehingga barang-barang yang berasal dari bahan kayu mesti merupakan kayu legal dan jelas ketertelusuran asal-usulnya. selain di badan publik, swasta pun mesti didorong menggunakan kayu legal. “UU 40 tentang PT. Industri basis tenaga alam ada kewajiban CSR, sehingga kita arahkan agar wajib melakukan pengadaan internal dengan kayu bersertifikat legal,” ungkap Hari. Dalam proses pengadaan barang kayu ini, Hari juga menjelaskan tentang spesifikasi barang berdasar alur dan penentuan kualitasnya. Menurutnya, proses pengadaan diatur oleh perpres 54 sedangkan penentuan kelas/kualitas kayu diatur dalam aturan konstruksi.

Ashar Said Mahbud dalam materinya lebih memaparkan hasil penelitian kesediaan bahan kayu di Bulukumba, seperti pemetaan wilayah produksi kayu rakyat, peta sebaran permintaan produk kayu rakyat, serta analisa rantai pasarnya. Menurut ashar, kayu rakyat punya potensi cukup besar, tinggal bagaimana menggarapnya dengan mencari sumber-sumbernya dari pengusaha mebel dan pengusaha konstruksi. Data-data ini dipetakan, sehingga di kantor bupati tersedia data digital atau data kayu berbasis informasi. “Untuk di Bulukumba, masih ada yang belum terukur, seperti hutan kawasan Ammatoa yang masih berstatus hutan produksi, yang mestinya berstatus hutan adat. Tapi perubahan status ini bisa diusulkan jika masyarakat Kajang sudah menjadi masyarakat adat. Ini bisa terjadi kalau ada inisiatif dari Dinas Parawisata,” tambahnya.

Seminar yang dikomandoi Rustanto Suprapto, Direktur Eksekutif SCF ini cukup alot. Ada peserta yang sempat meragukan konsep SVLK dan menganggap bersifat hight cost dan membuka cela pungutan liar oleh aparat. Tanto menjawab bahwa konsep VLK adalah sistem penjamin bagi para pelaku yang memproduksi kayu dengan indikator aspek legalitasnya. Yang melakukan penilaian bukan aparat, tapi lembaga pihak ketiga atau LVLK yang diakreditasi nasional. justru sistem ini akan mengantisipasi penggunaan dokumen berulang kali, misalnya dokumen pengangkutan SKSKB (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat) dan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul).

Sekitar pukul 13.00, seminar usai, peserta berpencar mencari teman ngobrol, sambil menyeruput kopi atau menyantap penganan siang.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content