Pada 12 – 14 November 2012, Kemitraan/Partnershiip menyelenggarakan workshop Strategi Komunikasi dan Media Engagement bagi para mitra PNPM Peduli di seluruh Indonesia di Hotel Singgasana Kota Surabaya, Jawa Timur. Pesertanya terdiri atas 15 perwakilan LSM yang saat ini mengampanyekan tema-tema demokratisasi, otonomi daerah, pembangunan ekonomi, pembangungan pertanian dan pedesaan, kehutanan, pemberdayaan sosial, hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, bantuan hukum dan advokasinya. Pelaksanaan kegiatan tersebut membutuhkan dukungan komunikasi yang efektif baik dalam memberikan dan memperoleh informasi, hal ini berguna dalam mendorong kampanye pemberdayaan kelompok marginal. Salah satu peserta yaitu dari Sulawesi Community Foundation (SCF) yang saya wakili.
Independensi Masyarakat Sipil
Hari pertama fasilitator sekaligus trainer, Wahyu dari Insist Yogyakarta membuka workshop dengan perkenalan diri dan pemaparan agenda selama tiga hari pelatihan. Pada pukul 11.00 kami kedatangan pemateri yang tidak pernah saya duga, yaitu Daniel Dakidae, bapak yang selama ini saya kenal hanya dari tulisan-tulisannya di majalah dan buku. Daniel adalah pemimpin majalah Prisma, sebuah bacaan ilmiah populer untuk komunitas intelektual yang berisi pemikiran-pemikiran alternatif, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis tentang masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Dalam waktu dua jam Daniel mengajak peserta untuk terlibat mendiskusikan kondisi masyarakat sipil di Indonesia dan bagaimana LSM mengambil peran di dalamnya. Daniel membuka diskusi dengan pemaparan analisis media, dalam hal ini koran Kompas tanggal 12 November 2012. Ia menunjukkan teknik melihat permasalahan dan gugus inti yang diangkat kompas, dalam hal ini terkait dengan komflik masyarakat sipil, ekonomi dan politik. Daniel melihat bahwa dari segi konflik antar komunitas asli lampung dengan komunitas Bali terkandung conflict resolution dengan menampilkan sosok Jusuf Kalla sebagai tokoh penengah konflik atau sebagai role model. Di sana juga berlangsung trauma healing dari masyarakat, yaitu aksi mahasiswa UNILAM mengajak anak-anak wilayah konflik untuk bermain untuk menghilangkan trauma akibat konflik. Pada ranah ekonomi politik, terlihat asosiasi kaum kapitalis yang menghentikan produksi industrinya, sehingga tidak ada buruh yang bekerja. Sebagai tandingan lolosnya upaya para buruh dalam menghilangkan outsourcing sebagai lembaga pemasaran. Pada ranah political society, partai politik masih memainkan peran penting.
Selain konflik pada ranah masyarakat sipil, Daniel juga mencatat masuknya negara sebagai pemegang monopoli kekerasan dalam pentas masyarakat. Pertama tentang RUU keamanan yang di dalamnya tersembunyi pasal-pasal yang akan mengekang kebebasan masyarakat. Kedua mengenai rasa aman yang dinikmati masyarakat Poso ketika menggelar festival dengan dikawal ketat oleh polisi dan TNI. Malah yang terjadi adalah sebaliknya, keberadaan aparat keamanan menunjukkan ketidaknyamanan atau disebut ‘paradoks keamanan’.
Pada analisis itu, Daniel melangkah ke pertanyaan, dimanakah letak independensi masyarakat warga? Yang notabene adalah masyarakat yang unit-unitnya menentukan sendiri apa yang menjadi tujuan hidupnya, menentukan apa sistem organisasi yang hendak ditempuhnya, dan tentu memiliki kemampuan yang terorganisir untuk mengorganisasi dirinya sendiri, seperti model Lampung tadi. Dimana masyarakat warga masih terbelah antara pekerja dan pemilik modal, terancam akan kekerasan negara yang tersembunyi di balik undang-undang dan rancangannya, atau pun kekerasan yang dengan telanjang masih dipertontonkan, seperti kasus Papua dan Poso.
Dimanakah peran NGO dalam konteks masyarakat sipil? NGO berwujud pipa kapiler yang bisa menyusup masuk ke dalam setiap organisasi mana pun dalam masyarakat, dengan negara yang tetap memiliki peran penting sebagai regulator, pengawas warga yang melanggar hak-hak bersama dan kehidupan bersama. Negara tetap sebagai mesin yang bisa mengontrol kebebasan para kapitalis besar yang agar tidak melanggar kebebasan rakyat kecil. Negara pun dituntut untuk mengelola distribusi pendapatan sehingga stabilitas sosial tetap terjamin dan menghindari kecemburuan sosial.
Manajemen Isu dan Pemangku Kepentingan
Materi kedua dibawakan dengan cergas oleh Reza Ramayana, dari lembaga A+ CSR Indonesia. Reza menekankan pentingnya pemetaan isu dan pemangku kepentingan, dengan memperhatikan detail-detail penting, seperti sejarah dan perkembangan LSM yang akan diajak bekerjasama ataukah didampingi, identifikasi isu, uji materialitas isu, identifikasi dan pemetaan pemangku kepentingan, serta strategi pendekatan terhadap parapihak yang terlibat.
Reza melihat bahwa keberhasilan sebuah NGO ketika ia bisa menetapkan sebuah isu yang bersifat strategis, isu yang merepresentasikan perkembangan dan tren. Isu ini kemudian dikawal dengan terencana, dan mencegah isu berubah menjadi sebuah krisis. Isu yang dihadapi organisasi akan berbeda, bergantung pada jenis organisasi, momentum, tingkatan operasional, dan pemangku kepentingan, serta keberadaan konflik. “Nah, dengan begitu, kita bisa menentukan isu apa yang tepat untuk kita galang yang sesuai dengan kebutuhan organisasi kita dan dapat mencapai target,” ujar Reza.
Reza menganjurkan diterapkannya metodologi dalam penentuan isu dan pelaksanaannya. Sebab selama ini masih banyak NGO yang masih mengandalkan insting semata, tapi tidak melibatkan data-data dalam mengambil keputusan dalam strategi pengembangan isu. Ia membagi dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder, data primer diperoleh langsung melalui wawancara, focus group discussion (FGD), dan observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen, buku, dan web –based research. “Pada data sekunder dapat ditelusuri sejarah komunitas, masyarakat ataukah program, literatur sosial budaya dan lingkungan, data statistik, kebijakan dan regulasi. Sementara data primer dengan menetapkan sumber-sumber utama,” ungkap Reza. Namun, dalam menjalankan metode ini terdapat tantangan mendasar, misalnya sulitnya memperoleh informasi dari sumber-sumber utama, tidak semua organisasi mau membeberkan datanya secara bebas.
Reza pun memperkenalkan metode ‘Uji Materialitas Isu’, upaya untuk memeringkat isu berdasarkan konteks dan kapasitas organisasi. ada beberapa indikator uji dalam dua item, item pertama berkait dengan organisasi sendiri dan kedua adalah penting bagi pemangku kepentingan. Indkator yang diperingkat adalah bagaimana kekuatan dan popularitas isu dimata organisasi sejenis, bagaimana kaitannya dengan kebijakan pemerintah, dan terakhir adalah dampak finansial bagi organisasi. isu yang memiliki nilai paling tinggi-lah yang pantas untuk diujicoba dan diperjuangkan. Namun, tanggapan peserta bahwa metode ini terkesan menyepelekan isu yang ingin kita usung berdasarkan kapasitas organisasi. dan seakan-akan isu yang mesti diusung adalah isu yang memiliki dampak finansial paling besar. Padahal, keinginan masyarakat untuk memperjuangkan sebuah isu terletak dari kesadarannya terhadap permasalahan atau ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat.
Selanjutnya adalah manajemen isu, yang merupakan proses terstruktur dan sistematik tentang bagaimana organisasi merespon isu-isu yang muncul dan paling berpengaruh terhadap organisasi. lima tahapan proses manajemen isu, yaitu identifikasi isu, analisis isu, opsi kebijakan, desain program, hasil (monitoring evaluasi). Dari sini organisasi memperoleh pilihan kebijakan yang akan diambil, seperti mengubah cara berkomunikasi, mengubah SOP, mengganti teknologi, dan mengganti produk.
Tapi, peserta menilai model ini dasarnya untuk memperkuat posisi sebuah perusahaan. Sehingga langkah yang ditempuh disesuaikan dengan kapasitas, target, tujuan, dan kepentingan organisasi masing-masing.
Strategi Komunikasi dan Pelibatan Media
Materi Strategi komunikasi dan pelibatan media dibawakan oleh Nunik Maharani Maula, Direktur PT Rumah Komunikasi Indonesia (ICOMM). Menurut Nunik, strategi komunikasi diperlukan untuk memastikan bahwa khalayak sasaran mengetahui dan memahami kebijakan, program dan aktivitas organisasi dengan akurat, tepat waktu dan konsisten. Juga untuk memastikan bahwa informasi atau isu yang berkembang ditangani dan direspon tepat waktu dan dengan cara yang cepat. Strategi komunikasi jika diolah dengan baik akan menjaga dan meningkatkan kredibilitas dan reputasi organisasi.
“Tujuan kita berkomunikasi harus memenuhi kaidah ‘smart’, yaitu specific, measurable, attainable, results—orientated, time limited,” ujar Nunik. Pesan yang ingin disampaikan mesti disesuaikan dengan kapasitas khalayak sasaran dan biasanya lebih singkat, padat dan jelas. “Kita pun harus memastikan bahwa pesan yang dikeluarkan sesuai dengan persepsi atau yang kita bayangkan, sebab ketika pesan telah keluar kita akan kesulitan mengontrol makna yang tiba di khlayak,” ungkap Wahyu, trainer pada salah satu sesi. Selain itu, apa yang kita katakan dan lakukan konsisten atau sesuai dengan citra yang sebelumnya ingin kita tampilkan.
Menyangkut media, Nunik mendefinisikan media sebagai sumber informasi utama masyarakat yang membentuk opini dan persepsi publik. Media memberikan manfaat bagi organisasi, khususnya LSM, seperti media dapat memperkuat citra organisasi, membangun pemahaman terhadap upaya yang dilakukan organisasi, memperoleh dukungan dari pihak ketiga, menargetkan komunikasi dengan komunitas tertentu, dan mengelola risiko reputasi.
Agar dapat menjalin hubungan dengan media dalam hal ini wartawan, aktivis organisasi perlu memahami apa yang dibutuhkan oleh wartawan dan apa yang mereka harapkan dari organisasi. “Wartawan membutuhkan fakta yang orisinil dengan data yang lengkap, akses terhadap informasi, dan juga breaking news (sesuatu yang baru). Mereka sebenarnya ingin menjalin kerjasama, ingin menambah pengetahuan dan tentu akses,” tambah Nunik.
Praktek dan Simulasi
Pada hari kedua dan ketiga lebih memfokuskan pada simulasi dan evaluasi. Wahyu mengajak peserta untuk mendefinisikan tujuan komunikasi pada aspek media komunikasi internal dan eksternal (Kelompok dibagi dua, yaitu media internal dan eksternal), disertai analisis media dan mekanisme feedback. Tujuan komunikasi disesuaikan dengan stakeholder yang dituju, pada Pemerintah Daerah dan DPRD misalnya, komunikasi bertujuan agar kebijakan regulasi Pemda dapat memihak isu yang digalang, juga dalam hal dukungan anggaran dan politik. Pada komunitas dampingan, komunikasi bertujuan sebagai edukasi berupa pengetahuan, sikap dan perubahan perilaku, keterlibatan mereka dalam program dampingan. Komunikasi pada ranah publik diperuntukkan dalam hal membangun opini, pembelajaran dan juga dukungan program.
Pada media internal wahyu menekankan pada kebutuhan komunitas dampingan, baik itu berupa buletin, stiker, spanduk, film dokumenter atau pun website. “Media internal digunakan untuk menyampaikan pesan ke khalayak dan komunitas dampingan, kualitas disesuaikan dengan target sasaran misalnya memperbaiki kualitas website agar program-program yang dilaksanakan diketahui oleh publik, dan memperbaiki kualitas majalah agar organisasi kita lebih bisa diterima oleh kalangan akademisi dan birokrat,” ungkap wahyu.
Pada media eksternal terdapat beberapa alternatif yang ditawarkan, seperti press release, talk show, artikel dan iklan. Press realease semestinya disesuaikan dengan keinginan wartawan atau karakteristik media cetak, seperti berita yang singkat, padat, berupa hardnews dengan struktur berita berupa piramida terbalik (memuat unsur : what, where, when, who, how, and why). “Lebih baik lagi kalau teman-teman memiliki jaringan di kalangan wartawan, berita akan lebih mudah diterima,” ujar Wahyu. Para aktivis dapat menyalurkan ide dan gagasannya melalui kolom opini atau pun artikel di media cetak.
Organisasi juga dianjurkan untuk menyelenggarakan talkshow sehingga mendapat liputan media siaran. Talkshow yang baik biasanya didukung oleh narasumber yang analitik, kontraversial, artikulasinya bagus, host-nya kreatif, dan memilih media dan waktu yang tepat. Dapat pula menyebarkan informasi program melalui media radio komunitas dalam bentuk talkshow, sebab warga banyak juga yang menggunakan radio untuk memperoleh informasi hangat.
Pada hari ketiga dilakukan simulasi konfrensi pers dengan studi kasus tertentu (Kasus penganiayaan dan pembunuhan narapidana di dalam penjara). Pada simulasi ini peserta membagi peran, ada yang bertugas sebagai pengacara, ketua LBH, advokat, keluarga korban, dan wartawan yang mengikuti konfrensi pers. “Pada sesi ini, kelompok sudah memperlihatkan model konfrensi pers yang cukup bagus, hanya saja kurang dalam penggalian data. Sebenarnya Ini wajar karena waktu persiapan yang singkat,” ucap Wahyu yang dalam empat hari pelatihan membawakan pelatihan dengan suasana yang santai dengan banyak lelucon.
Hari keempat peserta memperoleh kesempatan untuk berkunjung ke dapur redaksi Jawa Pos Surabaya. Peserta disambut hangat oleh Redaktur Pelaksana dan dua orang redaktur utama. Masing-masing peserta melontarkan pertanyaan tentang bagaimana pers bekerja dan bagaimana pola kerjasama yang baik antara LSM dan koran. Banyak pertanyaan yang muncul dan dijawab dengan lugas dari pihak Jawa Pos. Jawa Pos pada dasarnya ingin mejalin kerjasama dengan pihak LSM dan memang sementara ini telah menjalin kerjasama dengan beberapa LSM yang dikenal baik dan kredibel. Pers membutuhkan partner dalam mengkawal beberapa isu penting, misalnya isu perdagangan anak di bawah umur untuk pekerja seks komersial, isu kekerasan terhadap TKI, atau pun isu lingkungan. “Yang kami butuhkan adalah informasi yang akurat, lengkap dan data terbaru. Juga akses yang mudah diperoleh. Pola hubungan kami dengan lsm bersifat informal dan pertemanan, dan kami biasa menghubungi mereka untuk menverifikasi kasus terbaru,” ungkap redaktur.
Sepulang dari redaksi Jawa Pos, peserta meluangkan waktunya untuk keliling-keliling Surabaya. Ada yang ke Jembatan Suramadu, ada yang sekadar putar-putar menikmati suasana malam Surabaya, dan ada yang lebih memilih menikmati suasana hotel di malam hari. Hari Kamis, 15 November, peserta pamit satu persatu, kembali ke daerahnya masing-masing, ada yang ke Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jeneponto, Jakarta, Jambi, dan saya kembali ke Makassar.