Lokakarya kemiskinan dan Pemberdayaan Desa Hutan

Kamis – Jumat , 20 – 21 Desember 2012, Sulawesi Community Foundation (SCF) yang didukung Kemitraan – Ford Foundation menyelenggarakan lokakarya bagi para pengambil kebijakan terkait pemberdayaan masyarakat sekitar hutan se Sulawesi Selatan. Lokakarya ini mengundang 20 peserta yang terdiri dari para pengambil kebijakan di tingkat pemerintah kabupaten, perguruan tinggi dan LSM Lokal, diantaranya Dinas Kehutanan Provinsi, Dishut Kab. Luwu Utara, Dishut Barru, Bappeda Provinsi, Commit, LSM Balang dan LSM TLKM.

Lokakarya ini bertujuan untuk mendorong internalisasi aspek kemiskinan melalui strategi kebijakan. Dalam hal implementasi skema pemberdayaan di dalam dan sekitar kawasan hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat atau skema Community Based Forest Management (CBFM).

Kemiskinan merupakan persoalan yang bersifat multidimensi, yang diselesaikan secara bersama-sama dan bersifat multipihak. Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan menurut data BPS pada Maret 2011 sebesar 832,9 ribu atau 10,29 persen. Pada perhitungan Maret 2012 sekitar 825,79 ribu atau 10,11 persen. Sehingga penduduk miskin turun sekitar 7,1 ribu orang. Selama periode Maret 2011 – Maret 2012, penduduk miskin di daerah pedesaan bertambah 0,7 ribu orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 7,8 ribu orang. Dari angka-angka tersebut, sebagian besar (84,35 persen) penduduk miskin berada di pedesaan yang bersinggungan langsung dengan sumberdaya hutan. Data ini menerapkan model pendataan Poverty participatory assessment and monitoring (PPAM).

Di sini kita mengaitkan antara isu kemiskinan dan isu lingkungan, “Dalam pembelajaran kita selama enam tahun. Sejak orde baru, penguasaan lahan lebih banyak diberikan pada para pemilik modal yang biasa disebut pemilik IUPHHK atau HPH. Sementara masyarakat sekitar hutan dilarang untuk masuk dan memanfaatkan kawasan hutan negara. Sehingga, masyarakat tetap menjadi miskin dan rentan terjadi konflik, seperti konflik penggunaan lahan. Belum lagi terjadi kerusakan alam,” ujar Rustanto Suprapto, Direktur Eksekutif SCF.

Lokakarya ini untuk membincangkan Permenhut No. 37 tahun 2009 tentang hutan kemasyarakatan, Permenhut No. 49 tahun 2009 tentang Hutan Desa dan Permenhut No. 23 tahun 2009 tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dimana terbuka peluang bagi masyarakat di sekitar hutan untuk memanfaatkan kawasan hutan negara, baik itu hutan lindung, hutan produksi, maupun hutan yang tidak produktif dalam jangka waktu 35 tahun ditambah perpanjangan.

Namun menurut Tanto, analisis kebijakan pada Permenhut No. 37 belum mengatur skema untuk memperioritaskan masyarakat miskin untuk memperoleh lahan. “Yang diatur hanyalah bagaimana masyarakat memperoleh lahan, tapi tidak ada clousul yang menutamakan orang-orang yang belum mempunyai lahan, sementara yang memperoleh lahan itu rata-rata yang sudah punya lahan di luar. Dari segi semangatnya, kebijakan ini hanya mempertimbangkan aspek resolusi konflik, tapi belum mengutamakan aspek kemiskinan,” tambah tanto.

Participatory Poverty Assessment and Monitoring (PPAM)

Pemateri yang lain adalah Agus Afianto, Dosen Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Ia melihat ada ketimpangan antara anggaran penanggulangan kemiskinan dengan implikasi penurunan angka kemiskinan. Anggaran Sulsel pada tahun 2010 naik hingga 41,99 persen dari anggaran tahun 2009 yang ternyata hanya menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,82 persen.

“Tapi penurunan kemiskinan tidak sampai satu persen. Penyebab kemiskinan biasanya karena ketidaktepatan target sasaran penanggulangan kemiskinan, penerapan indikator yang seragam di seluruh wilayah, tidak tersedianya data informasi akar penyebab kemiskinan,” ungkap Agus. Bayangkan, anggaran Sulsel pada 2010 sebesar 200 milyar dan meningkat hingga 500 milyar pada 2011, namun penurunan kemiskinan dalam setahun itu hanya 0,7 persen, dimana angka kemiskinan pada 2010 berada pada angka 12,31 persen dan pada 2011 pada angka 11,61 persen.

Menurut Agus, sebelum mengentaskan kemiskinan, kita harus terlebih dahulu melacak siapa sih miskin itu dan berapa jumlahnya? Selama ini indikator kemiskinan berpatok pada BPS dan lembaga pemerintah lainnya, yang diperoleh dari hitungan pengeluaran untuk konsumsi. Agus punya kategori dan cara lain dalam menetapkan indikator miskin. Kemiskinan tidak hanya terkait karena ketidakberdayaan individu, misalnya ketiadaan materi, kesehatan dan pengetahuan. Tapi juga terkait dengan persoalan sosial, budaya, dan politik (eksternal). Sistem pendataan kemiskinan tersebut ia namakan : Participatory Poverty Assessment and Monitoring (PPAM).

Konsep dasar PPAM dikembangkan dari NSAP (…) yang terdiri atas tiga lapisan lingkaran. Pada lapisan terdalam (core/inti) yaitu menilai dimensi keterpenuhan materi, pengetahuan, dan kesehatan. Lapisan berikutnya ada aspek politik, ekonomi, sosial dan alam. Dan lapisan terluar yaitu menyangkut aspek layanan dan infrastruktur. “Prinsipnya adalah mengedepankan informasi dari masyarakat dengan pendekatan partisipatif. penilaian dilakukan dengan mula-mula mendengarkan si ‘miskin’, lalu menyusun rencana, kemudian aksi dan ditutup dengan evaluasi,” ucap Agus.

PPAM disusun dengan adanya kesepakatan tentang indikator lokal yang ditempuh dengan metode FGD (Focus Group Discussion). Dilanjutkan dengan penyusunan kuisioner dan data pendukung. Setelah itu barulah dilakukan sensus dengan mengadakan pertemuan kelompok atau mendatangi dari rumah ke rumah untuk pengisian kuisioner. Langkah terakhir yaitu pengolahan data dan analisis untuk klasifikasi kesejahteraan.

Langkah pertama yaitu Analisis kemiskinan, dimana terdapat tiga kategori yaitu ketidakberdayaan, keterisolasian, dan kerentanan. Kategori ketidakberdayaan apabila indeks berwarna merah terletak pada core (inti). Semakin banyak dimensi di dalam core (inti) yang berwarna merah, maka semakin tidak berdaya si miskin untuk mampu keluar dari kondisi kemiskinannya. Kategori keterisolasian apabila indeks berwarna merah terletak pada konteks luar (outer contex). Warna merah pada dimensi ini akan menghambat keluarga/kelompok/komunitas untuk berkembang meraih kesejahteraannya. Sedangkan kategori rentan apabila indeks berwarna merah terletak pada konteks dalam (inner contex). Semakin banyak dimensi di dalam konteks dalam (inner contex) yang berwarna merah, maka semakin rentan suatu keluarga/kelompok/komunitas terjatuh ke dalam kemiskinan.

Setelah itu dilakukan penyusunan perencanaan partisipatif dengan berdasar pada prioritas kebutuhan yang diamati pada potensi dan harapan para petani. prioritas kebutuhan ini dilanjutkan dengan rencana komunitas yang didasari pada SMART (Spesific, Measurable, Achievable, relevant, time-bond).

Dalam PPAM ini Agus memegang tujuh (7) prinsip dalam penanggulangan kemiskinan. Yaitu :

  1. Keberdayaan : Penanggulangan kemiskinan harus mampu membebaskan masyarakat miskin dari ketidakberdayaan dan meningkatkan keberdayaannya.
  2. Persamaan Hak dan tanpa Diskriminasi : Penanggulangan kemiskinan menjamin adanya kesetaraan dan kesamaan hak tanpa membedakan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, usia, bahasa, keyakinan politik dan kemampuan.
  3. Kesetaraan dan kesederajatan : Penanggulangan kemiskinan harus mampu menjamin adanya kesetaraan dan kesederajatan masyarakat miskin dalam mengakses berbagai sumber daya.
  4. Manfaat Bersama : Penanggulangan kemiskinan harus memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan baik laki-laki maupun perempuan.
  5. Tepat sasaran dan adil : Penanggulangan kemiskinan harus menjamin ketepatan sasaran dan berkeadilan.
  6. Perwujudan Martabat Manusia : Penanggulangan kemiskinan harus mampu menghasilkan segala sesuatu yang merupakan perwujudan martabat manusia
  7. Kemandirian dan keswadayaan : Penanggulangan kemiskinan harus mampu meningkatkan kemandirian dan keswadayaan masyarakat miskin, dan bukan sebaliknya menumbuhkan ketergantungan kepada pihak lain termasuk pemerintah

Rekomendasi Workhop

  1. Perlu mengharmonisasi kebijakan bidang kehutanan dalam skema pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan yang belum mengakomodasikan aspek kemiskinan dengan menindaklanjuti melalui penetapan Peraturan Bupati sebagai langkah awal dan Peraturan Daerah bila memungkinkan.
  2. Perlu dukungan pemerintah propinsi dalam bentuk surat edaran Gubernur dalam menginternalisasi aspek kemiskinan dalam skema pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
  3. Perlu sinkronisasi dan integrasi program / kegiatan antar SKPD dalam upaya menginternalisasikan aspek kemiskinan dalam implementasi kebijakan kehutanan dengan skema pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
  4. Perlu strategi sosialisasi yang kreatif parapihak dalam mendukung internalisaai aspek kemiskinan dalam implementasi kebijakan kehutanan.
  5. Perlu pilot proyek di kabupaten/kota untuk mengakselerasi program penanggulangan kemiskinan ke dalam skema pemberdayaan masyarakat hutan
  6. Perlu adopsi PPAM sebagai pilihan metodologi dalam proses mengidentifikasi kemiskinan daerah, secara khusus untuk menentukan calon pemanfaat pada skema-skema pemberdayaan masyarakat sekitar hutan (HKm, HTR, HD)
  7. Perlu advokasi untuk menjamin keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

Workshop ditutup pada Jumat siang, setelah shalat Jumat. Dengan munculnya beberapa poin rekomendasi di atas, besar harapan agar penanggulangan kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan dapat dilaksanakan secara simultan, terintegrasi, tepat sasaran dan partisipatif.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content