Pendampingan Kelompok Tani menuju Sertifikasi

“Kalau untuk kebaikan lakukan saja,” ujar Hasbi (52), calon anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Taman Subur Desa Tamalanrea.

Kalimat itu terlontar sesaat setelah saya meminta Surat Pemberitahuan Pajak Terhitung (SPPT) miliknya. SPPT merupakan salah satu syarat untuk menjadi anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Taman Subur Desa Tamalanrea, desa yang didampingi dalam proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Syarat lain untuk menjadi anggota KTHR yaitu surat pernyataan kesediaan dan surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh pemerintah setempat.

KTHR Taman Subur adalah kelompok yang menggantikan KTHR di Desa Bonto Bulaeng yang mundur karena alasan kesibukan ketua kelompoknya. Ia terlalu sibuk menangani proyek di bidang perkebunan dan pengadaan barang di Bulukumba, sulit bagi ketua kelompok untuk melanjutkan proses SVLK ini lagi. Karena alasan tersebut, maka saya memilki inisiatif untuk mengganti kelompok tersebut dan memilih kelompok Taman Subur. Selain KTHR Taman Subur, saya juga mendampingi KTHR Lompo Mula di Desa Batang dan KTHR Bonto Puang di Desa Dwitiro.

Pendampingan hutan rakyat untuk SVLK periode kedua dilakukan sejak Desember 2011. Sementara periode pertama dilakukan sekitar bulan enam dan telah mengajukan permohonan untuk audit kelembaga auditor. SVLK adalah suatu persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan dan memuat standard, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.

Saya terlibat dalam proses SVLK mulai Desember 2011. Menggantikan posisi pendamping sebelumnya dari Bantaeng yang tiba-tiba berhenti lantaran kesibukan serta domisilinya yang cukup jauh dengan daerah dampingan.

Pengajuan untuk permohonan audit tahap pertama sudah dilakukan dengan melibatkan empat desa yaitu Balang Taroang, Sapo Bonto, Bonto Bangun dan Bonto Lohe. Tapi tim auditor tidak menidaklanjuti permohonan audit dengan alasan belum lengkapnya berkas-berkas administrasi asosiasi. Maka dilakukanlah pendampingan tahap kedua.

Pendampingan dilakukan di delapan desa. Yaitu di Desa Tamalanrea, Desa Batang, Desa Dwitiro, Desa Karassing, Taroang, Sapo Bonto, Bonto Bangun dan Bonto Lohe. Jalannya pengumpulan berkas seperti SPPT, keterangan tanah, dan bukti pernyataan kesediaan tidak banyak mengalami hambatan, mengingat dukungan dari kepala desa dan kerja keras ketua kelompok.

Mulanya dilakukan pengumpulan berkas dan pengambilan titik koordinat anggota kelompok di Desa Dwitiro, dilakukan selama lima hari bersama ketua dan sekretaris kelompok. Sementara di Desa Batang dan Desa Tamalanrea hanya berlangsung dua hari. Pengambilan koordinat cukup terganggu oleh cuaca dan kurangnya waktu dari anggota kelompok. Namun, seusai pengambilan titik koordinat, para anggota tidak mengumpulkan surat keterangan tanah dan bukti kepemilikan lahan, padahal pengumpulan berkas sudah mepet.

Sampai saat ini anggota APKAR sekitar 284 orang dengan luas lahan 168 Ha. Lokasi pendampinganan dibagi atas empat daerah dampingan. Satu orang di Desa Balang Taroang dan Sapobonto, satu orang di Bonto Bangung dan Bonto Puang, satu orang di Karassing, satu orang di Desa Batang, Tamalanrea, dan Dwitiro. Tidak semua warga bersikap terbuka mengikuti proses SVLK, ada juga warga yang mengatakan bahwa kegiatan ini hanya untuk membatasi kita mengelola kayu.

Mereka tidak mau mengikuti proses karena takut kayunya akan menjadi milik asosiasi. Kendala lain yaitu masalah kepemilikan tanah milik anggota dalam bentuk SPPT. Luas tanah milik anggota di lapangan tidak sama dengan yang mereka laporkan untuk mendapatkan SPPT. Sepertinya mereka ingin menghindari pajak, sehingga mengecilkan lahannya di SPPT.

Ketua KTHR Taman Subur juga mengatakan kepada anggota kelompoknya, “kayu yang diukur akan dijual ke pasar luar negeri, jadi kumpul saja SPPT bapak secepatnya”. Pernyataan ini terlalu cepat disampaikan. Selain itu, terdapat SPPT anggota yang namanya tidak sama dengan nama yang diajukan saat kesediaan menjadi anggota. Ini disebabkan oleh proses jual beli lahan atau lahan tersebut merupakan tanah warisan dan belum dilakukan pengantian atas nama.

Tahap selanjutnya yaitu penyiapan berkas audit, seperti SOP yang sudah dibagikan ke kelompok dan AD/ART apkar. Sekretariat APKAR dan buku besar anggota APKAR turut dibenahi. Setelah pengarsipan buku besar, maka kami mengembalikan berkas anggota ke setiap kelompok. Lalu penyiapan akhir dengan membuat sketsa lahan milik kelompok/anggota, mengingat sebelumnya disiapkan peta wilayah kerja APKAR masing masing desa dan titik koordinat masing masaing anggota. Padahal yang menjadi verifier utama adalah sketsa lahan yang menjelaskan letak lahan milik anggota dan batas-batasnya.

SVLK sendiri melingkupi kepastian pasar, payung hukum yang jelas dan pengelolan hutan lestari. Peran serta anggota masyarakat dalam proses SVLK merupakan faktor penunjang dalam penyiapaan auditor SVLK itu sendiri.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content