Pukul 10.00 pagi, terik sudah menusuk, Bandara Sultan Hasanuddin tampak jumawa oleh langkah-langkah migrasi, lalu lalang orang pulang dan pergi. Bandara layaknya pasar tempat orang tawar menawar, di sana ada loket tiket, warung makan, bising tengik agen transportasi. Sejarah dahulu dibangun di tempat seperti ini, tempat barang datang dari negeri yang jauh dan hasil bumi diangkut ke sauh untuk diantar di bumi kuning. Tampaknya, ratusan juta uang beredar saban hari di tempat ini.
Minggu, 27 Oktober itu, saya ikut antri di loket Garuda, bersama puluhan calon penumpang lain. Tak disangka, terjadi keributan di loket, terlihat seorang ibu danbapak protes ke petugas dan meminta jadwal penerbangannya tidak ditunda. Tiba-tiba saja pihak garuda menunda penerbangan ratusan orang hari itu ke jadwal penerbangan berikutnya. Alasannya karena kursi sudah penuh dan mereka tak dapat memberikan jawaban kenapa penumpang gelap itu asalnya dari mana? Orang-orang yang protes itu bertahan di depan loket, membuat kami yang dibelakang seperti patung yang kelelahan menunggu.Tak terasa sudah hampir satu jam saya ikut antri, namun tak mendapat kepastian. Saya mendatangi petugas loket dan menyodorkan tiket, dia bilang jadwal Anda juga ikut ditunda. Tanpa berfikir panjang saya menerima saja kebijakan itu, walau dengan sedikit gerutu, “Kok bisa garuda berbuat hal ceroboh seperti ini?”
Sisa waktu yang berkisar tiga jam itu saya luangkan untuk duduk di cafe bandara, menyeruput kopi dan membuka laptop untuk mengerjakan tugas kantor yang lain. Cafe bandara ini cukup diminati banyak orang, tengah hari orang berdatangan untuk mengisi kampung tengah atau sekadar minum kopi menanti panggilan terbang. Setelah mengerjakan sebagian tugas ketik-an, saya pun bergegas ke ruang tunggu, menanti keberangkatan.
Garuda kecil itu take off pada pukul 14.00 dan mendarat di Bandara Jalaluddin, Gorontalo pada pukul 16.00. Bandara yang dari luar terlihat lawas itu menyisakan sepotong kenanganakan bandara lama di Makassar. Dengan hamparan padang hijau-nya di sepotong keliling mata, aspal hitam yang basah dengan garis-garis kuning yang kita langkahi menuju pintu masuk ke ruang bagasi, dan luas kotak landasannya yang cuma dapat memarkir tiga atau empat pesawat saja.
Bandara adalah tempat pertama kali kita menandai rasa sebuah kota. Dengan terik mataharinya, menaranya, dan papan ucapan selamat datang. Bersama penumpang lain saya memasuki gerbang, melihat gestur wajah petugas bandara dan supir taksi, mendengar logat bicara mereka, membuat alam imajinasi saya membumbung. Tampaknya setiap tempat mempunyai rasanya masing-masing. Yang begitu luar biasa emosional pada pengalaman pertama, kunjungan kedua kadar emosinya bisa jadi menurun. Rasa penasaran melempem dan mungkin hanya mensisakan rasa rindu semata.
Pikiran saya kembali disibukkan dengan pertanyaan bagaimana dapat tiba diBoroko dengan selamat? Boroko merupakan pusat kota Kabupaten Bolaang Mongondow Utara atau disingkat Bolmut. Saya bertanya ke supir taksi untuk kesediaannya mengantar ke Boroko, namun tak satupun supir taksi yang mengiayakan. Beruntung ada supir bentor yang dengan mata nyalang bertanya-tanya tentang arah tujuan. Saya bilang ke Bolmut. Dia menjawab, kita naik bentor (becak motor) ke Terminal SentralAsimo dan menunggu mobil angkutan ke Boroko. Saya menurut saja pada supir bertubuh bongsor itu. Bentor-nya lumayan besar dan full music. Kami pun berbelok-belok, keluar bandara dan tiba di tepi jejeran pertokoan, depan sebuah mesjid besar. Saya disambut gembira oleh para kernet dan meminta untuk menunggu sebentar angkutan ke Boroko. Sekitar setengah jam saya mengamati mobil lalu lalang, pengendara motor, pejalan kaki. Akhirnya ada mobil yang mengarah ke Boroko, sebuah mobil angkot dengan kapasitas 15 orang. Saya duduk di bangku paling belakang bagian tengah, diapit oleh dua bapak tua yang mengenakan peci. Di bangku tengah duduk ibu tua beserta para cucu-cucunya. Di bangku tengah depan, tepat di belakang supir terdapat anak-anak muda duduk berdempet-dempetan. Mobil pun melaju gegas, dimeriahkan oleh lagu Manado dan Ambon yang mengiringi perjalanan kami.
Lagu daerah sangat cocok menemani penumpang sepanjang perjalanan. Apalagi saat memandang kiri kanan jalan yang dirimbunipepohonan kelapa, jati putih, pohon kayu, dan rumah-rumah kotak dengan halaman dihiasi bunga-bunga. Pemandangan desa dengan jalan sempit, terdapat penduduk setempat menghabiskan waktu nongkrong petang hari dan hanya satu dua mobil yang melintas, sangat menawarkan rasa khas Indonesia. Indonesia yang dalam damai menyerap pelan modernitas, walau kian terasa janggal ketika kita mengunjungi pelosok dan pinggir-pinggir Indonesia. Pada ruas-ruas jalan itu, kekuatan alam dan fisik begitu dominan, dimana rakyat menggantungkan hidup pada keberadaan sumberdaya alam yang sebenarnya sudah mulai rentan.
Tiga setengah jam perjalanan melintasi petang akhirnya mobil tiba di depan Hotel Triputra, Boroko. Hotel yang ruang tamunya dihiasi oleh rak berisi buku-buku sejarah, filsafat dan agama. Terdapat buku Moh. Hatta di sana. Ada juga Buku tentang Imam Ali. Saya tak punya banyak waktu untuk mengamati judul-judul buku, sebab tubuh minta istirahat sejenak di kamar penginapan. Sayang, penginapan itu tak menyediakan makan malam, sementara perut sudah minta jatah makan malam, apalagi tadi siang juga lupa diisi penganan berat. Saya mencoba untuk berjalan-jalan ke luar dan mencari warung-warung kecil yang menjual makan. Akhirnya setelah menempuh jarak sekitar 150 meter dari penginapan, terdapat kios kecil yang menjual nasi kuning.
Dengan suhu kamar 24oC, malam itu saya tidur begitu lelap dan terbangun pukul 07.00 pagi. Setelah mandi dan sarapan, saya menghubungi Bapak Yudi (pegawai dinas bidang kehutanan Bolmut) untuk konfirmasi kunjungan ke pengusaha-pengusaha kayu di sekitar Kec. Bintuna, Bolmut. Bapak Yudi akan ke hotel setelah upacara Sumpah Pemuda, 28 Oktober, namun hingga pukul 10.00 belum ada tanda-tanda bahwa ia hendak bertandang ke hotel. Saya berinisiatif untuk menghubunginya via handphone, Bapak Yudi meminta maaf karena beliau sedang sibuk mengurus administrasi dan persuratan Workshop Sertifikasi Kayu pada 30 Agustus, dia meminta saya berkenan untuk datang ke kantornya yang bersebelahan dengan Kantor Pertanian Bolmut. Mendengar kabar itu saya tanpa membuang-buang waktu segera chek out dan mencari bentor untuk diantar ke kantor kehutanan.
Awalnya saya kesal dengan sikap Bapak Yudi yang tidak segera memberi konfirmasi, tapi ketika tiba di kehutanan dan disambut hangat, rasa kesal saya itu melempem dan justru timbul rasa persaudaraan. Yudi terlihat sibuk mondar-mandir membawa berkas-berkas persiapan pelatihan yang juga didukung oleh SCF (Sulawesi Community Foundation), yayasan nirlaba yang mengutus saya ke daerah ini untuk mengamati aktivitas industri pengolahan kayu. Yudi pun membantu menghubungkan saya dengan Adink, staff honor yang selama seharian itu menemani saya mampir ke industri-industri primer kehutanan.