Perjalanan dan Potret Industri Primer Pengolahan Kayu di Bintauna (Part II)

Bidang Kehutanan Bolmut

Pada sela waktu di Kantor kehutanan, saya berkesempatan untuk wawancara dengan Kepala Bidang Kehutanan, Bolmut, Ir. Daniel Palilu. Saat itu saya mencoba untuk mencari tahu gambaran besar industri primer kayu dan bentuk dukungan pemerintah Bolmut untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan industri primer. Alhamdulillah, bapak berdarah Toraja itu merespon dengan baik.

Industri kehutanan di Bolmut menurut pengamatan Daniel masih dalam kondisi stabil. Hanya saja beberapa industri sedikit terhambat ketersediaan bahan baku kayu. Enam industri yang masih bertahan mengandalkan bahan baku dari hutan rakyat, seperti kayu rimba campuran (aras, bugis, bayur, nantu/nyatoh, bolangitang), kayu jati putih/gmelina, jabon. Sumber kayu lainnyaberasal dari kawasan hutan produksi dengan melakukan tebang pilih, seperti kayu jenis Cempaka dan Aliwowos/besi perempuan. Namun Daniel tidak menjelaskan metode pengambilan kayu dari hutan produksi.

“Sebenarnya pemilik HPH mempunyai kewajiban untuk menyisihkan lima persen sumber kayunya untuk industri kecil. Tapi sampai saat ini masih sebatas komunikasi dan belum ada tindak lanjut,” ujar Daniel. Kayu HPH yang dikelolah PT. Huma Sulut Lestari saat ini sepenuhnya dikuasai oleh PT. Bela Samia Lestari yang kayu olahannya dijual hingga ke Manado, Surabaya, dan kota lainnya. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa PT. Huma Sulut Lestari dan PT. Bela Samia Lestari berada di bawah kendali orang yang sama, yaitu Muh. Djohan Liando.Selain itu, menurut Daniel, pasar kayu PT. Bela Sania lebih baik dibanding industri kayu saingannya. “walau harga tinggi, kayu PT. Bela Samia Lestari lebih disukai karena kualitasnya unggul,” kata Daniel.

Pihak kehutanan juga sudah melonggarkan perizinan dalam memanfaatkan hutan rakyat. Masyarakat boleh memanen kayunya sendiri tanpa ada surat-surat tertentu dari Bidang Kehutanan, tapi mereka tetap diharuskan untuk melaporkan kegiatan pemanenannya tersebut. “Kayu rakyat yang dikembangkan adalah jenis kayu yang mudah tumbuh, seperti jabon dan gmelina,” tambah Daniel. Dukungan terhadap kayu rakyat dimulai pada 2010 dengan menggalakkan program KBR (Kebun Bibit Rakyat). Mayarakat pun tidak sungkan-sungkan lahannya ditanami tanaman kayu. Meski begitu ada juga yang beranggapan bahwa kayu jabon dan jati mudah pecah dan kurang baik untuk industri rumah panggung. Sehingga jenis kayu itu hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, seperti pembuatan plafon, latah (kerangka atap) atau lapis berseri untuk dinding. Kayu yang digunakan untuk kebutuhan industri rumah panggung yaitu Aliwowos (Besi perempuan) untuk tiang dan kerangka rumah, nyatoh diolah menjadi lembar seri untuk dinding, jendela, plafon, tangga, dan ornamen-ornamen lainnya. Kayu Nyatoh bisa digantikan jenis kayu rimba campuran yang lain, yang di Bolmut dikenal dengan kayu Bolangitang.

Mengantisipasi kayu ilegal yang mungkin masih beredar di wilayahnya, Daniel merespon wacana SVLK untuk diterapkan pada industri pengolahan kayu di Bolmut. Kayu harus dapat dilacak asal usulnya dengan pengamatan dokumen asal usul kayu, baik lokasi pengambilan kayu, jenis, diameter/umur, dan surat keterangan pengangkutan. Wacana ini sudah mulai diketahui oleh para pengusaha kayu dan mereka merespon positif kebijakan pemerintah untuk memperketat keterlacakan kayu. Saya mendapat informasi bahwa sudah ada pengusaha yang mencoba untuk melakukan aplikasi SVLK dengan penyiapan berkas-berkas. Para pengusaha kayu tersebut sementara ini melakukan konsultasi dengan konsultan dari SCF untuk penyiapan sertifikasi legalitas kayu.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content