Menuju Kawasan Industri Kayu
Tengah hari kami siap-siap berangkat ke Kecamatan Bintauna, tempat beberapa industri kayu berada. Menuju Bintauna memerlukan sekitar satu jam perjalanan dari Kota Boroko. Beruntung saya ditemani Adink, pegawai berumur 30 tahun ini sudah kenal dengan para pelaku industri kayu primer di Bintauna, sehingga akan memudahkan proses wawancara. Waktu itu ikut pula Sasli, pegawai honor kehutanan juga.
Dalam perjalanan terdapat banyak kebun jati yang ditanam oleh masyarakat. Kebun jati itu tersebar di beberapa desa yang dilewati, seperti Desa Salemo dan Desa Binuanga. Bahkan di Binuanga, rimbun jati putih yang merambat di kejauhan itu adalah milik Sinyo Hary Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara. Kepemilikan kebun tersebut sudah berlangsung selama 6 tahun dan merupakan bekas HPH.
Masuk ke wilayah desa Bahabak terhampar pepohonan kelapa sejauh mata memandang. Perkebunan kelapa ini milik sebuah perusahaan yang mengolah bahan baku kelapa menjadi kopra. Kopra adalah kumpulan daging kelapa yang dikeringkan untuk dijadikan bahan baku minyak kelapa dan turunannya. Beda lagi di desa Binjaita, di sana terlihat banyak petak-petak sawah. Namun sawah di daerah ini sangat bergantung dengan musim atau tadah hujan karena belum adanya sarana irigasi.
PT. Bela Sania Lestari (BSL)
Industri pertama yang kami datangi adalah PT. Bela Sania Lestari (BSL) yang berlokasi di Desa Bunong, Kec. Bintauna.Dari pintu masuk, perusahaan ini tampak boyas dengan hamparan tanah luas yang di sisi-sisinya ada kayu gelondong dan limbah kayu yang bertumpuk-tumpuk, di kejauhan tukang sibuk memotong, menghaluskan balok-balok beragam ukuran. Mobil truk pun terparkir di dalam ruang kerja, hendak menelan kayu-kayu siap pakai ke dalam bagasi-nya.
Saya diajak Adink ke ruang kerja pegawai dalam gedung persegi panjang. Di sana kami menemui Erwin (30-an), penakar kualitas/quality control, pria ini tahu betul seluk beluk kayu. Setelah disodorkan undangan pertemuan pengusaha kayu dari Dinas Kehutanan, Erwin bersedia memberikan informasi tentang produk dan pasar.
BSL menerima bahan baku sepenuhnya dari PT Huma Sulut Lestari, yang merupakan perusahaan penerima konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), satu-satunya HPH yang masih bertahan di Bolmut, terletak di Desa Nunuka, Kecamatan Bolangitang Timur. Sebelumnya masih ada satu HPH yang bernama Lembah Hijau Semesta (LHS), tapi sudah dialihtangankan menjadi kebun jati putih milik Sarundajang, Gubernur Sulut. Sebab itu BSL tidak kesulitan memperoleh bahan baku. Dalam sebulan perusahaan tersebut dapat mendatangkan kayu log sebanyak 2 – 3 mobil truk, dimana satu mobil dapat memuat 18 – 20 kubik. “Namun pengambilan bahan baku tersebut tidak tentu, karena kadang terkendala cuaca yang dapat menyebabkan jalanan becek. Jarak ke sumber bahan baku itu sekitar 60 – 70 kilogram,” ucap Erwin.
Kayu dengan jenis meranti, nyatoh, rimba campuran, aras, dan binuang, bolangitang itu dengan segera diolah oleh para pegawai menjadi balok besar, balok sedang, papan, groti kecil, lembar seri, atau produk lokal seperti pintu, bingkai jendela. Hasil olahan itu diangkut ke Manado atau ke Surabaya melalui Bitung dan diangkut menggunakan kontainer. Sejauh ini rata-rata BSL menghasilkan 300 – 400 kubik perbulan.
Saat melihat proses kerja di pabrik, pegawai sementara memasukkan balok kayu ke dalam mobil truk untuk diangkut ke Manado. Pegawai lain bertugas untuk membelah-belah kayu sesuai ukuran yang diinginkan. Sehingga di sana terdapat potongan-potongan balok dengan berbagai ukuran.. terdapat pula potongan-potongan kayu besar yang belum diolah, pada setiap log kayu terdapat catatan pada lingkaran kayu, yang memuat informasi posisi tegakan di hutan, diameter, hutang yang belum dibayar. “Nomor kayu itu berguna bagi para petugas kehutanan yang tiap tahun melakukan pengecekan jejak tebangan (Cruising),” ujar Erwin.
UD. Lili Meubel
Tak begitu lama kami di Bela Sania Lestari (BSL), kemudian kami bergeser ke UD Lili Meubel milik Bapak Reksosiswoyo, biasa disapa Bapak Leko. Perusahaan industri primer yang dari segi luas lahan pabrik dan jumlah produksi lebih kecil ini sudah berjalan selama dua tahun. Berdiri setelah Bapak Leko tidak lagi menjadi penerbit bagi UD. Bukit Karya Lestari, dan berkeinginan menerbitkan kayu dari perusahaan sendiri. Namun, karena itu Bukit Karya Lestari hingga saat ini mandek tidak beroperasi karena tidak punya penerbit kayu. “semua industri kecil di Bolmut mempunyai penerbit sendiri,” ujar Adink.
Leko mengatakan bahwa UD. Lili Meubel telah menghasilkan bahan baku siap pakai sebanyak 500 kubik setahun dan 30 – 50 kubik perbulan. Berbeda dengan BSL yang bahan baku dari HPH, UD Lili memperoleh bahan baku dari Kayu Rakyat dan dari Hutan Produksi. Setiap minggu UD Lili menerima kayu gelondongan sebanyak satu truk mobil yang memuat 7 – 8 kubik kayu. kemudian kayu itu diolah selama satu minggu menjadi beberapa turunan olahan.
Untungnya masih banyak tanaman kayu lokal yang berada di kebun rakyat, yaitu jenis rimba campuran (Aras, Buarao, Bugis, Bayur, Nantu/Nyatoh, dan Bolangitang). “Kayu lokal ini digunakan untuk kebutuhan bahan baku rumah lokal/rumah biasa, sedangkan kayu nyatoh dan aliwowos serta kayu bugis dapat digunakan sebagai bahan baku rumah panggung khas Minahasa-Tomohon,” ucap Leko.
UD. Lili juga menerima kayu jenis baru yang dipromosikan oleh Bidang Kehutanan Bolmut, yaitu jenis jati putih (gmelina) dan jati kebon (Jabon). Jenis jati ini diintroduksi sejak program Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada 2010. Kayu-kayu tersebut dibeli perkubik, jati dan gmelina seharga Rp. 1.3 jutadan kayu jenisbuarao seharga Rp. 900 ribu. Untuk kayu dari hutan produksi, meranti seharga Rp. 1,25 juta perkubik dan kayu rimba campuran seharga Rp. 1 juta perkubik.
Perolehan kayu yang berasal dari hutan produksi lah yang lebih menantang. Dimana jenis-jenis kayu tertentu, seperti Aliwowos dan Cempaka hanya diperoleh dalam hutan. Industri kayu seperti UD. Lili Meubel, UD Rakyat Mania dan UD. Elvit harus menyewa para penebang kayu untuk masuk di pelosok-pelosok hutan produksi, yang letaknya bersebelahan dengan kawasan HPH. Setelah ditebang, kayu-kayu itu digerek oleh sapi melewati pelosok-pelosok hutan hingga tiba di aliran sungai. Kayu itu terbawa air dan diarahkan hingga tiba di Desa Paku. Dari sinilah batang-batang pohon itu diangkut ke truk dan diantar ke industri. Jarak desa Paku diperkirakan 60 – 70 kilometer dari kawasan industri.
Sejauh pengamatan saya, tidak ada keluhan dalam proses pengambilan kayu itu. Meskit tampaknya para pengusaha maupun pemerintah malas memberi info detil aktivitas penebangan kayu di dalam hutan. Mungkin pihak industri hanya tahu beres, bayar penebang pohon dan tunggu kayu tiba di industri. Sementara pemerintah berfikir yang utama adalah kelengkapan surat-surat pengambilan kayu. Menyikapi hal itu, setidaknya tetap harus dilakukan pemantauan terhadap jumlah tebangan dan potensi restorasi ekosistem hutan. Setelah itu harus ada upaya penanaman kembali jenis-jenis pohon yang dibutuhkan oleh industri. Kita dapat memperidiksi jumlah kayu di hutan produksi dan jumlah kebutuhan kayu oleh industri, sehingga kita dapat memperkirakan apakah ekosistem hutan dapat melakukan peremajaan sendiri (outomatis) setelah terjadi penebangan kayu.