Dari Bibir Pantai ke Ujung Derita: Jejak Langkah Rakyat Pesisir di Tanah yang Menyusut, Laut yang Meninggi, dan Musim yang Tak Lagi Dikenal

Kisah yang Dihapus Gelombang

Basri sedang duduk di anjungan rumahnya, memandang Selat Makassar di hadapannya. Di kejauhan, perahu nelayan terlihat seperti bayang-bayang kecil  melawan arus. Namun bagi lelaki tua bernama Basri, pemandangan itu menyimpan duka yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tumbuh bersama laut.

“Dulu, saya bisa lihat anak-anak berlarian di pantai dari sini. Sekarang air sudah naik sampai jalan depan masjid,” katanya lirih. Basri menunjuk satu titik di halaman yang kini menjadi genangan air asin. “Dulu di situ tempat istri saya menjemur ikan terbang. Sekarang, kami taruh batu bata untuk menghindari air masuk ke dapur.”

Seiring naiknya muka air laut dan abrasi yang tak terelakkan, pantai-pantai yang pernah menjadi ruang sosial masyarakat kini berubah menjadi batas-batas genting antara bertahan dan menyerah. Di beberapa desa seperti Lombong dan Galeso, beberapa rumah sudah dipindahkan tiga hingga empat kali sejak tahun 1980-an. Tanda merah di batang pohon kelapa menandai titik tertinggi yang pernah dicapai air laut—semacam prasasti iklim, ditulis tanpa tinta.

Pada tahun 2017, air laut naik begitu tinggi hingga merendam kawasan rumah konservasi penyu di Desa Galeso, Dusun Mampie. Tanda merah di batang pohon kelapa menjadi saksi bisu batas tertinggi genangan—menandai tidak hanya ketinggian air, tetapi juga titik genting antara pelestarian dan kehilangan

Air Asin di Ember Plastik

Di Dusun Mapie, Desa Galeso, seorang anak perempuan berusia 10 tahun mengangkat dua ember berisi air hujan yang ditadah dari atap seng. Di wajahnya, tak tampak keberatan. Tapi ibunya, Rohani, tahu beban air itu bukan hanya berat secara fisik. Sejak tiga tahun terakhir, sumur-sumur di kampung mereka berubah rasa menjadi asin. “Airnya asin. Rasanya pahit, baunya besi,” ujar Rohani sambil memperlihatkan permukaan air sumur di belakang rumahnya yang kini ditumbuhi lumut kemerahan. Namun, tidak hanya sumur yang berubah, hidup mereka juga. “Sejak sumur kami jadi asin dan berbau karat, semua air masak, mandi, dan cuci kami ambil dari air hujan. Kalau hujan telat turun, kami harus beli. Satu mobil tangki PDAM dengan harga Rp300 ribu. Kadang kami iuran satu RT,” tuturnya. 

Selain di Dusun Mapie, di beberapa tempat, air menjadi komoditas yang lebih mahal dari beras. Di Takatidung, warga membuat tangki kolektif dari drum bekas, ditutup dengan jaring, dan dialasi batu bata agar tahan lama. Di musim hujan, tangki bisa penuh dalam sehari. Tapi di musim kemarau, kurang dari dua hari, air sudah habis. Di Bonde Utara, sumur-sumur yang dulunya dangkal kini diperluas dan dijaga ketat. 

Beban paling berat seringkali jatuh pada perempuan. Mereka harus memasak, mencuci, merawat anak, dan mengatur sisa-sisa air agar cukup digunakan untuk keperluan harian. “Kadang saya harus pilih,” kata Rohani. “Mau untuk mandi anak-anak, untuk masak, atau untuk cuci pakaian. Semua tidak bisa sekaligus.”

Anak-anak pun tumbuh dengan narasi bahwa air itu harus disimpan, dijaga, dan dihargai keberadaannya. Mereka enggan bermain ciprat-cipratan di halaman saat hujan turun. Kini, hujan turun jadi pertanda bahwa ember harus segera dikeluarkan, dan  mereka bisa mandi dengan lega.

Musim yang Bergeser, Nyawa yang Terancam

Tradisi pesisir Mandar mengenal dua musim utama—angin timur dan angin barat. Dulu, para nelayan tahu kapan harus menambatkan perahu dan kapan musim panen laut datang. Kini, pengetahuan itu tergerus, tak lagi presisi. “Musim datang sesuka hati sekarang. Kadang Desember, kadang Januari. Tidak bisa dihitung lagi,” kata Amir, seorang nelayan di Tonyaman yang pernah hampir kehilangan nyawa karena badai yang datang tiba-tiba.

Dalam foto ini, sejumlah nelayan tampak bersiap meninggalkan bibir pantai, menantang gelombang tinggi dan angin musim barat yang belum sepenuhnya reda. Meski ombak masih bergulung besar, dorongan kebutuhan dan keyakinan terhadap laut membuat mereka tetap melaut. Dengan perahu sederhana dan pengalaman yang diwariskan turun-temurun, mereka menyusuri perairan Selat Makassar—menjadikan keberanian bukan pilihan, melainkan bagian dari keseharian. Ini adalah potret ketangguhan nelayan pesisir: menghadapi ketidakpastian cuaca, sambil terus menggantungkan harapan pada arus dan angin

Dalam satu tahun terakhir, gelombang setinggi 2–3 meter merusak puluhan kapal nelayan, membelah jalan trans-Sulbar, dan menghancurkan tambak rumput laut milik warga. Petani rumput laut di Tonyaman dan Takatidung telah mengalami gagal panen berulang. Rantai bibit rumput laut putus dihantam gelombang, kadar salinitas berubah, dan hasil panen menjadi rusak.

Di tengah ketidakpastian ini, pengetahuan tradisional Mandar tentang tanda-tanda cuaca pun terpinggirkan. Awan, arah angin, suara ombak, warna air laut—semua dulu menjadi penunjuk alam yang diandalkan. Kini, bahkan para nelayan senior pun angkat tangan. “Langit sudah tak bisa dibaca,” ujar Amir pelan. “Kadang cerah, tapi badai bisa datang dalam satu jam.”

Apa yang hilang bukan hanya hasil laut, tetapi rasa aman yang selama ini mengikat manusia dengan alamnya. Langit yang semakin sulit dibaca membuat nelayan kesulitan dalam mengakses laut sebagai ruang penghidupannya. Bagi anak-anak, mereka tumbuh tanpa memahami bahwa dahulu ayah dan kakek mereka bisa membaca angin dari gerakan daun kelapa atau dari arah terbang burung camar.

Yang Tenggelam Tak Selalu Terlihat

Di kampung Pabanya, Desa Lombong, jejak permukiman lama kini hanya bisa ditunjuk dari kejauhan. Di titik itu, pernah berdiri rumah, musala, dan makam-makam leluhur. Kini semua tenggelam. “Kami memindahkan kuburan. Tapi kami tidak bisa memindahkan cerita yang ada di bawahnya,” ujar salah satu tokoh adat setempat.

Pantai sebagai ruang (space), bukan hanya berfungsi sebagai ruang ekonomi atau penghidupan (livelihood), tapi juga ruang kebudayaan (cultural space). Bagi masyarakat pesisir Mandar, pantai digunakan sebagai arena kebudayaan. Tradisi menjaring ikan di pesisir seperti pa’jari dan pallawa, misalnya. Mereka juga rutin mengadakan festival rakyat dan lomba perahu sandeq.

Sayangnya, tradisi tersebut semakin sulit dijalankan. Festival rakyat, lomba perahu sandeq, dan pesta laut yang dahulu menjadi perayaan kolektif kini kehilangan tempat. Festival rakyat, pesta panen laut, dan lomba perahu sandeq yang dulu menggema di sepanjang pesisir, kini sulit dilangsungkan. Lapangan tempat anak-anak biasa berlatih menabuh genderang dalam parade telah separuhnya menjadi danau air asin. Bahkan pasir yang dulu jadi arena permainan lumpur, menghilang—bukan terbawa angin, tapi oleh arus yang datang lebih cepat dari yang dapat dicegah.

Pantai menjadi ruang kosong, ruang hampa antara dulu dan sekarang. Seperti album foto yang terbakar, yang tersisa hanya memori kolektif (colective memory) masyarakat yang terus mereka rawat sebagai cerita turun temurun untuk generasi selanjutnya. Hilangnya pantai adalah hilangnya panggung hidup, dan seringkali hal-hal yang tidak terlihat ini justru paling terluka.

Menulis Kembali Masa Depan dari Pesisir

Abrasi mengancam desa lombong, rumah warga dengan bibir pantai kurang dari 2 meter

Masyarakat pesisir Sulawesi Barat sedang menulis ulang takdir mereka dengan pasir yang makin habis, dengan ombak yang makin berani. Mereka tahu bahwa perubahan iklim bukan isapan jempol. Mereka telah mengalaminya, menjadi korban, dan terus mencoba bertahan. Mereka tidak butuh simpati, tapi pengakuan dan dukungan—bahwa di garis terluar republik ini, mereka sedang menjaga batas paling rapuh dari kehidupan: antara laut dan daratan, antara kehilangan dan keberlanjutan.


Penulis: Muliyadi

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content