Agroforestri: Menyusun Ulang Ruang Hidup

Di banyak ruang diskusi pertanian dan kehutanan, agroforestri seringkali dipersempit menjadi rumus teknis: perpaduan antara pohon keras dan tanaman pangan, sistem lorong, kebun campur, dan sebagainya. Dalam banyak perjalanan, saya sering diperhadapkan pada ruang-ruang perenungan tentang kemana agroforestri ini dibawa. Jika ia bentuk adaptasi, semoga tidak menjadi maladaptasi. Jika ia rupa mitigasi, bagaimana keadilan iklim itu perlu disuarakan? Yah, semoga kita tidak skeptis dengan standar keadilan yang kita lihat belakangan ini. Agroforestri bukan sekadar teknik budidaya atau penggabungan jenis tanaman. Ia adalah cara menyusun kembali ruang hidup, ruang yang bukan hanya untuk menanam, tetapi untuk bertahan, berkembang, dan diwariskan. Ia tidak serta merta jadi dalam waktu yang singkat, perlu waktu untuk melihat dan menilai segala aksi reaksi yang terjadi dalam agroekologi yang terbetuk.

Kalimat “agroforestri itu bukan sistem tanam, tapi sistem ruang hidup” menjadi pengingat penting, bahwa kita terlalu sering melihat tanah sebagai permukaan datar yang kosong dan siap diolah. Tanpa kita menyadari, tanah menyimpan sejarah, relasi sosial, adat, bahkan doa. Dalam agroforestri, lahan tidak berdiri sendiri, tapi menyatu dengan lanskap yang lebih luas dan kehidupan masyarakat yang merawatnya.

Sekali lagi, agroforestri sejatinya adalah ruang yang hidup. Di bawah kanopi kakao misalnya, tumbuh kunyit dan di bagian atas kanopinya ada kemiri, petai, dan kayu uru atau kayu afrika. Contoh lain, di sela jati tumbuh pisang dan jahe, sementara di ruang lain ada rumput gajah. Semuanya saling menopang, seperti keluarga. Tanah menjadi lebih gembur, air lebih terjaga, dan petani punya lebih banyak harapan karena tidak berfokus pada satu hasil panen. Agroforestri menghidupkan tanah, air, ekonomi, dan hubungan sosial. Ia dihuni oleh burung, lebah, semut, laba-laba, dan lainnya yang terikat dalam rantai makanan yang kompleks.  Anak-anak yang bermain di bawah rindangnya kanopi yang terbangun, kaya akan oksigen. Dengan demikian, ruang ini tidak hanya digunakan, tapi dihargai dan dirawat.

Kelapa sebagai penaung kakao

Jahe di bawah kanopi kakao

Kopi di antara petai

Langkah pertama dalam membangun agroforestri yang ideal bukanlah menentukan apa yang ditanam, tetapi memahami bentang alam (landscape) tempat ia akan tumbuh. Kondisi tanah, iklim, sumber air, tutupan hutan, hingga jalur satwa liar menjadi pertimbangan utama. Kita tidak sedang merancang kebun biasa, melainkan sistem ekologis yang harus selaras dengan fungsi bentang alam sekitarnya. Menjadi seorang perancang agroforestri harus melepaskan egosentrisnya dan meletakkan sisi antroposentris manusia terhadap perspektif yang holistik. Menurut Leakey (2017), agroforestri berbasis lanskap adalah pendekatan sistemik yang mampu meningkatkan produktivitas dan konservasi secara bersamaan dengan mempertahankan fungsi jasa lingkungan. Pemahaman lanskap mencegah fragmentasi ekosistem dan menjaga kesinambungan rantai kehidupan di dalamnya.

Harus dipahami, dalam agroforestri, masyarakat bukan penerima proyek, bukan objek, melainkan perancang bersama. Pendekatan partisipatif seperti PRA, peta partisipatif, dan diskusi kelompok fokus (FGD), dan co-design menjadi kunci. Petani tahu apa yang mereka butuhkan dan mampu kelola. Pengetahuan lokal adalah fondasi dari sistem agroforestri yang akan bertahan. Setelah persiapan dan perancangan selesai, pendekatan PLA dan PAR juga penting dalam mendokumentasikan proses. Peran masyarakat harus lebih diprioritaskan agar nilai-nilai yang diterapkan dapat terinternalisasi dengan baik. Sangat jauh lebih baik memulai sesuatu dari apa yang diketahui karena itulah indikator kebutuhan yang sederhana. Beberapa studi (Schroth et al., 2004) menunjukkan bahwa agroforestri yang melibatkan masyarakat secara aktif memiliki tingkat keberhasilan jangka panjang yang jauh lebih tinggi karena mencerminkan nilai, kebutuhan, dan kapasitas lokal.

Diversifikasi dalam agroforestri bukan soal banyak-banyakan tanaman, tapi soal memilih jenis yang saling melengkapi, bukan saling bersaing. Tanaman tahunan seperti kakao, kopi, pisang, durian, jati, dan kemiri memberi keteduhan dan investasi jangka panjang. Tanaman semusim seperti nilam, kapulaga, lengkuas, porang, dan cabe memberi hasil cepat. Tanaman sela dan penutup tanah seperti jagung, vetiver, dan legum menjaga struktur dan kesuburan tanah. Pengaturan jenis sangat penting dalam menekan kompetisi interspesifik. Tentu pertimbangan lain adalah kesamaan terhadap hama dan penyakit. Diversifikasi biologis tidak hanya menambah stabilitas ekosistem, tetapi juga meningkatkan ketahanan terhadap gangguan ekonomi dan perubahan iklim (Altieri, 1999).

Model penanaman kopi liberika di antara tanaman karet yang diselingi oleh petai dan pisang serta beberapa pohon lokal seperti durian dan keranji di Kalimantan Barat

Kekeliruan mendasar yang selama ini dilakukan dalam mendesain agroforestri adalah generalisasi terhadap lahan yang datar dengan bidang-bidang yang terparsialkan. Desain agroforestri harus mengikuti kontur tanah, bukan memaksa tanah mengikuti skema kita. Terasering, vegetasi penutup, mulsa, dan biochar bukan sekadar pelengkap, tapi penopang kehidupan lahan dalam jangka panjang. Penghargaan yang besar juga harus diberikan makhluk halus yang tak terlihat tapi memiliki peranan penting secara ekologis. Mikrobiologi tanah memiliki andil khusus dalam memuliakan tanah. Rhizosphere adalah kerajaan besar bawah tanah yang berperan sebagai penentu utama kehidupan di atasnya. Praktik konservasi tanah dan air berbasis vegetasi terbukti mampu meningkatkan retensi air, mengurangi erosi, dan mendukung pemulihan kesuburan tanah (FAO, 2015).

Agroforestri harus memberi hasil yang bisa dirasakan. Ini adalah keniscayaan, oleh karena itu, tanaman bernilai jual cepat seperti jahe, kunyit, porang, dan madu hutan perlu dimasukkan. Model usaha berbasis koperasi atau kelompok tani menjadi kendaraan ekonomi yang menjaga hasil tetap di tangan petani. Benar bahwa tidak semua orang bisa menjadi entrepreneur karena itu adalah fesyen. Hanya saja, ruang dalam kelompok adalah ruang untuk mengambil posisi dalam pasar, baik secara kuantitas, kualitas, pun kontinuitas. Satu hal yang penting, ekonomi tidak bisa diukur dari jumlah penjualan yang dilakukan. Ada nilai saving yang juga perlu dihitung atas hasil yang dimanfaatkan secara subsisten. IFAD (2020) menekankan pentingnya integrasi agroforestri dengan skema rantai nilai lokal agar hasil pertanian berkelanjutan dapat dinikmati secara adil oleh petani.

Petani butuh lebih dari sekadar bibit. Mereka butuh jalan usaha tani, alat panen, pelatihan, hingga akses pasar. Kelembagaan seperti KTH, koperasi perempuan, atau kelompok pemuda menjadi penguat sosial yang menopang keberlanjutan agroforestri. Sembari menunggu proses yang cukup panjang dari perencanaan hingga produksi, kelembagaan sangat penting dikuatkan karena ini menjadi bagian yang sensitif jika tidak diletakkan dengan baik di awal. Laporan CIFOR (2016) menunjukkan bahwa kelembagaan lokal memainkan peran sentral dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan perhutanan sosial.

Pemantauan dan pendampingan adalah jaminan atas keberlangsungan sistem yang direncanakan

Sistem agroforestri bukan sistem kaku. Ia harus terus dimonitor dan diperbarui sesuai dinamika: musim berubah, hama datang, atau harga komoditas bergeser. Pendekatan adaptive management membuat agroforestri tetap relevan dan bertahan. Pendekatan ini menekankan pentingnya siklus belajar berbasis pengalaman lapangan dan bukti, serta fleksibilitas dalam merespons perubahan kondisi (Holling, 1978).

Agroforestri menantang kita untuk bergeser dari logika tanam ke logika hidup. Ia bukan proyek singkat, tapi proses panjang menyusun kembali relasi manusia dengan alam. Kita tidak menanam di lahan kosong. Kita sedang menanam masa depan di atas tanah yang punya sejarah. Agroforestri bukan hanya jawaban ekologis atas krisis lingkungan. Ia adalah jalan pulang: pada ruang hidup yang lestari, berakar, dan memberi.

 

Penuli: Zaenal


Referensi:

  • Leakey, R.R.B. (2017). Multifunctional Agriculture: Achieving Sustainable Development in Africa.
  • Schroth, G., et al. (2004). Agroforestry and Biodiversity Conservation in Tropical Landscapes.
  • Altieri, M.A. (1999). The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agriculture, Ecosystems & Environment.
  • (2015). Agroforestry for natural resource management.
  • (2020). The Future of Food: Shaping a climate-resilient, sustainable and healthy food system.
  • (2016). Community forestry and the Sustainable Development Goals.
  • Holling, C.S. (1978). Adaptive Environmental Assessment and Management.
Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content