Desa Persiapan Pencadangan HTR Luwu Timur (Bag.1)

Kabupaten Luwu Timur yang beribukota di Malili mempunyai luas wilayah 6.944,88 km2 atau meliputi sekitar 11,41 % dari luas propinsi Sulawesi Selatan. SEcara administrasi terdiri dari 11 kecamatan. Sebagian besar wilayah kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah hutan dengan luas Hutan Lindung adalah 238.598,34 Ha, dan luas Hutan Produksi adalah 123,449,33 Ha dan luas kawasan hutan konservasi adalah 179.552,45 Ha (Data Statistik Luwu Timur, tahun 2011).

Dengan adanya skema CBFM (Community Based Forest Management), memberi peluang bagi para petani hutan yang berada di dalam dan di sekitar hutan untuk memanfaatkan kawasan hutan negara (Produksi dan hutan lindung), dengan pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakat (HKm). Sehingga konflik tenurial yang berlangsung selama ini dapat diatasi dimana masyarakat dapat memanfaatkan lahan dalam jangka waktu panjang dan status lahan tetap sebagai kawasan hutan negara.

Pemerintah Daerah Luwu Timur telah mempersiapkan pencadangan HTR dengan luasan lahan sebesar 26.000 Ha. Pencadangan itu dilakukan oleh Dinas Kehutanan Lutim dengan bekerjasama dengan KPH Larona dengan pembagian wilayah kerja berdasarkan kecamatan dan desa. Wilayah kerja KPH terletak di Kecamatan Malili dan Kecamatan Angkona dengan jumlah lima (5) desa, sementara wilayah kerja Dishut berada di Kecamatan Burau, Tomoni, Mangkutana dengan jumlah 10 desa ditambah penjelasan dua desa yang penduduknya beraktivitas di sekitar hutan namun tidak memiliki wilayah di kawasan hutan.

Kecamatan Burau

Kecamatan Burau merupakan salah satu kecamatan yang terletak di sebelah barat ibukota kabupaten Luwu Timur, dengan luas wilayah 256,23 km2. Kecamatan Burau berbatasan dengan Kecamatan Tomoni di sebelah utara, Kecamatan Wotu sebelah timur, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Bone dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara. Kecamatan Burau terdiri dari 15 desa/kelurahan yang kesemuanya berstatus desa definitif. Sebagian wilayah Kecamatan Burau merupakan daerah pesisir, dengan topografi yang relatif datar. Terdapat sebanyak 13 sungai yang mengaliri dan terbayak di desa jalajja sebayak 6 sungai.

Pada Tahun 2011 Kecamatan Burau mempunyai jumlah penduduk sebanyak 34.630 orang dengan jumlah Kepala keluarga sekitar 7.860 keluarga. Dengan luas wilayah 256,23 km2, kepadatan penduduk di Kecamatan Burau tahun 2011 rata-rata 123 orang perkilometer persegi.

Produksi kelapa sawit Kecamatan Burau untuk tahun 2011 dengan luas panen 531,50 Ha sebesar 4.698 ton serta produktivitas 88,39 kuintal/Ha. Produksi kakao pada luas panen 7739,08 Ha menghasilkan 372,27 ton dengan produktivitas 7,91 kuintal/ha. Sedangkan untuk produksi merica Kecamatan Burau sebesar 372,27 ton pada luas panen 470 Ha dengan produktivitas 7,91 kuintal/Ha.

DI Kec. Burau terdapat enam desa yang sebagian wilayahnya merupakan kawasan hutan Produksi Konversi (HPK) dan hutan lindung, yaitu Desa Lanosi, Desa Bone Pute, Desa Benteng, Desa Cendana, Desa Batu Putih, Desa Lauwo dan Desa Jalajja.

Desa Batu Putih

Desa Batu Putih berada pada topografi berbukit-bukit dan sebagian besar wilayahnya merupakan area kawasan hutan. Luas wilayah desa yaitu 24,09 Km2 dengan jarak desa dengan ibu kota kecamatan yaitu 8 kilometer. Desa ini terdiri atas 6 dusun dan 8 RT dengan jumlah penduduk 1238 jiwa, kepadatan penduduk per Km2 sebesa 51,39. Sedangkan jumlah kepala keluarga sebesar 588 KK dengan tingkat pertumbuhan penduduk 8,6 persen.

Penduduk desa ini banyak berasal dari luar kabupaten, apalagi penduduk yang bermukim di kawasan hutan. Di kawasan mereka mengolah lahan untuk tanaman cokelat, merica dan durian. Mereka masuk dan bermukim di kawasan setelah lahan hutan produksi yang sudah gundul tersebut ditinggalkan oleh PT. Serdik pada tahun 80-an. Warga yang berasal dari beragam suku dari Sulawesi Selatan ini memperoleh lahan dengan membelinya dari Warga Pamona, suku Asli yang asalnya dari perbukitan Sulawesi Tengah. Orang Pamona ini tiba-tiba mengaku bahwa bekas lahan yang digunakan oleh perusahaan yang memperoleh Ijin hak tersebut adalah milik nenek moyang mereka.

Orang Pamona yang dulunya terkenal menjual lahan salah satunya Pak nesar H. Talla, yang melakukan tindak penadahan kemudian mendatangkan para pembeli. “dulu tanah dapat ditukar dengan radio, televisi, atau pun motor.”

Sehingga, ada yang menyatakan bahwa para penduduk yang menempati kawasan sebenarnya tidak melakukan perambahan, tapi hanya membeli lahan yang sudah terlebih dahulu dirusak orang lain.

Namun, dalam sejarah pendudukan lahan di Desa Batu Putih pernah mengalami gejolak. Ketika lahan itu tiba-tiba dikuasai oleh PT. Indo Hutani yang mendapat dukungan dari Pemerintah pada tahun 1996. Perusahaan yang mengelola usaha rotan ini melakukan pengusiran terhadap warga yang menetap di kawasan. Perusahaan itu sempat menguasai lahan kawasan selama setahun namun tiba-tiba berhenti beroperasi. Kesempatan itu dimanfaatkan warga yang sebelumnya diusir untuk kembali menguasai lahan.

“warga melakukan pengumpulan massa dengan membawa alat tajam. Mereka berniat untuk menghukum para pegawai perusahaan PT. Indohutani ataupun pegawai kehutanan. Untung tidak ada pegawai yang menyambut mereka, karena niatnya sudah ingin membunuh,” ujar Amir Sade.

Karena pengusiran itulah yang menyebabkan warga desa trauma terhadap imbauan menanam pohon dari pemerintah (dinas kehutanan). “mereka sangat takut diusir kembali”. Sebelum dikelola warga, lahan kawasan di desa ini pernah pula digunakan oleh PT. Gulat (80-an), Serdic (80-an).

Boleh dikata sejak tahun 93 hutan kawasan sudah bukan hutan lagi, sebab lapisan vegetasi hutan sudah terganti dengan vegetasi perkebunan. “Di Bone Ratu hutannya sudah habis pada tahun 87, dusun Cendana juga pada tahun 87, dan Bonto Lumu pada tahun 97”. Sejak itu sudah tidak ada lagi pergeseran lahan penduduk, karena sudah mencapai batas-batas alam, seperti sungai dan Gunung Tamboke. sementara Orang Pamona sudah kembali ke kampungnya di Sulawesi Tengah.

Bahkan tutupan lahan di hutan lindung juga sudah tak tersisa. “Bonto Lumu dan Bonto Wajo adalah daerah hutan lindung dan mereka baru tiga tahun ini mengetahui bahwa itu adalah kawasan hutan lindung”.

Kisaran jumlah Kepala Keluarga (KK) di setiap dusun :

– Bone Ratu : 91 kk, Wajo baru : 87 kk, Cendana : 64 kk, Bonto Lumu : 45 kk

Menurut Amir, Boneratu dihuni oleh para pendatang yang berasal dari Kabupaten Bone, tepatnya orang dari Kecamatan cenrana. Terdapat pula migrasi orang Soppeng dan Barru. Sementara di Wajo Baru warga yang datang adalah dari wilayah Wajo yang dikomandoi Petta Bintang (pembantu Bupati Andi Mukhtar) yang dengan mudahnya mengatur surat keterangan pengelolaan tanah sementara pada tahun 1993. Untuk Bonto Lumu diorganisir oleh Andi Nyiwi dan di desa Batu putih oleh orang Gowa.

Dalam hal pengelolaan lahan, sejauh ini dikelola oleh penduduk yang bermukim di kawasan, sementara warga luar kawasan yang mengelola hanya sekitar 20 kk. Jarak pemukiman 20 kk ini sekitar 10 kilometer dari kebun cokelat di kawasan. Lahan warga rata-rata 2 hektar, tapi ada pula yang 1 – 10 hektar. Seperti lahan milik Baso Rusdi yang menanam karet hingga 10 hektar.

Menurut Amir Sade, kalau dataran kawasan itu tidak segera ditanami kayu, saya khawatir akan datang bencana longsor. Bantuan pun datang untuk penanaman 100 hektar untuk dusun bajo baru dan bonto lumu disertai biaya pemeliharaan. “kalau pun mereka tidak menerima bantuan bibit gratis tersebut, mereka akan menyesal kelak”.

Di desa ini pernah terjadi banjir, yaitu pada tahun 2003 dan 2004. Waktu itu banyak kayu balok yang menutup sungai sehingga terjadi luapan air dan menimpa jalan-jalan dan rumah warga desa. sementara di wilayah pegunungan (kawasan) terdapat danau yang tiba-tiba menyebabkan longsor di daerah pinggirnya lantaran tak ada vegetasi yang menopang debit air.

Pendamping : Zainal, H. AlimuddinKontak Person : Amir Sade/Sekretaris desa :

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content