Desa Lanosi
Desa Lanosi yang memiki luasan 19,87 kilometerpersegi ini memiliki jumlah penduduk sebesar 1.351 orang, dengan kepadatan penduduk 67,99 orang perkilometerpersegi dan kepala keluarga sebanyak 576. Dari data statistik BPS menunjukkan bahwa jumlah keluarga yang masih prasejahtera sebesar 46 keluarga, sejahtera 1 sebesar 52 keluarga, sejahtera 2 sebesar 127 keluarga dan sejahtera 3 sebesar 49 keluarga. untuk standarisasi rumah, yang sudah permanen berjumlah 44 rumah, yang semi permanen berjumlah 95 rumah dan masih nonpermanen sebanyak 164 rumah.
Desa Lanosi dulunya adalah penghasil durian terbaik di Kecamatan Burau. Namun dalam beberapa tahun terakhir kualitas durian menurun lantaran sering terkena hama. Daud, sekretaris Desa Lanosi pun mengaku heran dengan fenomena tersebut. Desa Lanosi yang terbagi atas tiga dusun dan RT tujuh ini pun terkadang ditimpa bencana banjir, khususnya pada Dusun Pedondo dan Dusun Landegora. Ini disebabkan karena berkurangnya tutupan lahan di wilayah kawasan hutan. “Kawasan sudah menjadi lahan kritis, sehingga sering terjadi bencana longsor,” ungkap Daud.
Penduduk desa ini menggantungkan hidupnya dengan mengusahakan sawah (padi), cokelat, cengkeh, durian, lada (merica), kelapa sawit. Pada wilayah hutan dan masuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPK) dan sebagian hutan lindung, petani mengusahakan cokelat, merica dan Kelapa Sawit.
Jumlah petani yang bermukim di kawasan yaitu 20 KK. Karena jumlah petani di kawasan sedikit, sehingga di sana belum terbentuk administrasi dusun atau masih dalam bentuk Rukun Tetangga (RT). Ada pula warga dusun yang berada di wilayah datar (pusat desa) yang tiap hari pulang balik kawasan untuk mengolah lahan. Diperkirakan 100 kk yang beraktivitas di kawasan hutan. Rata-rata mereka memiliki lahan 2 hektar dan diantara petani ada yang memiliki lahan 4 hektar. Sejauh ini para petani yang berada di kawasan hidup rukun dan konflik masih sebatas konflik antar keluarga. Konflik vertikal hanya sebatas klaim, bahwa sebagian warga mengira bahwa lahan di kawasan adalah milik moyang mereka. Selain itu, mereka rata-rata telah memiliki SPPT dan telah membayar pajak lahan.
Tentang rencana pencadangan skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Lanosi, aparat desa mengaku sudah pernah mendengar tentang HTR, namun mereka belum paham fungsi dan kegunaannya. Mereka pun belum mengetahui batas-batas antara hutan lindung dan hutan HPK. Penerapan HTR agak memungkinkan di desa ini, di Lanosi warga sudah mulai melakukan penanaman pohon. Jenis tanaman yang ditanam yaitu sengon dan jati putih. Bibit ini ditanam di pinggir-pinggir kebun cokelat yang berfungsi sebagai pembatas lahan. Menurut Daud, Sengon cocok dengan tanaman cokelat. Hasil tanaman ini dijual di PT. Pal.
Kelompok tani : Mattiro Bulu (Erwin), Mattiro Tasi (Kamal), Sinar harapan bersama (Langolle), Sinar Harapan Baru.
Pendamping : Kamal, Kontak person : Daud, sekretaris desa : 082190718482
Desa Bone Pute
Jarak Desa Bone pute dari ibukota Kecamatan Burau yaitu 8 kilometer. Desa Bone pute memiliki luas 18,58 kilometer persegi yang terdiri dari 6 dusun dan 16 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk Desa Bone pute yaitu 2.562 jiwa, dimana jumlah laki-laki 1.386 dan perempuan berjumlah 1176. Kepadatan penduduk Bone pute per Km2 yaitu 137,89 dengan jumlah kepala keluarga Bone pute sebanyak 339 KK dan kepadatan penduduk per-KK yaitu 7,56. Sementara tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 13,16 persen.
Dari tinjauan kesejahteraan, Bone pute terbagi atas empat kelompok, 1) keluarga pra sejahtera sebesar 97, keluarga sejahter satu sebesar 156, keluarga sejahtera 2 sebesar 295, keluarga sejahtera 3 sebesar 44, dan keluarga sejahtera plus sebesar 20 kk.
Dari data kependudukan itu sebagian masyarakat bermukim dan beraktivitas di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Produksi (HPK). Di Bone pute terdapat sebuah dusun yang wilayahnya masuk dan bersinggungan dengan kawasan hutan, yaitu Dusun Mabonto. “Jalanan ke sana sulit sebab pendakian dan saat ini terputus akibat longsor,” ujar Rosdiana, Sekretaris Desa Bone Pute.
Meski sudah sekian lama bermukim di kawasan hutan, mereka masih tahu dimana posisi batas kawasan hutan. Mereka pun sering protes terhadap status lahan, mereka menganggap lahan yang diolah selama ini sudah menjadi miliknya. Ini memang menjadi polemik dan rencananya upaya ini dicarikan jalan keluar dengan skema HTR, namun informasi mengenai izin kelola lahan milik negara ini belum sampai di telinga warga.
Penduduk yang bermukim dan mengolah lahan di Dusun Mabonto sekitar 83 KK. Hanya mereka saja yang mengolah lahan dan tak ada petani dari luar dusun. Di sana telah terbentuk kelompok tani, yaitu kelompok Sinar Harapan yang diketuai Bakhtiar dan Kelompok Perkebunan yang dipimpin Samsul Bahri. Lahan kebun warga di kawasan rata-rata 2 hektar. Petani di kawasan mengusahakan kebun cokelat. Sebagian warga Bone pute pun telah memulai menanam pohon Jabon dan Sengon yang dicampur dengan cokelat. Bibit pepohonan ini diperoleh dari program KBR (Kebun Bibit Rakyat). Ini merupakan kemajuan dalam hal implementasi HTR di Bone pute.
Pendamping : Samsul Bahri (Kepala Dusun Mabonto), CP : Rosdiana/Sekdes : 08529904390
Desa Benteng
Desa Benteng berada pada wilayah yang bukan pantai dan bertopografi berbukit-bukit. Jarak dari kota kecamatan tak begitu jauh, yaitu enam kilometer. Penduduk desa yang luasnya 12,23 Km2 ini berjumlah 1611 jiwa dengan kepadatan penduduk perkilometer persegi 131,73. Tersebar di lima dusun dan sepuluh Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah Kepala keluarga 630 KK dengan kepadatan per KK 2,56. Dari keseluruhan penduduk, jumlah penduduk laki-laki sebesar 839 dan perempuan 772 jiwa. Pada tahun 2010 – 2011 pertumbuhan penduduk desa ini sebesar 1,70 persen.
Sebagai desa yang berbukit, banyak penduduknya yang beraktivitas di kawasan hutan. Warga sudah begitu lama berkebun di kawasan, yaitu sejak tahun 1986 setelah PT Serdic dan PT Gulat berhenti beroperasi. Dusun yang letaknya dekat kawasan yaitu Dusun Mekar dan Dusun Pabumas. Di desa ini terdapat 4 kelompok tani yang dibentuk sejak masuknya program Gernas (Gerakan Nasional). Gernas tersebut berupa perkebunan kakao oleh rakyat yang terdiri atas 25 orang perkelompok, sehingga terdapat 100 KK dalam 4 kelompok. Lahan yang digunakan oleh gerakan ini sekitar 200 Ha. Kelompok tani tersebut : Mesakada 1 (Arfan), Mesakada 2 (Viktor Karsan), Mesakada 3 (Cornelius), Bunga Cokelat (Simonparondongan).
Salahuddin selaku Kepala Desa sudah mengetahui informasi tentang HTR. Selain itu beliau sudah tahu batas-batas hutan lindung. Namun dia belum tahu bagaimana penerapan HTR tersebut. Petani di kawasan banyak mengusahakan kebun cokelat diselipi merica dan durian, tapi ada juga beberapa petani yang telah menanam jenis kayu-kayuan, yaitu jenis Sengon. Petani umumnya menanam Sengon di kebun milik sekitar setengah hektar. Keinginan petani untuk menanam kayu menunjukkan perkembangan positif untuk mengajak warga menanam jenis kayu di kawasan, yang selama ini rata-rata berkebun cokelat. Rata-rata lahan petani cokelat di kawasan seluas 2 hektar.
Di desa ini sudah tidak pernah terdengar konflik, sebab rata-rata orang yang bermukim di kawasan ini adalah para pendatang. Sehingga mereka pada saat pertama kali datang langsung membeli lahan dari penduduk asli atau dengan pola bagi hasil. Konflik biasanya antar keluarga, dimana sang anak yang tiba-tiba menjual lahan keluarga pada pendatang tanpa sepengetahuan keluarga.
Pendamping : Kasan dan Simon Palondongan.
CP : A. Salahuddin, Pak Desa :081342268000
Desa Cendana
Desa Cendana memiliki topografi berbukit-bukit dan letaknya paling jauh dari ibukota kecamatan, yaitu sekitar 12 kilometer. Desa ini merupakan desa pemekaran dari Desa jalajja dan tepat berada di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Tapi menurut M. Arsa, Kepala desa, di desa ini belum ada penetapan kawasan. Tapi ia mengaku pernah melihat ada aktivitas pembuatan tata batas.
Desa ini memiliki luasan 25,09 kilometer persegi dan terdiri atas 4 dusun dan 8 RT. Jumlah penduduk desai ini 1.719 jiwa dengan perbandingan laki-laki 982 orang dan perempuan 737 orang serta kepadatan penduduk per Km2 yaitu 68,51. Desa ini memiliki pertumbuhan penduduk cukup tinggi, yaitu 29,64 persen pertahun (data BPS 2011).
Warga Desa Cendana menetap di wilayah ini sejak tahun 1980-an, waktu itu warga desa yang dominan pendatang dari luar kabupaten membeli tanah dari warga yang mengaku memiliki lahan adat tersebut. Pemilik lahan adat ini adalah warga suku pamona yang merupakan penduduk asli Sulawesi Tengah. Orang Pamona yang gencar menjual lahan adat waktu itu yaitu Pak Sudu. Harga lahan satu hektar pada tahun 1992, awal pertamakali penduduk masuk ke Cendana seharga Rp. 500 ribu.
Jumlah KK yang di bermukim di desa ini yaitu 576 KK. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil berkebun cokelat, durian, cengkeh, kelapa sawit dan merica. Mereka rata-rata memiliki luas lahan sekitar 2 hektar per KK. Ada juga yang memiliki 4 sampai 8 hektar yang lokasi lahannya tidak di satu tempat, tapi tersebar di banyak lokasi. Terdapat pula petani yang berasal dari luar Desa Cendana yang berkebun di Desa Cendana. Petani yang dari luar itu diperkirakan berjumlah 70 orang dan banyak berasal dari Desa Cendana Hijau (Tomoni Timur).
Namun warga Cendana selalu diselimuti ketakutan akan hilangnya lahan yang selama ini menjadi tempat bergantung hidup. Arsa pernah didatangi 200 warganya yang protes terhadap datangnya petugas kehutanan di Cendana pada 2011. isu yang berkembang saat itu dikatakan PTPN hendak masuk ke lahan warga untuk perkebunan sawit. Waktu itu Pak Desa memberikan informasi setengah-setengah, sehingga warga salah paham. “Saat ini warga menunggu status status baru untuk kawasan hutan,” ujar Arsa.
Warga desa tak tertarik menanam kayu, katanya nanti lahannya direbut pemerintah (polisi hutan). selain itu warga tidak menanam kayu lantaran takut tanaman ini akan membunuh kebun cokelat mereka.
Untuk nama pendamping, mesti meminta kesepakatan dengan warga desa. bagus kiranya kalau terlebih dahulu ada sosialisasi.
Kontak person : M. Arsa : 085255372561