Pagi 23 Oktober 2025, tidak ada yang lebih hangat selain aroma kopi yang baru diseduh di basecamp SCF di Desa Bonto Manurung, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Uapnya mengepul ke udara, bercampur dengan tawa para peserta Sekolah Lapang Agrosilvopastura. Di antara gelas-gelas kopi, ada rasa ingin tahu yang menggelitik. Apa yang akan mereka pelajari hari ini? Tentang bibit yang mulai tumbuh, tentang tanah yang perlu dijaga, atau mungkin tentang cara mengubah limbah menjadi kehidupan baru bagi kebun mereka?
Sebelum beranjak ke lokasi belajar, Khalid selaku moderator, terlebih dahulu menyampaikan rangkaian kegiatan sekolah lapang hari ini, antara lain pengecekan/melihat progress bibit kopi yang dirawat di tempat pembibitan, berkunjung ke lahan kebun demplot, dan praktik pembuatan pupuk kompos. Setelah berdoa bersama, mereka pun menuju area persemaian bibit kopi. Langkah demi langkah mereka tempuh disertai semangat untuk belajar.

Khalid, sebagai moderator, memandu kegiatan Sekolah Lapang Agrosilvopastura. Foto: Muh. Dava Aditya Permana
Kegiatan dimulai dengan mengamati bibit kopi yang ada di tempat penyemaian yang dipandu oleh Enal, seorang ahli agrosilvopastura yang selama ini menjadi teman belajar peserta sekolah lapang. Enal menyampaikan bahwa bibit kopi yang ada di sini berusia sekitar kurang lebih 8 bulan dengan tinggi ideal rata-rata sekitar 30 cm. Ia menjelaskan sambil menunduk, memeriksa beberapa polybag, lalu mengangkat satu bibit untuk dijadikan contoh. “Menurut kalian, sehat tidak ini bibitnya?” Tanya Enal kepada peserta. Semua peserta menjawab bahwa bibitnya terlihat sehat karena sudah tumbuh tinggi, kecuali Daeng Ngasi. Daeng Ngasi punya pendapat berbeda, “Tidak, karena daunnya pucat dan batangnya lemah.”

Daeng Ngasi bersama peserta lain mengamati kondisi bibit kopi. Foto: Muh. Dava Aditya Permana
Enal takjub dengan pendapat dari Daeng Ngasi. Enal kemudian menjelaskan, “Bibit ini terlihat lemah meskipun tinggi. Bibit ini meninggi karena terlalu rapat. Akibatnya, bibit kekurangan cahaya matahari dan berusaha tumbuh lebih cepat dan lebih tinggi untuk mendapat sinar,” ungkapnya. Peserta kemudian melihat bibit yang berdaun kuning dan batangnya ditutupi kutu putih. “Ini hama yang menyedot cairan batang,” jelas Enal. “Kalau mau disemprot pakai pestisida nabati, harus campur sedikit Sunlight, supaya pestisida nabatinya menembus lapisan lilinnya.” Peserta tampak antusias mendengarkan sambil berdiskusi. Enal juga mencabut satu bibit untuk memperlihatkan akarnya yang kecil dan rapuh. Ia menegaskan pentingnya media tanam yang baik dan pemberian pupuk tambahan agar akar berkembang optimal.
Sesi pengamatan selesai. Rombongan berpindah ke area kebun demplot kopi di bawah teduhnya pohon gamal. Enal memulai materi tentang desain kebun dengan menjelaskan bahwa desain kebun dilakukan dengan menentukan jarak tanam, arah barisan, dan sirkulasi udara antar tanaman, sehingga kebun bisa lebih mudah dirawat dan tanaman tumbuh lebih sehat. Enal kemudian mengajukan pertanyaan: “Menurut bapak/ibu, apa gunanya mendesain kebun sebelum menanam?” Pak Yandi kemudian menjawab, “Kalau kebunnya didesain, semuanya kelihatan lebih tertata. Waktu pupuk, pangkas, atau panen, kita tinggal ikut jalurnya saja. Jadi gampang tahu batas-batasnya atau arahnya”
Enal kemudian menggambar sketsa sederhana di tanah untuk menjelaskan pentingnya jarak tanam. Ia menekankan bahwa jarak antar tanaman tidak bisa dibuat sembarangan, karena harus menyesuaikan dengan kondisi tanah. Jika tanah sangat subur, jarak tanam perlu dibuat lebih lebar agar tanaman tidak saling menekan. Namun jika tanah kurang subur, jarak bisa dipersempit agar populasi tanaman tetap mencukupi. “Kalau tanahnya subur, tanaman akan cepat bongsor. Kalau terlalu rapat, mereka berebut ruang dan nutrisi,” jelasnya sambil memperlihatkan contoh jarak pada lahan datar dan miring.

Peserta Sekolah Lapang Agrosilvopastura belajar di kebun demplot difasilitasi oleh Enal. Foto: Muh. Dava Aditya Permana
Ia juga menjelaskan pentingnya memperhatikan kelerengan tanah. Lahan yang terlalu curam tidak disarankan untuk dijadikan kebun, karena berisiko tinggi mengalami erosi dan memerlukan biaya perawatan besar. Posisi tanaman juga perlu disesuaikan dengan arah datangnya matahari agar sinar matahari pagi tetap bisa masuk ke barisan kopi.
Enal menjelaskan bahwa dalam sistem agrosilvopastura yang akan diterapkan, setiap jenis tanaman harus ditempatkan sesuai fungsinya. “Tanaman kopi yang tadi kita lihat itu mau kita tanam disini sebagai komoditas utama. Adapun pohon keras ,seperti jati dan pala, bagus untuk kita tanam di sini buat pelindung, agar kebun tidak panas terus. Nah, untuk gamal dan lamtoro bisa ditanam di pinggir, selain bisa jadi penaung, bisa juga jadi makanan sapi bapak/ibu,“ jelas Enal. Kebun yang baik adalah kebun yang seimbang, tidak ada tanaman yang saling menekan antara satu sama lain.
Selanjutnya, peserta dijelaskan cara membuat lubang tanam yang benar. Enal menjelaskan bahwa lubang sebaiknya dibuat jauh hari sebelum penanaman agar zat-zat racun dalam tanah menguap dan mikroorganisme bisa berkembang. Ukuran idealnya sekitar 40 cm. Tanah hasil galian pertama diletakkan di satu sisi, sedangkan galian kedua di sisi lainnya agar tidak tercampur. “Ketika menimbun kembali lubang, tanah bagian atas dimasukkan lebih dulu karena lebih subur dan kaya bahan organik. Di dasar lubang, ditambahkan kompos atau bahan organik seperti batang pisang yang dicacah atau kotoran ternak terfermentasi agar akar tanaman mendapat makanan alami sejak awal” jelas Enal.
Menjelang tengah hari, sesi materi selesai. Kegiatan memasuki waktu istirahat dan makan siang bersama di rumah Daeng Ali. Suasana makan siang penuh keakraban. Para peserta saling berbagi cerita sambil menikmati hidangan. Momen makan bersama menjadi jeda hangat sebelum sesi praktik dimulai.
Setelah istirahat, kegiatan berlanjut dengan praktik pembuatan pupuk organik. Di halaman rumah Daeng Ali, bahan-bahan seperti batang pisang, daun gamal, sekam padi, kotoran sapi, dan cairan EM4 yang sudah dicampur gula merah telah disiapkan di atas terpal besar. Peserta berdiri melingkar, siap memulai proses belajar melalui praktik.
“Pertama, batang pisang dicacah dulu biar mudah terurai,” ujar Enal, memandu peserta sambil memperagakan cara mencacah batang. “Setelah itu, campur sama daun gamal, sekam, dan kotoran sapi. Kalau sudah rata, baru siram dengan cairan EM4 yang sudah dicampur air dan gula merah.”


Peserta Sekolah Lapang Agrosilvopastura melaksanakan praktik pembuatan pupuk kompos dengan menggunakan bahan yang berada di sekitar lingkungannya. Foto: Muh. Dava Aditya Permana
Para peserta, secara bergantian, mencacah batang pisang, lalu memasukkannya ke terpal yang telah disiapkan. Setelah semua bahan selesai dicacah, bahan-bahan kemudian dicampur dan diaduk di atas terpal, ditambahkan cairan EM4 yang telah dilarutkan dengan air, lalu diaduk secara merata. Peserta bergantian mengaduk bahan-bahan itu, sesekali tertawa ketika ada yang terciprat atau kebanyakan air.
Enal memperhatikan hasil bahan-bahan kompos yang telah dicampur, lalu mencontohkan cara memeriksa kelembapan. “Kalau digenggam terasa basah—tapi airnya tidak sampai netes—itu artinya sudah pas,” katanya sambil tersenyum. “Kalau kering sekali, bisa ditambahkan sedikit air; tapi jangan juga terlalu basah, karena nanti malah busuk.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa campuran itu harus ditutup rapat dan dibiarkan selama dua sampai tiga minggu. “Selama proses itu, kompos sesekali dibuka sebentar supaya keluar panasnya” tambahnya. “Kalau sudah matang, baunya sudah tidak menyengat lagi, malahan baunya seperti poteng (makanan hasil fermentasi dari singkong) dan warnanya berubah menjadi gelap. Nah, kalau sudah seperti itu artinya pupuk sudah bisa langsung dipakai di lubang tanam,” jelas Enal
Hari itu Sekolah Lapang Agrosilvopastura ditutup dengan senyum puas dari para peserta. Berawal dari secangkir kopi di basecamp, sebungkus nasi di rumah Daeng Ali, hingga segenggam pupuk organik yang siap menghidupkan tanah, semuanya menjadi pelajaran yang berharga hari ini.

 








