Pada bagan tersebut diperoleh gambaran bahwa terdapat beberapa organisasi di desa yang keberadaannya kurang dirasakan oleh masyarakat, di antaranya Bumdes (Badan Usaha Milik Desa), Karang Taruna, Majelis Ta’lim dan Puskesmas Bantu (Pustu). Badan yang dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat namun tidak besar yaitu Posyandu, kelompok jimpitan, dan kelompok arisan PKK. Dari bagan ini kita dapat mengetahui kira-kira apa yang menyebabkan badan-badan itu kurang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Yang terasa betul ketidakhadirannya adalah Pustu. Sebabnya yaitu petugas Pustu yang dibangun pada 1997 itu jarang hadir, baik itu bidan maupun kepala Pustu. Padahal hidup mereka sudah dijamin negara. “Para petugas ini datang ke desa hanya sekali dalam tiga bulan, atau sekali dalam enam bulan,” ujar Meleng. Sehingga banyak warga yang mulanya sakitnya tidak terlalu berat, namun karena tidak tertangani dengan baik, lama-kelamaan menjadi sakit berat dan harus ditangani di rumah sakit. Ini justru merugikan masyarakat, sebab selain sakit juga akan menguras biaya.
Di desa ini terdapat warga yang menderita sakit parah yang tidak tertangani dengan baik, baik itu berupa sakit menahun (gondok, gatal bersisik, asma), cacat (buta, tuli), dan penyakit menular (kusta, lepra dan TBC). Penyakit dan cacat butuh perawatan serius dari pihak petugas kesehatan, sebab merekalah yang bertanggungjawab membantu masyarakat desa. selain itu para petugas ini punya kewajiban untuk menyelenggarakan posyandu berupa imunisasi di desa bagi anak-anak di bawah umur 7 tahun. Imunisasi membentuk antibody generasi Bacu-Bacu agar tidak mudah terserang penyakit.
Aktivitas yang padat dan tidak disertai dengan ketercukupan gizi membuat warga desa rentan terhadap penyakit. Terutama penyakit-penyakit musiman, seperti influenza, demam, dan penyakit diare. Namun sayangnya, saya tidak menelusuri strategi apa yang digunakan oleh warga dalam menanggulangi penyakitnya. Misalnya dengan mengonsumsi tanaman-tanaman obat tertentu, meminta tolong pada dukun ataukah mencari obat di pustu atau di pasar dekat kecamatan. Saya pun tidak menelusuri sejarah penyakit pada penyakit gondok, kusta dan TBC, sehingga akan diketahui penyebab dan metode penyebaran penyakit. Dari sini dapat diketahui intervensi apa yang mesti diperbuat oleh pihak luar, misalnya LSM, pemerhati masyarakat. Misalnya dengan memberikan pemahaman mengenai penyakit dan cara pencegahannya.
Dari segi sanitasi, saya melihat sebagian warga desa Bulo-Bulo sudah mewujudkan tata sanitasi yang baik. Warga Bulo-Bulo sangat memerhatikan aspek kebersihan di lingkungan mereka, dengan rajin membersihkan halaman rumah, dan juga kebersihan toilet. Ketersediaan air untuk kebutuhan domestik tercukupi sehingga tidak terlihat ada masalah di bagian sanitasi ini atau prilaku hidup sehat. Walaupun terdapat satu dua warga yang mengaku belum memiliki WC (Water Closed).
Lemahnya kelompok jimpitan dan arisan juga menjadi indikasi lemahnya ikatan sosial di masyarakat. Jimpitan merupakan upaya masyarakat untuk bersama-sama mengumpulkan modal yang akan digunakan untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas umum. Ini terlihat ketika kami mengadakan penggalian masalah-masalah yang ada di desa. ketika membincangkan persoalan bidang pertanian, ternyata beberapa peserta membentuk benteng dan menyerang para pengambil kebijakan dan pemerintah.
Warga menilai bahwa rusaknya saluran irigasi disebabkan oleh kurang beresnya kinerja kontraktor dan mereka yang terlibat dalam pengerjaan proyek irigasi. Sehingga terdapat sawah warga yang tidak terkena air atau saluran air bocor dan tidak sampai ke ujung irigasi. Malam itu, warga menyerang bertubi-tubi pembuat saluran air itu, yang katanya tidak melibatkan masyarakat dalam mengerjakan proyek. Hanya dua bulan setelah selesai pengerjaan irigasi, saluran tersebut bocor.
Setelah melihat sendiri esok harinya, saluran irigasi warga tersebut memang mengalami banyak titik kebocoran, sehingga air tidak sampai ke ujung saluran. Namun, saya cukup mengherankan kenapa warga tidak sukarela memperbaiki titik-titik kebocoran itu? Sebenarnya dengan biaya tak seberapa, kebocoran itu bisa ditanggulangi dengan modal swadaya masyarkaat. Belum lagi saluran itu banyak tersumbat akibat banyaknya tumbuhan liar hidup di saluran tersebut.
Metode lain yang digunakan untuk mengetahui kondisi masyarakat desa yaitu dengan mencari informasi tentang sejarah desa. Tapi karena terbatasnya waktu, sehingga sesi ini ditanggulangi dengan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat.
Bacu-bacu mekar dari Desa Harapan pada tahun 1994. Pemilihan desa pertama diselenggarakan pada 1995 dengan kepala desa pertama bernama Muh. Tuwo, dilantik pada 9 Januari 1996. Desa ini terdiri atas tiga dusun, yaitu Ammerrung, Ampiri, dan dusun yang berdiri belakangan yaitu Dusun Batu Lappa yang dibentuk pada tahun 2000. Muh. Tuwo kemudian digantikan oleh putranya sendiri yang bernama Anshar pada tahun 2012. Ansar mengalahkan dua saingannya pada pemilihan kepala desa lalu. Sementara Tuwo kini aktif sebagai koordinator Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Bacu-Bacu. Tuwo juga dikenal sering terlibat dalam menggalang dukungan politik pada calon-calon pemimpin politik.
Kata Bacu-Bacu berasal dari salah satu tetua Adat desa ini yang bernama Bacu-Bacu. Ketika masih di wilayah Desa Harapan, tahun 1950 – 1960, Bacu-Bacu dahulu menjadi tempat bersembunyi atau markas Pejuang DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). “Pak Kahar Muzakkar pernah datang di desa ini. dulu penerapan hukum Islam sangat ketat di desa ini, banyak warga yang kedapatan mencuri atau berbuat merugikan masyarakat yang dikenai hukum setimpal. Sebagian warga sebenarnya senang dengan penerapan hukum seperti itu, desa menjadi damai,” lanjut Meleng.
Jika ditelusuri lebih lama lagi, penduduk awal yang menetap di Bacu-Bacu mulanya tinggal di bukit yang lebih tinggi, sebab di situ terdapat bekas kuburan. Konon orang Bacu-Bacu dahulu selalu dikubur di kolong rumahnya sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa penduduk awal Bacu-Bacu adalah orang daratan di kerajaan Barru yang melarikan diri naik ke gunung dari kejaran tentara Belanda. Pertambahan penduduk hingga kini disebabkan oleh proses pernikahan antar keluarga. boleh dikata bahwa penduduk di desa ini adalah sebuah jaringan keluarga besar yang telah dibentuk selama berpuluh-puluh tahun.
Sedangkan Dusun Amerrung berasal dari Nama Sungai Meru Keru, yang mengalir melintasi dusun dan desa. sungai yang mengalir dari atas bukit sejauh empat kilometer inilah yang menjadi tumpuhan warga yang berharap pada kelimpahan airnya.
Konon di Bacu-Bacu memiliki keterikatan adat yang kuat, terbentuk dan dipercayai sejak dahulu kala. Di desa ini terdapat kesepakatan akan Pinati, yaitu kesepakatan akan jadwal tanam yang serentak. Warga dilarang untuk menanam bibit mendahului tokoh adat yang ditunjuk sebagai Pinati. Tokoh Pinati di Bacu-Bacu ada dua Arung (bangsawan), mereka saling tukar memimpin penanaman benih dan panen setiap tiga tahuan sekali. Tanah Pinati saat ini bernama riapporollongge. Di Bacu-Bacu saat ini terdapat lima arung yang memiliki 40 prajurit. Seiring perjalanan waktu, ikatan kekeluargaan dan ikatan kekerabatan antar warga Bacu-Bacu dapat mengalami penurunan. Apalagi diperparah masuknya sistem pemilihan langsung di Desa, dimana pasca pemilihan akan terbentuk dua atau lebih kubu yang saling bersaing dalam memperebutkan kekuasaan di desa.
Di Bacu-Bacu terdapat pula kepercayaan bahwa lelaki yang menikahi dua perempuan sekaligus (Poligami) tanpa menceraikan istri lamanya, maka dijamin salah satu istrinya meninggal dunia atau sang suami-lah yang meninggal. Kepercayaan ini masih membayangi warga, sehingga di Bacu-Bacu tak ada warga yang melakukan poligami.
Pembahasan sejarah ini, kita perlu melirik perintisan jalan yang dimulai sejak tahun 70-an. Dahulu orang keluar masuk desa ini dengan berjalan kaki atau dengan berkuda, Pengerasan jalan baru dimulai sejak 2004, yaitu pada masa kepemimpinan Bupati A. Rumpa. Jalan menuju desa ini sangat parah, jika pengemudi kurang hati-hati mengendarai mobil mereka, tidak menutup kemungkinan mobil mereka seret ke jurang. Apalagi ketika hujan menerpa, jalanan basah dan becek, belum lagi batu-batu yang menggelinding jika ditekan, batu-batu itu tidak lengket di tanah, tapi lepas hambur. “tidak ada perubahan jalan di desa Bacu-Bacu pada masa kepemimpinan Idris (bupati saat ini),” ungkap Meleng.
Akibat jalanan yang masih sebatas pengerasan ini, warga merasa kesulitan memasarkan hasil kebun dan sawah. Mereka mesti menyewa mobil angkutan untuk mengangkut hasil gabah dan kacang, itu pun dengan harga yang mengeyeritkan dahi. Sekarung gabah dihargai Rp. 10.000 – Rp. 15.000 untuk diangkut ke Desa Ralla yang jaraknya 10 kilo setelah Doi-Doi, jadi jaraknya 22 kilometer dari Bacu-Bacu. Biasa pula warga menjual hasil gabahnya pada pedagang yang datang ke Bacu-Bacu. Mereka pun membeli dengan harga murah, kadang hasil kebun dan sawah itu dijual pada penjual ikan yang ada di Bacu-Bacu. penjual ikan itu membeli gabah seharga Rp. 5000 perkilogram.
Kerusakan jalanan turut berpengaruh pada pelayanan kesehatan dan pendidikan di Desa Bacu-Bacu. Bagaimana tidak, bidan dan pegawai pustu yang bertugas di desa ini malas berkunjung melihat-lihat daerah tugasnya. Penyebab lainnya karena ia menetap di luar desa, sehingga tak bisa intens berkunjung. Mestinya petugas kesehatan ini menetap di dusun atau di desa, namun alasan mereka tidak menetap karena fasilitas penginapan di Pustu tidak layak nginap.
Jalanan yang buruk pun membuat penduduk kesulitan untuk membeli obat di pusat kecamatan, atau untuk memperoleh layanan kesehatan lebih baik di kota Barru. Sebab untuk keluar desa, mereka harus mengeluarkan ongkos angkutan lagi. selain itu, kepemilikan motor di desa ini masih pada kalangan tertentu saja.
Di sektor pendidikan, jalanan yang rusak ini menghambat para guru yang berasal dari luar desa untuk berangkat ke sekolah untuk mengajar. Bagaimana tidak, guru yang bertugas di desa ini kebanyakan adalah guru yang berasal dari luar desa.