Harapan dan Tantangan Pelayanan Hak-Hak Dasar di Desa Lawe

Pendidikan

Di desa lawe Kecamatan Pipikoro masih terdapat 40 persen penduduk yang masih buta aksara. Sementara pendidikan dasar di desa ini baru mulai berjalan normal lagi pada tahun 2003, setelah Alpius merintis pembelajaran. Tahun ini desa lawe telah mendirikan sebuah gedung sekolah dari dana pemerintah. sehingga 80 anak murid dari kelas 1 – 6 bisa belajar dengan ceria dan nyaman. Namun, melirik sejarah pelayanan pendidikan di desa ini, warga masih butuh pendampingan untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan. Sehingga, pembelajaran bagi warga yang belum mampu membaca dan menulis sangat diperlukan.

Namun, pembelajaran buta aksara bagi orang dewasa ini tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, kader pendidikan Program Pelayanan Hak-Hak Dasar PNPM Peduli, dalam hal ini Pak Alpius dan Worens kesulitan untuk membangkitkan motivasi warga belajar, dimana warga belajar selalu dihinggapi rasa malu untuk belajar. “Kami sudah melakukan dua kali pertemuan dengan warga belajar, tapi kelanjutannya fluktuatif. Sebab disamping tidak ada motivasi dari warga belajar, juga karena pak Alpius kesulitan waktu mengajar. Alpius sudah mengajar pada pagi harinya, dan biasa dia juga sibuk ke Palu atau ke Salua hingga beberapa hari,” ujar Niksen Lumba, fasilitator Lawe.

Alpius dan Worens sudah mencobanya berulang kali, dengan mendatangi warga belajar di rumahnya serta di kebun cokelat. “Saya ajarkan cara menghitung bulan, hari, tanggal, mereka tahu, tapi cara penulisannya tidak tahu. Saat mapalus/kerja bakti juga begitu. Mereka bilang tahu cara menghitung, tinggal cara menulisnya itu. Kendala yang paling berat, karena mereka merasa malu,” ucap Alfius.

“Padahal, keterbatasan informasi ini bisa mempengaruhi pemikiran anak-anak muda di Lawe, apalagi mereka yang tidak tahu membaca. Ini berpengaruh pada pengelolaan uang, uang mereka banyak habis untuk menyicil motor dibanding membangun rumah. Kalau anak-anak di sini kurang termotivasi belajar, bisa jadi yg pimpin desa ini nanti berasal dari orang luar,” ucap Wilfred (39), Sekretaris Desa Lawe.

Sehingga, Alfius berinisiatif untuk mengalihkan fokus pembelajaran pada pendidikan sekolah dasar, dengan memanfaatkan Alat Tulis Menulis yang disediakan oleh PNPM Peduli untuk digunakan oleh siswa SD Lawe. Disamping itu, sebagian alat tulis disimpan di sanggar komunitas, dimana tiap ada waktu pak Alfius juga mengajar di sanggar, seperti pada hari ahad, saat anak-anak libur ke kebun. Di lawe, anak-anak juga biasa membantu orang tuanya berkebun, sehingga ketika balik dari kebun, orang tua maupun anak-anak sudah malas lagi diajak ke sanggar. Sanggar ini dibangun atas dasar bantuan dari PNPM Peduli dan swadaya masyarakat, sebagian mobiler seperti kursi dan meja diperoleh dari sisa pembangunan sekolah di Lawe. Minggu kemarin, 21 Oktober kemarin, Alfius mengumpulkan murid-muridnya di sanggar, ia mengajar mereka baca tulis dengan memanfaatkan fasilitas yang telah diperoleh dari PNPM Peduli.

Beberapa bulan ini musim paceklik, banyak warga yang nginap di kebun untuk membersihkan ladang. Selain itu, memasuki musim antara dimana banyak warga yang pergi menambang emas di sungai Lariang atau pergi mencari rotan.

Melirik hal ini, perlu dorongan lebih kuat dari fasilitator Lawe untuk memotivasi kader pendidikan, serta menerapkan konsep multipihak dengan melibatkan aparat desa untuk menemukan pola yang tepat membantu pemberantasan buta huruf di Lawe. Kader pun mesti menggunakan pendekatan sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat, misalnya mengajarnya disertai dengan bimbingan teknis penanaman cokelat dan kopi, nah waktu itulah kita secara tidak langsung mengajari cara membaca dan menghitung.

Kesehatan

Ibu Elsye Kahania (54), kader Kesehatan PNPM Peduli Desa Lawe boleh dikata telah menjalankan tugasnya dengan baik. Selama menjadi kader kesehatan, dia telah membantu empat ibu melahirkan. Pertama bernama Piniel (21) lima bulan lalu. Pada bulan delapan dia membantu Bidan Nelvian dalam proses persalinan di Lone Basa. “waktu itu semalaman tidak bisa tidur, menunggu masa pengejangan ibu hamil tiba. Saat proses persalinan, saya bantu bu bidan untuk atur obat, sementara bu bidan bertugas menjahit. Saat itu anak pertama, jadi cukup sulit,” ujar Elsye. Pada bulan delapan ia juga membantu Enit (33) yang waktu itu melahirkan anak ke empat.

Pada september lalu, Elsye membantu kelahiran anak kedua dari Anita (28) di rumahnya sendiri. Pada saat perut ibu sudah sakit, Anita langsung ke rumah Elsye. Sebelumnya, ia telah beberapa kali memeriksakan kehamilannya pada Elsye, yaitu pada tiga bulan pertama satu kali, enam bulan sebanyak dua kali, dan sembilan bulan dua kali. Keadaan Anita setelah melahirkan sehat dan tidak ada kendala dalam proses persalinan. Timbangan bayi-nya seberat 28 kilogram. Dan bayi itu terus ia kontrol hingga tidak plasentanya mulai membaik dan tidak menunjukkan pembengkakan.

“Ibu hamil sudah tidak rewel lagi, lukanya kita bersihkan menggunakan bertadin dan refanol (bantuan PNPM Peduli), dua malam ibu itu sudah bisa berjalan. Dulu tidak diobati dan sembuhnya lama,” ungkap Elsye. Ia mengakui bahwa kalau tidak menggunakan bahan itu tali pusar biasa bengkak. Waktu itu ia juga sudah menggunakan sarung tangan yang bersih dan gunting plasenta yang steril. Sebelumnya, Elsye menggunakan sarung tangan yang tak pernah diganti, guntingnya yang sudah kurang bagus, dan tidak pernah mengikuti pelatihan pesalinan aman.

Peralatan kesehatan sebagian di simpan di sanggar, tapi sebagian lagi di simpan di rumah Ibu Elsye. Sebab biasanya ibu hamil datang memeriksakan kehamilan di rumahnya dan biasa ibu melahirkan malam hari. Waktu Anita melahirkan juga terjadi di rumah ibu Elsye. Dalam proses persalinan pun ia selalu dibantu oleh keluarga pasien. “Bahan pengobatan itu saya gunakan juga untuk keperluan lain. betadin saya gunakan untuk mengobati luka orang yang kakinya patah. Betadin sendiri sudah saya gunakan sejak tahun 1991, waktu pertama kali dilatih menjadi dukun. Betadin berguna untuk menghindari infeksi luka dan saya beli sendiri di Puskesmas Labua,” ungkap Elsye. Sementara refanol baru ia kenal semenjak PNPM Peduli masuk ke Lawe.

Saat ini Elsye belum menemukan begitu banyak kendala. Tapi sebelum program ini jalan sudah banyak kendala yang ia hadapi, seperti menghadapi ibu yang bayinya tidak bisa keluar plasentanya. Dengan terpaksa ibu itu digotong ke Koja dengan menggunakan “ambulance” Pipikoro. menuju ke sana menempuh perjalanan 13 jam lebih. Dibawa jam enam pagi dan tiba di pustu Koja jam delapan malam, waktu itu pasien dirawat selama seminggu. Selain itu ia sudah pernah juga menghadapi bayi yang keluar terbalik, pantatnya duluan keluar.

Ahad, 21 Oktober 2012, di sanggar kedatangan ibu hamil untuk pemeriksaan kehamilannya yang sudah berusia delapan bulan, namanya Ainun (33). Waktu itu Elsye juga ada di sana. Elsye pun memperagakan cara pemijatan perut ibu hamil. Selain itu memperagakan cara pemeriksaan menggunakan timbangan dan alat pemeriksa tekanan darah.

Alat yang masih ada di sanggar : stetoskop, alat mengukur tekanan darah, kapas, termometer, plester, betadin, timbangan, rifanol, alkohol 70 persen, kaos tangan, timbangan bayi, gunting, kasa steril. Pada akhir oktober tahun ini telah dikirim pula peralatan kesehatan tambahan untuk desa Lawe.

Kesempatan Berusaha

Hingga bulan sepuluh ini, bidang kesempatan berusaha belum begitu digeluti. Sementara ini yang telah dilakukan hanya berupa penyediaan sumber informasi di Gimpu. Namun jaringan di Gimpu juga masih ngadat atau terbatas. Sehingga fasilitas informasi ini tidak termanfaatkan dengan baik. Kader kesempatan berusaha biasanya turut membantu dalam proses fasilitasi dengan warga dan juga membantu kader pendidikan dalam menjalankan tugasnya.

Pada Oktober kemarin, 24 oktober 2012, Sulawesi Community Foundation (SCF) yang bekerjasama dengan Kemitraan/Partnershiip serta Perkumpulan Karsa Palu telah mengirim peralatan untuk pendidikan, kesehatan dan kesempatan berusaha, khusus pada kesempatan berusaha desa Lawe difokuskan untuk usaha bengkel motor, sebab jumlah motor yang lalu lalang di desa ini terbilang banyak. Peralatan tersebut akan digunakan warga desa dalam membangun usaha bengkel demi kesejateraan mereka. Saat ini kepengurusan bengkel telah terbentuk dan akan didampingi oleh Wilfred (Sekretaris Desa) yang punya pengalaman banyak dalam dunia otomotif, Wilfred menempuh pendidikan STM di bandung dan setamat sekolah dia mendedikasikan diri selama setahun bekerja di sebuah bengkel di Surabaya.

Mulai Oktober, Lawe didampingi oleh Zius sebagai fasilitator, Zius dikenal gampang akrab dengan warga dampingan, sehingga besar harapan jika beliau mampu mengoptimalkan pelayanan hak-hak dasar di Desa Lawe, Kecamatan Pipikoro.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content