Pagi betul kami (Abdul Syukur Ahmad, Arham dan saya) tiba di Terminal Kecamatan Malili, Kab. Luwu Timur, yang jaraknya 520 kilometer dari Makassar. Semalaman kami terduduk lemas di kursi bus Bintang Timur, salah satu sarana transportasi darat Makassar – Malili. Gigil menyambut, diikuti rasa mual akibat angin yang terkurung dalam kulit perut dan rasa pegal di sekujur tubuh. Beruntung ketika kami menyantap hidangan nasi kuning dan secangkir teh hangat, rasa lelah itu pun menguap.
Saat sarapan pagi itu, kami mendengar perbincangan warga tentang kondisi perpolitikan di Luwu Timur, tepatnya tentang pertarungan pemilukada untuk posisi gubernur Sulawesi Selatan. Kata penjaga warung, Ilham dan Sahrul bersaing ketat di Lutim. “Warga bergemuruh datang ke alun-alun kampanye Ilham – Aziz, mulanya diduga hanya delapan ribu penduduk, tapi yang datang ternyata 28 ribu orang,” ujarnya. Kak Ollonk (Abdul Syukur Ahmad) turut mengiyakan, “untuk wilayah Luwu, Aziz cukup berpengaruh”. Memang hari itu merupakan minus empat hari sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan tanggal 22 Januari, selasa lalu. Sehingga setiap lapisan masyarakat ramai ngobrol politik dan turut berkomentar mengenai peta kekuatan para kandidat. Namun, setelah pemilihan, fakta menunjukkan bahwa di Luwu Timur Ilham – Aziz kalah tipis dari pasangan Sahrul – Agus Arifin Nu’mang. Tak dapat dipungkiri bahwa Luwu Timur merupakan salah satu basis partai Golkar yang terkuat. Dan pemilih fanatik Aziz di Lutim tidak banyak, sebab di daerah ini 50 persen adalah warga pendatang.
Sehabis sarapan, kami menumpangi ojek menuju Kantor Dinas Kehutanan Luwu Timur. Waktu menunjukkan pukul 08.00 Wita, kami harus segera mengetahui desa-desa sasaran yang berada di wilayah pencadangan skema CBFM (Community Based Forest Management). Skema CBFM terdiri atas Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas, Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) untuk kawasan hutan lindung. “Di Luwu Timur, terdapat 59 desa yang masuk wilayah pencadangan yang jumlahnya sebanyak 26 ribu hektar,” ujar Ir. H. Zainuddin, Msi, Kepala Dinas Kehutanan Lutim.
Sebenarnya tujuan kami ke Lutim dalam tiga hari itu adalah untuk melakukan penilaian cepat (Rapid Assessment) terhadap rencana pencadangan hutan untuk skema CBFM di Lutim. Dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi desa yang berada di dalam dan bersinggungan dengan kawasan hutan negara, identifikasi potensi lahan hutan dan indikatif calon pengelola pemanfaatan kawasan hutan melalui sekema HKM/HTR dan HD. Serta identifikasi calon-calon pendamping masyarakat desa yang memiliki respon positif terhadap skema CBFM.
Sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Luwu Timur yang berpusat di Malili itu mempunyai luas wilayah 6.944,88 km2 atau meliputi sekitar 11,41 % dari luas propinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah kabupaten Luwu Timur merupakan wilayah hutan dengan luas Hutan Lindung adalah 238.598,34 Ha, luas Hutan Produksi adalah 123,449,33 Ha dan luas kawasan hutan konservasi adalah 179.552,45 Ha (Data Statistik Luwu Timur, tahun 2011). “Luwu Timur terdiri atas 80 persen kawasan hutan, 20 persen kawasan pemukiman dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa. Dari 80 persen kawasan hutan ini akan dicadangkan sebanyak 26 hektar untuk skema CBFM. Pemanfaatan skema HTR, HKm dan HD ini diperuntukkan bagi mereka yang menggantungkan hidupnya di sekitar hutan dan dalam hutan, dan termasuk golongan prasejahtera/miskin,” tutur Zainuddin, Kepala Dinas Kehutanan Lutim.
Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Luwu Timur telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor : 38 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPHL Kab. Luwu Timur. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor : SK 722/Menhut-II/2011 tanggal 20 Desember 2011 seluas ± 241.992 Hektar. Terbentuknya KPH yang bernama KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Larona kabupaten Luwu Timur menjadi model untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari dengan berpegang pada prinsip asas kelola kawasan, sosial dan ekonomi.
Salah satu fungsi dari KPH Larona adalah menyiapkan lokasi ijin kelola dan penguatan kelembagaan masyarakat di wilayah KPH. Untuk itu model KPH Larona telah dibagi berdasarkan fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung seluas ±156.593 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ±79.008 Ha dan Hutan Produksi seluas ±6.391 Ha. Dari pembagian luasan ini, KPH Larona bersama Dinas kehutanan telah memproyeksikan untuk mengembangkan areal pemanfaatan Hutan Tanaman Rakyat seluas ± 26.000 Ha. Hal ini telah menjadi rencana bersama antara pihak KPH Larona, Dinas Kehutanan Kab Luwu Timur dan Sulawesi Community Foundation (SCF).
“Yang mesti dilakukan adalah penyiapan dokumen usulan pencadangan, peta, surat ke bupati. Namun kelompok belum siap. Saya minta SCF membantu dalam menyiapkan kelembagaan masyarakat, meningkatkan pemahaman para pendamping, serta mengusulkan pemanfaatan areal/lahan hutan dengan skema CBFM ini. selain itu kami harap SCF dapat membantu dalam penelitian sosial ekonomi masyarakat desa hutan,” ucap Mandar, Ketua KPH Larona.
Jumat menjelang siang itu, kami sudah mengantongi nama beberapa desa sasaran yang merupakan wilayah pencadangan KPH Larona untuk blok hutan produksi. Diantaranya Desa Tarebbi, Desa Kawata, Desa Tawakua, Desa Mantalulu, dan Desa Taripa.
Desa Tarebbi
Kami mengendarai mobil ke Desa Tarebbi, dengan ditemani Bapak Ismail sebagai supir dan Pak Syafar sebagai perwakilan KPH Larona. Menuju ke Tarebbi cukup sulit, jalanan di desa ini masih dalam kondisi berlubang dan belum teraspal sepanjang 86 kilometer. Kami langsung menuju ke kediaman Sulaiman (58), Kepala Desa yang saat itu baru saja bangun dari tidur. Sulaiman menyambut kami dengan hangat dengan sesekali mengelontarkan humor.
Desa Tarebbi dalam perencanaan KPH Larona masuk blok pemanfaatan Hutan Produksi (HP) yang diajukan untuk program Hutan Tanaman Industri (HTI). Kegiatan HTI berupa penanaman serta berupaya bekerjasama dengan pihak investor. “Desa ini bisa kita ajukan untuk pencadangan HTR, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan hutan hingga 65 tahun. HTI belum tentu melibatkan masyarakat,” ujar Abdul Syukur, saat berbincang dengan Syafar (30) staff KPH Larona. Padahal warga miskin di Tarabbi dari penduduk yang berjumlah 1.506 diperkirakan sekitar 80 persen. Fenomena kemiskinan ini dapat diamati berdasarkan status rumah, dimana rumah permanen berjumlah tiga buah, semipermanen lima buah dan rumah nonpermanen 320 buah.
Tampaknya terdapat perbedaan antara KPH Larona yang ingin mengupayakan program HTI dengan SCF yang menginginkan pemanfaatan lahan oleh penduduk sekitar hutan menggunakan model HTR. pola HTI menimbulkan kekhawatiran, sebab dapat memicu konflik di masyarakat. Masyarakat mengklaim telah memiliki lahan di kawasan Hutan selama berpuluh tahun. Apalagi lahan yang ditanami cokelat, cengkeh, sawi dan merica sudah dilakukan pemungutan pajak. Pola HTI dianggap dapat mengurangi akses masyarakat dan lebih memberi kesempatan pada perusahaan pemilik ijin konsesi untuk mengeruk keuntungan besar.
Di desa Tarebbi’ terdapat enam dusun, lima dusun di antaranya yaitu Dusun Lembah, Dusun Tengko Situru, Dusun Temmassarange, dusun Dandawasu I dan Dusun Dandawasu II beririsan dengan kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Rata-rata masyarakat yang rata-rata pendantang dari Palopo dan Toraja ini menganggap memiliki kebun sendiri atau hak milik sekitar dua hektar perorang. Konon waktu masa Orde Baru (Orba) dulu, kepala desa membagikan tanah bekas konsesi HPH (Sesca). Namun, pembagian kepada warga itu tidak menyertakan sosialisasi bahwa lahan yang diberikan tersebut adalah hutan kawasan atau milik negara. “Waktu itu saya baru saja migrasi dari daerah Palopo dan saya mendengar ada pembagian lahan. Awalnya saya mendaftar untuk satu kapling lahan (2 hektar), dengan uang pendaftaran Rp. 15 ribu. Saat itu saya menambah menjadi tiga kapling (6 hektar),” ujar Sulaiman, yang dulu disebut-sebut pernah melakukan perambahan hutan. Tapi setelah menjadi aparat desa sudah insaf.
Dalam dusun tersebut telah terbentuk kelompok tani hutan, yaitu kelompok Tirowali, Beriman, Sipatuo. Latar belakang pembentukan kelompok adalah untuk memenuhi persyaratan penerimaan bantuan dari program KBR (Kebun Bibit Rakyat) dan dari Gerakan Nasional (Gernas).
Kebun yang telah diklaim masyarakat tersebut bisa diarahkan untuk masuk dalam skema HTR. Dengan begitu status lahan itu bukan lagi hak milik, tapi berupa ijin pemanfaatan selama 65 tahun yang dapat diperpanjang selama 35 tahun. Selain itu akan ada bantuan fasilitasi perencanaan penanaman dan pemeliharaan kayu yang disebut RKT (Rencana Kerja Tahunan). serta adanya bantuan kredit untuk koperasi atau kelompok tani hutan sehingga memudahkan dalam pemeliharaan kayu dalam hutan kawasan dan penjualan kayu.
Desa Kawata
Kawata terletak di Kecamatan Wasuponda dengan warga desa yang kebanyakan adalah petani dan berkebun hutan. Kawata memiliki empat Dusun dan beririsan dengan kawasan hutan, yaitu Dusun Kutina, Dusun Kawata, Dusun Tole-Tole, dan Dusun Lasulawai. Menurut Sultana (Sekretaris Desa), di dusun-dusun tersebut biasa ditemukan patok-patok penanda kawasan hutan.
Di Dusun Kutine terdapat 140 Kepala Keluarga (KK) yang memiliki lahan. Lahan mereka ada yang 2 hektar, 3 hektar, 4 hektar dan 10 hektar. Yang sepuluh hektar itu tidak dari satu hamparan, tapi lokasinya berada di banyak tempat. Masing-masing petani mengelola 2 – 3 hektar. Lahan tersebut ditanami merica, cokelat, dan kelapa sawit. Saat ini warga lebih banyak mengelola kelapa sawit, sehingga kedepannya penanaman diarahkan ke tanaman jenis kayu.
Di desa ini kami hanya menyempatkan waktu sejam saja. sebab hari itu kami harus mendatangani tiga desa lainnya untuk memperkuat wacana CBFM di masyarakat desa. Kak Ollonk membahasakan ulang informasi mengenai HTR pada kepala dusun dan dua staff desa yang ada di kantor desa waktu itu. Dari hasil perbincangan itu, kami pun mendapatkan informasi mengenai jumlah kelompok tani dan pendamping lokal yang cocok mendampingi kelompok tani. Sebab, ijin HTR dapat diberikan jika di desa tersebut terdapat kelompok tani dan pendamping yang jelas.
Desa Tawakua
Kami bergerak lagi ke desa yang dusun-dusunnya terletak di daerah sekitar hutan produksi, yaitu Desa Tawakua. Desa ini memiliki sejarah berbeda dengan desa lainnya di Luwu Timur, sebab desa ini terbentuk dan dibentuk untuk mewadahi penduduk yang berasal dari beragam etnis daerah, yaitu dari daerah Bali, Lombok, dan pulau Jawa.
Kami menyambangi desa itu tepat ketika warga desa sedang menyelenggarakan urung rembuk di balai desa. suasana riuh dan alot, tampak beberapa warga desa unjuk jari dan berkomentar tentang penggunaan anggaran desa. “warga desa di sini kritis-kritis mas!” ujar Poniman, mantan Kepala Desa. itulah sebabnya desa ini mampu menyumbangkan pajak daerah 5 kali lipat dari desa lainnya. Pemasukan pajak dari desa ini sekitar 20 juta perbulan, sementara desa lainnya rata-rata hanya 4 juta perbulan. Sehingga, boleh dikata warga desa ini produktif dan punya etos kerja tinggi.
Warga desa ini rata-rata menanam Cokelat, merica dan juga tanaman kayu. “Saya sudah buka kebun Jabon Merah,” ujar Poniman. Di kawasan telah terbentuk beberapa kelompok tani, seperti kelompok tani Bukit Raya yang beranggotakan 52 petani, rata-rata memiliki 2 hektar lahan perpetani. Dusun yang berada di kawasan hutan adalah Dusun Campursari dengan 75 KK, dusun Mulyasari dengan 50 KK, dan Dusun Beringan dengan 20 KK. Juga telah ada 12 kelompok tani yang aktif, diantaranya Bunga Harapan, Sidomakmur, Barumuncul, Suka Karya, Tawakua, Siporannu dan Suka Bina.
Keberagaman desa ini bermula dari program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah orde baru pada tahun 70-an. Sebelum tahun 1975, Tawakua masih merupakan hutan belantara dan belum tersentuh manusia. Di tahun 1975 itu berdatangan penduduk yang melakukan pembukaan hutan untuk bercocok tanam. Mereka adalah penduduk dari kampung Bastem dan berjumlah 17 kk. Pada 1976 terjadi penambahan menjadi 36 KK. Waktu itu mereka bernaung di bawah pemerintahan Desa Tampina dan salah satu dusun dinamakan Dusun Tawakua. Pada 1980 atas persetujuan pemerintah, dibuka-lah pemukiman transmigrasi umum. Pada 1982 berdatanganlah para transmigran gelombang pertama, yaitu warga Pulau Bali. Gelombang kedua mendatangkan warga Pulau Lombok dan orang Jawa datang pada gelombang ketiga. Keseluruhan transmigran berjumlah 100 KK. Selama dua tahun warga transmigran mendapat jatah makanan dari pemerintah (Sembako) dan dipimpin oleh KUPT.
Luas wilayah Tawakua adalah 32,65 KM. Desa tawakua selain merupakan lahan pemukiman penduduk, tapi juga lahan perkebunan dan persawahan. Juga mengatur lalulintas keluar masuk angkutan kelapa sawit dan Hasil Olahan Pabrik BMS (CPO). secara umum Desa Tawakua merupakan daerah dataran tinggi dan dataran rendah. Di wilayah Dusun Mekarsari, Campursari, Mulyasari dan Dusun Beringin merupakan daerah pegunungan. Dusun Tawakua dan Dusun Tikulembang merupakan daerah dataran rendah, bahkan di saat musim hujan sering terkena banjir (areal pinggiran sungai Angkona). Jumlah penduduk 672 KK dengan total jiwa 2764 orang. sementara dari sisi kesejahteraan, jumlah prasejahtera adalah 320 KK dan sejahtera 352 KK.
Desa Mantalulu
Dalam perjalanan antara Desa Tawakua ke Desa Mantalulu, kami menyaksikan puluhan mobil truk yang mengangkut sawit antri menunggu giliran ke pabrik penjualan. Desa ini betul-betul kaya, bukan hanya tanahnya, tapi juga sumberdaya manusianya. Orang datang ke desa ini untuk mencari peruntungan sebagai buruh kerja dan juga untuk menanam sawit di lahannya masing-masing.
Di desa ini juga terdapat perkebunan sawit yang luas, terhampar sepanjang perjalanan yang jaraknya belasan kilometer. Kebun ini milik negara atau BUMN, tentu turut menyumbangkan sumbangsih bagi perekonomian desa. walau sebenarnya industri sawit ini juga bermasalah di mata sebagian kalangan, sebab sawit dapat dengan cepat kilat menguras hara tanah, selain itu industri sawit ini sebelumnya telah menebang hutan beratus-ratus hektar dan berefek pada kerusakan lingkungan.
Di Desa Mantalulu terdapat lima kelompok tani (tani sawit). Dusun yang berada dalam kawasan yaitu dusun Campurjaya. Rata-rata petani mengelola lahan sebanyak 2 hektar. Dalam satu kelompok biasa mengelola hingga 20 hektar. Di desa ini kami tidak sempat menemui kepala desa, jadi yang sempat diwawancarai adalah Kepala Dusun. Ia hanya memberi nomor kontak dari Pak Desa dan pendamping yang kira-kira bisa mendampingi kelompok HTR kelak.
Desa selanjutnya adalah Desa Taripa. Di desa ini kami tak berlama-lama. Sosialisasi HTR dijelaskan oleh Kak Ollonk, yang dilanjuti dengan menggali informasi mengenai kelompok tani dan siapa yang bakal mendampingi para kelompok tani tersebut. Menurut Muhammad, Kepala Desa Taripa, “Nama dusun yang masuk kawasan hutan, yaitu dusun Nusantara dan Dusun Salaparang. Sejauh ini belum terbentuk kelompok, lahan masih dikelola secara perorangan. Namun, jumlah petani yang rata-rata petani sawit ini tidak diketahui,” ungkapnya. Pendamping sementara ini belum ada rekomendasi, muhammad mengatakan akan membicarakan penentuan pendamping di rapat desa.
Sehabis itu, kami menutup hari dengan bergerak ke Wotu, ke kediaman kepala Dinas, Ir. H. Zainuddin, Msi, yang biasa disapa Bang Jai. Kami pun semalam suntuk berbincang tentang dunia kehutanan, persoalan politik regional Sulsel, tentang bercocok tanam kayu dan tentu tentang masa depan daerah dan bangsa ini. hingga akhirnya pengaruh kopi setia yang diracik oleh bang Jai dikalahkan oleh rasa lelah dan kantuk itu sendiri.