Kisah di Balik Kesuksesan Pengelolaan HKm di Bulukumba

Keberhasilan sebuah daerah sangat bergantung pada keberanian dan ketegasan pemimpinnya. Seorang pemimpin juga harus mampu menumbuhkan rasa percaya masyarakat.  Seperti itulah pelajaran yang dipetik oleh para peserta Kunjungan Belajar Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bulukumba yang berlangsung selama 2 hari, 18-19 Juni.

Para peserta yang berasal dari 4 provinsi di Sulawesi tersebut mendapatkan pelajaran berharga tentang keberhasilan pengelolaan HKm di Bulukumba. Bersama Kepala Dinas Kehutanan Bulukumba, para peserta berkunjung langsung ke Desa Bontonyeleng, salah satu desa yang menjadi basis pengembangan HKm.

Sebuah cerita menarik terungkap dari diskusi yang diselenggarakan di rumah ketua kelompok tani kehutanan Desa Bontonyeleng. Proses pengelolaan HKm di Bulukumba bukan tanpa hambatan. Kepala Dinas Kehutanan Misbawati A Wawo menjelaskan, sebelum HKm dikelola, hutan negara di Kabupaten Bulukumba dikuasai oleh masyarakat yang sudah turun-temurun tinggal di dalam kawasan.

Mereka bahkan memiliki SPPT untuk setiap petak tanah yang mereka kelola. “Hal ini yang menjadi tantangan saat kami ingin memulai pengelolaan hutan berbasis HKm,” katanya. Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di kawasan menganggap SPPT tersebut sebagai bukti kepemilikan tanah secara sah. Karena itu, ketika pemerintah setempat memasuki kawasan hutan, mereka merasa terancam karena mengira tidak akan diizinkan lagi mengelola kawasan.

Soal SPPT tersebut pun memiliki cerita tersendiri. Dulu, pemerintah daerah membuat kebijakan, bahwa desa yang menyumbangkan pajak tertinggi dari daerah masing-masing akan mendapatkan hadiah sepeda motor. Kebijakan tersebut bermaksud mengajak masyarakat untuk taat membayar pajak. Namun karena tergoda mendapatkan hadiah sepeda motor, kepala desa setempat pun mengeluarkan SPPT untuk kawasan hutan. SPPT di kawasan hutan Bangkeng Buki’ telah terbit sejak tahun 1989.

Pengelolaan hutan yang tanpa pengawasan dan pembinaan menimbulkan kekhawatiran baru. Dinas kehutanan melihat bahwa lama-kelamaan hutan akan rusak jika dikelola tanpa terkontrol. Apalagi, masyarakat memperluas daerah rambahannya ke dalam kawasan. Hal ini mendorong Pemda untuk segera mengambil tindakan.

Pada tahun 2003, pemerintah setempat khususnya Dinas Kehutanan bekerjasama dengan Kantor Perpajakan melakukan upaya untuk mencabut SPPT tersebut. Mereka pun mulai dengan mengajak masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan untuk berembug. Awalnya, Pemda mendapat tentangan dari masyarakat. “Kami menilai bahwa tentangan masyarakat wajar karena mereka sudah secara turun-temurun mendapat makan sehari-hari dari kawasan yang dikelola,” ucap Misbawati.

Berkat usaha yang dilakukan terus-menerus, akhirnya Pemda berhasil memberi pengertian kepada masyarakat. Apalagi, pemerintah berjanji bahwa mereka akan tetap diperbolehkan mengelola kawasan meski SPPT dicabut. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan menebang pohon agar tidak mengganggu ekosistem hutan. Sebaliknya, mereka dianjurkan untuk menanam tanaman kayu-kayuan.

Tantangan yang didapatkan Pemda tidak sampai di situ saja. Masyarakat meminta jaminan bahwa jika SPPT dicabut, mereka akan tetap diizinkan mengelola kawasan hutan yang mereka kelola sebelumnya. Saat itulah, Bupati Bulukumba yang menjabat saat itu mengambil langkah berani menerbitkan Surat Keputusan (SK) sementara pengelolaan hutan.

Banyak yang terkejut dengan keluarnya SK sementara tersebut. Langkah tersebut dinilai ‘gila’, sebab bisa mempertaruhkan jabatan seorang bupati. Namun Pemda tidak ada pilihan lain. “Ini jalan satu-satunya jalan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah,” kata Misbawati. Lagipula kata dia, SK tersebut tidak berisi kebijakan-kebijakan yang melanggar aturan Kementerian Kehutanan tentang pengelolaan hutan.

Langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah adalah menyusun sebuah Peraturan Daerah (Perda) agar ada aturan yang lebih jelas. Perda tentang Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan di Bulukumba terbit pada tahun 2009. Perumusan Perda tersebut melibatkan berbagai pihak.

Kepala Seksi Hukum, Bagian Hukum Pemerintah Daerah Bulukumba, Andi Asnarti yang turut merumuskan perda tersebut mengungkapkan mengapa Perda dipilih, dan justru bukan Perbup. “Dibandingkan dengan Perbup, dari segi hukum daya ikat Perda lebih kuat karena melibatkan Pemda dan DPRD,”  katanya.

Perda tersebut mengatur mengenai mekanisme pengelolaan hutan yang mesti dipatuhi masyarakat. Salah satu aturan yang disepakati adalah, setiap areal yang dikelola harus berisi 40 persen tanaman kayu. Sisanya 60 persen, boleh menanam tanaman perkebunan, dengan syarat harus tanaman jangka panjang, semisal kakao, kopi atau cengkeh.

Perda tersebut juga mengatur mengenai sanksi yang akan diberikan kepada anggota kelompok yang melanggar. Hanya saja, pemberian sanksi menurut Perda, dikembalikan kepada ketua kelompok masing-masing. “Sanksi untuk anggota yang melanggar diserahkan kepada kelompok,” tutur Asnarti. Namun sejauh ini kata dia, masyarakat sangat patuh pada aturan. Tidak ada yang melanggar, sebab mereka paham bahwa aturan yang dibuat pemerintah berpihak pada kesejahteraan mereka.

Kini, setelah Perda terbit dan pengelolaan HKm lebih teratur, langkah selanjutnya yang dipikirkan oleh KTH adalah bagaimana mengembangkan potensi lain yang ada dalam kawasan. Di Desa Bontonyeleng misalnya, kelompok sedang mulai mengembangkan peternakan ayam. Ketua KTH Bontonyeleng, Baharuddin mengatakan, di dalam kawasan terdapat sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk peternakan.

Di samping itu, KTH Bontonyeleng sedang merencanakan pengembangan agrowisata. Mereka mulai membuat blok-blok tanaman di dalam kawasan, misalnya blok untuk tanaman rambutan, durian, dan tanaman lainnya. “Selain itu, di kawasan kami ada potensi wisata sejarah yang belum digali. Di sana terdapat sebuah gua,” kata Baharuddin. Ke depan, ia berharap akan semakin banyak pengunjung yang datang ke desanya untuk berwisata.

Peserta kunjungan belajar, mengungkapkan kekagumannya melihat keberhasilan pengelolaan HKm di Bulukumba. “Kami melihat bahwa keberhasilan HKm di Bulukumba, di samping kemauan masyarakat yang begitu kuat, juga tidak terlepas dari dukungan Pemda, terutama Dinas kehutanan,” kata Mustakim, peserta dari Sulawesi Tenggara.

Direktur SCF, Rostanto Suprapto mengungkapkan, Bulukumba dipilih menjadi daerah tujuan kunjungan belajar tahun ini, karena kabupaten tersebut sudah lama mengembangkan pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan. “Terhitung sejak tahun 1999-2000,” katanya. Pengembangan HKm di Bulukumba juga terbilang unggul dari kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.

Bulukumba merupakan salah satu wilayah dampingan SCF dalam hal HKm. Rostanto menambahkan, tempat yang dikunjungi hendaknya menjadi media pembelajaran untuk kemudian diterapkan di daerah asal masing-masing. Apalagi dalam kegiatan ini, komposisi peserta berasal dari Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara. (*Anies)

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content