15 Juli 2025, SCF memfasilitasi pertemuan kedua Fasilitasi Diskusi Social Enterpreneurship Kelompok Ekonomi Desa (KUPS, Perempuan, Bumdes, dan KWT) di Dusun Bonto-Bonto, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Pertemuan ini merupakan lanjutan dari pertemuan masyarakat Dusun Bonto-Bonto yang telah menyusun sebuah rencana bisnis kolektif yang difokuskan pada upaya pengelolaan potensi wisata desa di Dusun Bonto-Bonto. Rencana bisnis tersebut mencakup gagasan untuk mengembangkan wisata berbasis budaya dan alam secara terintegrasi, memanfaatkan keunikan lanskap, nilai kearifan lokal, serta partisipasi aktif masyarakat adat, perempuan, dan pemuda desa.
Pertemuan ini dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat Dusun Bonto-Bonto. Masyarakat Dusun Bonto-Bonto, laki-laki dan perempuan, ikut berpartisipasi. Hadir pula elemen-elemen pemerintah desa setempat, mulai dari Kepala Desa Bonto Somba hingga Kepala Dusun Bonto-Bonto.
Diskusi dibuka oleh Ma’ruf Nurhalis, sebagai perwakilan tim Estungkaran SCF. Ma’ruf menyampaikan, pertemuan kali ini bertujuan untuk menindaklanjuti hasil penyusunan rencana bisnis kolektif wisata desa di Dusun Bonto-Bonto. Selain itu, pertemuan ini ditujukan untuk mempertemukan dan memperkuat koordinasi antar pihak agar dapat menyampaikan perspektifnya masing-masing. “Kita ingin melihat bagaimana pengelolaan hutan dari perspektif pemberdayaan komunitas dan KPH.” Kata Ma’ruf. Sehingga, dengan mengetahui perspektif dari masing-masing pihak, masyarakat Desa Bonto Somba dapat mengetahui dan mengelola hutannya yang telah resmi menjadi Hutan Kemasyarakatan (HKm) sesuai dengan prosedur yang berlaku, berbasis masyarakat, dan berkelanjutan. Melalui pertemuan ini, masyarakat diharapkan mampu menyepakati langkah-langkah prioritas dan tahapan implementasi bersama.
Memaksimalkan Potensi Hutan
Setelah sambutan, Ma’ruf mempersilahkan Rachmat, penyuluh hutan KPH Bulusaraung untuk berbicara. Rachmat menyampaikan bahwa potensi hutan kita dapat dimaksimalkan dengan memanfaatkan berbagai modal yang dimiliki. Modal yang dimaksud tidak hanya berupa potensi hutan yang dimiliki, baik di dalam maupun di luar hutan. Rachmat menyampaikan bahwa kita bisa memanfaatkan metode agrosilvopastura. Metode ini dapat digunakan untuk pengelolaan lanskap berkelanjutan dengan menggabungkan pertanian, kehutanan, dan peternakan. “Misalnya, kita bisa menanam rumput gajah di dalam kawasan,” katanya.

Rachmat, penyuluh hutan KPH Bulusaraung, sedang menjelaskan mengenai potensi hutan yang bisa dimanfaatkan
Selain itu, Rachmat menyampaikan bahwa perlu melakukan revisi terhadap RKPS (Rencana Kelola Perhutanan Sosial) yang dimiliki saat ini. Revisi ini bertujuan untuk menambahkan potensi hutan yang dimiliki oleh masyarakat Dusun Bonto-Bonto. Setelah finalisasi RKPS, masyarakat dapat membuat rencana kerja tahunan.
Pattahu, selaku ketua KTH Tanah Balang, sempat menanyakan mengenai pembentukan KUPS untuk pengelolaan pariwisata. Pattahu menyampaikan bahwa dirinya sempat mengajukan pembentukan KUPS Pariwisata, sayangnya tidak tercantum dalam SK. Rachmat menyampaikan bahwa kemungkinan penyebabnya karena di Kecamatan Tompobulu, meskipun memiliki banyak potensi pariwisata, belum memiliki model pengelolaan yang tepat dalam jasa lingkungan. Oleh karena itu, Rachmat menyampaikan harapannya agar KTH Tanah Balang dapat menciptakan model yang tepat dalam pengelolaan pariwisata alam sehingga dapat menjadi contoh bagi KTH lainnya di Kecamatan Tompobulu.
Rachmat juga menyatakan bahwa terdapat berbagai aspek yang harus diperhatikan jika ingin mengelola pariwisata alam. “Terus terang dalam pengelolaan jasa lingkungan, ada banyak aspek yang perlu diperhatikan. Apalagi jika berhubungan dengan pungutan jasa wisata alam. Harus ada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat,” ujarnya.
Mulai dari Mana?
Sesi selanjutnya difasilitasi oleh Mulyadi, perwakilan SCF. Di awal sesi, Mulyadi menjelaskan secara singkat mengenai HKm. “HKm diciptakan untuk menyelesaikan konflik antar masyarakat, mengelola hasil hutan (kayu dan bukan kayu), serta mengelola lingkungan secara berkelanjutan.” Skema HKm juga memberikan perizinan kepada masyarakat agar dapat mengelola hutannya selama 35 tahun dengan evaluasi tiap 5 tahun.

Mulyadi, perwakilan SCF, memfasilitasi warga Desa Bonto-Bonto tentang kewirausahaan sosial
Saat ini, masyarakat Dusun Bonto-Bonto telah memperoleh perizinan untuk mengelola HKm. Perizinan HKm Tanah Balang diusulkan pada tahun 2022 dan terbit pada tahun 2024. HKm Tanah Balang memiliki luas 108 Ha, yang dikelola oleh KTH Tanah Balang berjumlah 24 orang anggota.
Mulyadi menjelaskan bahwa dalam mengelola HKm perlu diawali dengan melakukan penataan tata batas. Penataan tata batas ini merupakan kewajiban bagi masyarakat yang memperoleh izin. Tata batas dilakukan agar jelas wilayah mana yang dapat dikelola.
Setelah memberikan penjelasan singkat mengenai HKm, Mulyadi mulai memberikan pertanyaan kepada masyarakat: “Apa mimpi Bapak/Ibu untuk perhutanan sosial?” Peserta kemudian dibagi menjadi dua kelompok: kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Peserta dibantu fasilitator dari SCF menuliskan mimpinya masing-masing pada sebuah kertas.
Setelah peserta menuliskan mimpi-mimpinya, Mulyadi mengajak peserta untuk menempelkannya ke pada kertas yang ditempelkan pada dinding. Secara interaktif, Mulyadi membahas satu per satu mimpi dari masyarakat. Ada yang menulis, “Semoga HKm bisa dikelola dan memajukan cita-cita masyarakat. Semoga tidak ada perselisihan mengenai tapal batas”; “Semoga 10 tahun ke depan kelompok HKm menjadi semakin maju dan memiliki gudang untuk menyimpan hasil hutan Desa Bonto-Bonto”; “Semoga dapat menanam cengkeh dan kopi untuk nanti dijual hasilnya”. Adapun Kelompok perempuan menulis harapannya berupa, “Semoga desa semakin maju dan berkembang.” Mulyadi kemudian memantik bahwa kita bisa mewujudkan mimpi-mimpi tersebut dengan gotong royong.

Masyarakat menulis dan menempelkan mimpi-mimpinya
Untuk menstimulasi pengetahuan pengelolaan HKm masyarakat Desa Bonto-Bonto, Mulyadi menunjukkan praktik baik pengelolaan HKm lewat video. Video yang ditunjukkan merupakan praktik baik dari Hutan Kemasyarakatan Kulon Progo Yogyakarta. Walaupun dilakukan secara serius oleh 5 orang, mereka berhasil menciptakan pariwisata Kalibiru yang saat ini ramai dikunjungi oleh masyarakat. Masyarakat nampak antusias. Beberapa dari mereka merespon bahwa kita bisa melakukan hal yang sama. Bahkan, dengan percaya diri, salah satu dari warga berkata, “Kita bisa melakukan lebih baik dari ini.”


Peserta sedang menonton praktik baik HKm
Mulyadi mengatakan bahwa untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut, kita membutuhkan peta jalan (road map). Salah satunya, perlu mengidentikasi berbagai pihak yang dapat mendukung rencana pariwisata kita. Mulyadi mengatakan bahwa untuk membangun pariwisata kita perlu kolaborasi dari banyak pihak, seperti Pemerintah Desa, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Pemerintah Kabupaten, KPH, Universitas, dan lain-lainnya. “Kita juga perlu memberikan velue yang membedakan kita dengan bentuk pariwisata lainnya,” tambahnya.
Namun, sebelum mempertemukan berbagai stakeholder terkait, perlu menyelesaikan internal kelompok terlebih dahulu. Mulyadi mengatakan, “Kita perlu membentuk aturan bersama. Kita perlu mendudukkan bersama masyarakat Desa Bonto Somba bersama stakeholder kunci, yakni Pemerintah Desa, Pokdarwis, dan KPH untuk membahas aturan tersebut, misalnya mengenai parkiran dan pembagian hasil. Pengaturan ini bertujuan agar tidak ada konflik saat pengelolaan yang kita lakukan telah memberikan hasil.”
Musik Hutan
Masyarakat menyampaikan bahwa pernah ada momen hutan pinus mereka ramai dikunjungi. Mereka bercerita, “Pada waktu itu, hutan di atas ramai dikunjungi pada tahun 2018 saat event Musik Hutan. Waktu itu, dalam satu malam, kampung mereka memperoleh tambahan pendapatan masyarakat dari jualan.”

Salah satu peserta menyampaikan ceritanya mengenai Musik Hutan yang diselenggarakan pada tahun 2018 di hutan pinus Dusun Bonto-Bonto
Sayangnya, pariwisata hutan pinus masyarakat tidak berlanjut. Salah satu sebabnya karena pembagian hasil dari event Musik Hutan tidak merata. Pattahu bercerita, “Ada yang bermalam sampai tengah malam, tapi tidak ada dia dapatkan hasilnya.”
Mulyadi mendengar cerita tersebut kemudian menyampaikan bahwa kejadian tersebut menunjukkan bahwa memang dibutuhkan perencanaan yang matang untuk menciptakan pariwisata berkelanjutan. Mulyadi menekankan bahwa kita perlu membuat peta jalan. Selain itu, Mulyadi mengulangi bahwa kita perlu mendudukkan seluruh stakholder terkait untuk membentuk aturan bersama.
Rencana Tindak Lanjut
Ketika masuk waktu zuhur, tim SCF, KPH, dan warga Bonto-Bonto beristirahat. Ibu-ibu mengeluarkan makanan yang mereka buat dari dapurnya. Satu per satu mengambil makanan dengan tertib. Semuanya makan bersama dengan akrab.
Usai makan dan salat, pertemuan dillanjutkan di hutan pinus. Kami mengobrolkan rencana-rencana untuk membentuk destinasi wisata di Desa Bontosomba. Tapal batas menjadi rencana awal sebagai tindak lanjut dari pertemuan hari ini. Selain itu, ada rencana untuk melaksanakan studi banding di Bissoloro dalam waktu dekat untuk mempelajari bagaimana masyarakat Bissoloro mampu mengelola hutannya menjadi destinasi pariwisata yang populer.

Peserta FGD melanjutkan diskusi dan melakukan foto bersama di hutan pinus










