Mengintip Pipikoro, Negeri di Pinggir Awan (Catatan Perjalanan, data, dan Evaluasi)

Kehidupan Pipikoro tak jauh berbeda dengan kondisi jalanannya, berada di pinggiran sulit.

Kami tiba di Watukilo, Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi pukul 23.00 kamis malam, (24/5). Setelah menempuh dua jam lebih perjalanan dari Kota Palu. Malam itu kami menumpang nginap di rumah Pak Marten, kenalan seorang rekan yang waktu itu ikut mengantar. Hawa dingin menyeruak hingga ke ruang tengah rumah persegi itu, membuat kami bersungut-sungut di hadapan secangkir kopi.

Kopi tumbuk khas Kulawi itu saya teguk berulang-ulang, sepertinya cukup ampuh menghilangkan rasa mual dalam perjalanan. Bagaimana tidak, jalanan berkelok-kelok, dan tubuh saya memang lelah dalam seharian itu. Tapi, kelelahan dan dinginnya malam tak membuat pikiran saya berhenti untuk merancang rute perjalanan jumat hingga minggu lusa. Soalnya, dalam tiga hari itu saya dan Pak Muhammad Subarkah (wartawan Bisnis Indonesia) harus memotret perjalanan sistem layanan hak-hak dasar berupa pendidikan dan kesehatan di tiga desa Kecamatan Pipikoro, yaitu di Porelea, Lonebasa, dan Lawe.
Untung malam itu sinyal handphone cukup kuat di Watukilo, segera saya mengontak Satrianto, yang tak lain direktur Perkumpulan Karsa untuk menggali informasi mengenai rute dan tokoh-tokoh penting yang akan ditemui. Padahal, pemahaman mengenai informasi geografis, kondisi medan, jumlah desa sasaran, sebelumnya begitu gelap. Pak Subarkah, yang merupakan teman jalan dalam tiga hari itu pun terlihat minim informasi mengenai kondisi lapangan. Dari percakapan singkat dengan Satrianto, kami pun memutuskan untuk ke Desa Porelea esok paginya.

Kami bangun tak pagi betul, Subarkah malah bangun pada pukul delapan lewat. Dinginnya pagi membuat kami berleyeh-leyeh. Pukul 09.00, Enos, supir ojek datang, sontak menyadarkan kami untuk segera menyiapkan diri berangkat ke Pipikoro. Ia membawa kabar baik, katanya Kepala Desa Porelea ada di rumah pak Sekretaris Camat Pipikoro, yang letaknya hanya satu kilometer dari rumah Pak Marten. Mendengar itu, dewi fortuna terasa begitu dekat.

Kami menyambangi kediaman Sekcam Pipikoro untuk bertemu Kepala Desa, Abed Nego, 55 tahun. Kami pun berbincang tentang gambaran kondisi di Desa Porelea. “Kondisi jalan parah Mas, disana PLN belum masuk, masih menggunakan tenaga diesel, rencananya nanti mau gunakan tenaga air,” ungkap Smar, Sekcam Pipikoro. Porelea merupakan desa baru, pemekaran dari Desa Onu pada tahun 2008. Kata Pak Abed nego, ia sudah mempersiapkan para kader di desanya, untuk kami wawancarai. Alhamdulillah.

Sekembali dari kediaman Sekcam, kami berangkat ke pipikoro, yang awalnya menumpangi mobil hingga ke perbatasan Gimpu, akhir jalan aspal yang bisa dilalui mobil. Yang dilanjutkan dengan menumpang ojek motor menuju Porelea yang menghabiskan waktu 1,5 jam. Dalam perjalanan kami ditemani Pak desa, kami beberapa kali berhenti di jalan untuk melihat di kejauhan posisi Porelea, yang letaknya di atap gunung.

Perjalanan ke desa itu cukup sulit, medan berupa pendakian di lereng-lereng gunung, kadang menuruni lembah dengan kemiringan curam. Membuat tukang ojek memodifikasi motornya dengan gir yang dirancang khusus, juga memaksanya untuk mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Ongkos ke sana pun tak sedikit, bayangkan, hanya berjarak 24 kilometer ke Porelea kita harus merogoh kocek Rp. 150 ribu/perorang.
Konon, jalan pendakian ini dulu hanya bisa dilalui oleh kuda dengan perjalanan setengah hari. Kendaraan motor ojek mulai masuk ke desa-desa Pipikoro pada tahun 2001 – 2002. Pembukaan jalan motor awalnya dinisiasi oleh seorang Komandan Babinsa (Bintara Pembina Desa), yang bernama Wempi Gesa Dombu ( ). Pada tahun 1999 Wempi bertugas sebagai Babinsa di Kec. Pipikoro, pada 2001 ia menghadirkan 12 buah ojek. “Modal sebesar Rp. 80 juta saya kerahkan untuk memasukkan motor ojek ke Pipikoro, dua tahun beroperasi, motor saya banyak yang rusak. Sayangnya, banyak juga warga pipikoro yang terkena tipu oleh tukang ojek, karena barang tumpangan yang diangkut oleh tukang ojek ke Gimpu banyak yang tidak kembali. Pristiwa itu membuat warga Pipikoro berpikir untuk memiliki motor sendiri,” ujar Wempi. Sejak itu, warga mulai ramai-ramai menukar kudanya dengan motor, biasa satu motor ditukar dengan empat ekor kuda, seekor kuda umumnya dihargai Rp. 1,5 juta.

Desa Porelea

Menginjak Porelea, kita seperti menjejak sebuah negeri yang ditemukan. Negeri yang tersembul di atas pasak bumi. Padahal, jaraknya tak jauh dari pangkal keramaian, 24 kilometer dari Gimpu. Lantaran sulitnya medan untuk menemukan porelea, desa ini belum bisa menikmati modernitas sepenuhnya. Di desa seluas 6,59 Km2 itu, manusia masih mengandalkan teknik perkebunan sederhana, mempersiapkan kebutuhan pangan dari ladang berpindah dan bersifat subsistem atau bukan untuk diperjualbelikan.

Dalam perjalanan kami sudah menemui beberapa warga Porelea, ada yang sementara memperbaiki jalan setapak dan ada yang lagi membersihkan kebun cokelatnya. Desa ini ditemui setelah kita melewati lorong-lorong kebun cokelat, lalu jalan setapak berwarnah kemerahan itu menghantarkan kita pada pagar-pagar bambu halaman rumah warga. Yang di dalamnya ditanaminya jagung, beberapa pohon cokelat, kopi, dan tanaman jenis obat-obatan, seperti kumis kucing. Rumah warga terbuat dari papan kayu, berjendela anyaman bambu, ada juga rumah yang sudah berupa rumah batu. Yang mentereng adalah bangunan gereja yang berdiri kokoh di ketinggian. Warnanya cerah, memancarkan semangat perjuangan warga Porelea.

Kami istirahat di teras halaman rumah Kepala Desa/Abed nego, meminum kopi, mengambil gambar, dan menikmati suasana desa. petani lalu lalang di jalan depan rumah, di punggung mereka melengket bakul dari anyaman bambu, mereka menyebutnya Kapipi. Bakul inilah menjadi tas seribu ummat di Pipikoro, digunakan untuk menampung hasil petikan kopi. Rumah Abed tidak besar, tapi cukup sebagai tempat berteduh tiga keluarga di dalamnya. Kami pun memulai perbincangan dengan Abed yang saat itu lagi menggendong cucunya yang termuda.

Saat ini Porelea diterangi dengan bantuan tenaga diesel yang menggunakan genset. “Pengadaan Solar kami ambil dari iuran warga yang dibayar perminggu. Kami menghabiskan 35 liter setiap minggu. Biaya perliter sebesar Rp. 6 ribu dengan ongkos angkut per-jerigen sebesar RP. 35 ribu,” terang Abed. Sekarang terdapat 78 kepala keluarga (KK) yang menggunakan listrik ini, dalam satu rumah terdapat tiga KK. jumlah keseluruhan KK di desa ini yaitu 203 KK, dengan jumlah penduduk 984 jiwa.
Abed yang dibantu Sekcam telah menyusun proposal untuk pembangunan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang ditujukan ke Dinas Pertambangan. “Dulu pernah kami membuat proposal untuk penyediaan 160 unit pembangkit listrik tenaga surya, tapi setelah mempertimbangkan bahwa untuk memenuhi 240 Kepala Keluarga rasa-rasanya tidak cukup. Makanya kami alihkan ke PLTMH,” kata Abed. di pertengahan jalan menuju Porelea, Abed memperlihatkan dua model tenaga mikrohidro, satu milik pribadi, satu lagi dari program PNPM Mandiri Pedesaan, yang pengerjaannya belum rampung. Tampaknya, melihat potensi arus sungai yang deras, desa ini cocok untuk menggunakan tenaga mikrohidro. Tinggal bagaimana meningkatkan daya energi, sehingga kebutuhan desa listrik mencukupi.

Di Porelea, cokelat menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat. Meski sebenarnya produksi kopi masih terdengar seksi. Beberapa tahun lalu, orang ramai-ramai menebang sebagian kopinya untuk menanam cokelat di kebun. Rata-rata harga cokelat perkilo sekitar Rp. 17.000, sementara kopi robusta seharga Rp 20.000 perkilo. Meski harga kopi lebih tinggi, cokelat tetap menjadi idola, lantaran proses pemanenannya dapat dilakukan tiap hari, dan penjualan ke Gimpu dapat dilakukan setiap pekan. Kopi jangka panennya sangat lama, yaitu 5 – 6 bulan, bahkan ada yang cuma satu kali dalam setahun. “Ada warga menanami sawah ladangnya dengan cokelat, harga satu kilo cokelat sebanding dengan tiga kilo beras. Perawatan sawah juga susah, harus pakai pupuk urea satu sak dengan harga Rp. 50.000. Kalau cokelat, satu kali tanam bisa panen terus,” terang Smar, Sekcam Pipikoro.

Sebelum cokelat masuk dan meyebar pada 1988, warga masih memanfaatkan hewan ternak yang dipelihara dengan membiarkannya bebas berkeliaran di desa. cokelat sudah dikenal, namun keberadaan hewan ternak cukup menganggu penanaman dan pemeliharaan cokelat. “Selama enam bulan kami menangkap sapi, sapi terkumpul sampai 87 ekor,” ungkap Abed nego, yang waktu itu masih sebagai kepala dusun di Desa Onu. Sapi yang sudah tertangkap diikat satu persatu dihalaman rumah. Orang pun ramai-ramai menjual sapinya yang saat itu dihargai Rp. 250.000 persapi. Namun, banyak pula sapi yang mati percuma, lantaran warga waktu itu fokus untuk pembukaan lahan kebun cokelat.

Di rumah Abed, waktu terasa begitu ringkas, tak terasa sudah pukul 15.30, waktu itu kami sudah wawancara dengan dua kader kesehatan, yaitu Selestin (41) yang merupakan dukun bayi dan Alficanus (41) yang menangani kesehatan anak yang juga merangkap sebagai sekretaris desa. tak terasa pula, ternyata kami belum makan dan lupa shalat jumat. Hari itu, keyakinan begitu melempem. Tanda-tanda kesalehan tiba-tiba lenyap, yang dibangkitkan mungkin adalah kesalehan sosial. Berupa menyerap penderitaan dan perjuangan warga Pipikoro. Saya, subarkah dan mereka pun melebur dalam bumi manusia, tak terbedakan oleh keyakinan dan eskatologi. Hidangan indomie rebus dan telur dadar kami santap. Dan ternyata cukup nikmat.

***

Sorenya kami menghabiskan waktu untuk mengambil gambar/memotret. Kami ditemani anak Pak Abed ke kebun kopi. Kebun kopi dan cokelat berdekatan. Waktu itu kebun jaraknya tidak jauh, dan terletak di pinggir jalan. Di Pipikoro ternyata ada kopi yang melalui fermentasi kalelawar, yang disebut Kopi Toratima. Aroma dan rasa kopi ini tidak kalah dahsyat dengan Kopi Luwak, asal Gayo Region, Takengon, Aceh itu. Kopi Toratima biasa dipersembahkan bagi para tamu adat dan menjadi hidangan utama dalam upacara-upacara adat. Saya belum mencoba jenis kopi ini, dan waktu itu terlambat tahu mengenai jenis kopi ini, sehingga kurang dieksplorasi.

Menjelang magrib, kami bergerak ke lapangan bola. lapangan ini aneh bin ajaib, bermain di sini harus mengeluarkan tenaga ekstra, karena pada kedua ujungnya berupa gundukan dan di tengah berupa lembah. Sehingga pemain kesulitan membawa bola ke gawang, tapi harus mengangkatnya ke atas lewat tendangan melambung. Hebatnya, para pemuda Porelea ini seperti tidak kehabisan tenaga membawa bola. Inilah hiburan utama mereka sehabis memetik kopi atau menggarap ladang.
Malam harinya, keluarga besar Pak Abed berkumpul di depan tivi, hiburan malam mereka menjelang istirahat. Beruntung mereka masih bisa menonton tivi dengan bantuan paket genset dan parabola. tampaknya, mungkin masih banyak rumah-rumah di Porelea tidak mampu mencicipi televisi. Sebab yang memiliki parabola hanya beberapa halaman saja. Ruangan tengah rumah pun Bertambah ramai ketika tokoh adat dan dua kepala dusun datang bertandang.

Tokoh Adat Desa Porelea bernama Marten Ego, malam itu ia melingkarkan kain menutupi rambut kepalanya. Kami tak begitu larut dalam perbincangan. Cuma membahas sekilas hukum adat Di Porelea. Hukum adat masih sangat ketat, di sana tidak ada polisi dan hakim, jadi yang memutuskan perkara kebanyakan adalah para tetua adat.

Pertemuan adat dilakukan setiap ada persoalan, yang lazim terjadi adalah kasus hubungan pria dan wanita. Jika ditemukan pasangan yang bermesraan tapi bukan muhrim, kalau dia hanya berpegangan tangan akan dikenai denda satu ekor ayam, namun jika sudah berhubungan layaknya suami istri langsung dinikahkan dan didenda sebesar 30 kilo babi, 30 parang dan satu balak kain. Jika ditemukan selingkuh dengan istri atau suami orang lain, maka dendanya adalah satu ekor sapi. “Jarang ditemukan pelaku yang tidak membayar denda. Di sini kekeluargaan sangat tinggi, sehingga jika ada yang bermasalah, seluruh keluarga turut membantu,” ujar Marten.

Seni tradisional juga cukup subur di Porelea, seperti seni Raigo, Pabunca (ucapan syukur), dan tari cakalele. Tarian cakalele biasa diperagakan jika ada tamu istimewa yang datang. Porelea sendiri berarti tempat pertama kali ditemukannya seni Rego. Tempat itu situsnya masih ada, berupa batu besar berbentuk meja. Namun sekarang sudah tidak tampak seperti meja lagi, karena badannya tertimbun oleh erosi.

Konon, waktu zaman belanda, para penghuni desa Porelea diminta untuk mengungsi ke daerah yang lebih rendah. Namun dalam perkembangannya, tiga rumah masih bertahan dan tidak mau turun, bahkan membangun lobo (tempat pertemuan adat) di situ. Lama ke lamaan, orang Porelea di kawasan ungsian banyak yang kembali, diperkirakan waktu itu daerah bawah sering terjadi bencana longsor, sehingga mereka kembali. Sejak saat itu Belanda menganjurkan mereka menanam kopi. Mungkin sejak itu kopi berkembang di Porelea.

Esok pagi (26/05/2012), kami ingin merekam kesibukan masyarakat pagi hari. Kami berkeliling dan ternyata pagi itu adalah hari doa perempuan. Beramai-ramai ibu satu desa berkumpul di gereja bala keselematan. kidung bergetar di gereja tua, Bersahut-sahutan. Sayang, saya tak bisa menikmatinya lebih lama, pagi itu kami harus berangkat ke Lonebasa.

Lonebasa

Pukul 09.00 kami menuju Lonebasa. jalanan ke Lonebasa lebih menegangkan, lebar jalan Porelea masih ada dua meter, tapi jalan ke lonebasa ada yang setengah meter, itu pun dengan jurang menganga di sampingnya. beberapa kali kami turun dari ojek untuk mengurangi kecepatan pada tikungan tajam. Pada titik yang lain kami menjaga keseimbangan pada jalanan berbatu yang sempit dan licin, kalau tukang ojek kurang lincah dan kehilangan keseimbangan barang sedikit, tidak tahu nasib apa yang akan menimpa. Saat itu, nyawaku sepenuhnya dalam kendali tukang ojek. hehee..
Di perjalanan, saya mengamati banyak punggung pegunungan yang gundul. Kata tukang ojek, itu bekas ladang berpindah. Pikir-pikir, parah juga akibat dari ladang berpindah ini, sepotong gunung ia bisa gunduli. Sistem ini disebut sistem berah, petani menerapkan siklus penanaman untuk menunggu meningkatnya unsur hara tanah bekas tanam, siklus sekitar 3 sampai 5 tahun. Bagaimana mengefektifkan ladang-ladang ini, mungkin alumnus pertanian bisa mencari jalan keluar kondisi seperti ini? Pasti ada jalan keluar. Mungkin lahan gundul itu ditanami daun lamtoro untuk meningkatkan unsur hara atau menerapkan tanaman agroforestry?

Padi ladang di Porelea maupun di Lonebasa tahun 2011 kemarin mengalami kegagalan. Gagal panen lebih disebabkan karena musim kemarau panjang dan salah jadwal tanam. Sehingga kebutuhan pangan mereka untuk tahun ini banyak dibantu dengan beras dari Gimpu. “Tahun ini kami harap tidak terjadi gagal panen lagi. Semoga bisa panen pada bulan sepuluh nanti,” ujar Oktavianus, kader PNPM Peduli yang juga petani padi ladang. Petani ladang rata-rata memiliki lahan satu hingga dua hektar, namun yang berhasil rata-rata cuma satu hektar.

Untuk komoditas cokelat, kegagalan biasanya karena diserang penyakit, dengan buah yang menciut dan berwarna hitam. Solusi yang pernah ditawarkan dengan sering-sering melakukan pemangkasan dahan, agar sinar matahari masuk dan mengenai seluruh tubuh pohon.

Kegagalan atau kesuksesan petani di Pipikoro bukan hanya menyangkut teknik budidayanya. Tapi juga manajeman dan pelimpahan tanggungjawab. Ini diakui Wempi, mantan Babinsa tahun 2000-an di Pipikoro, menurutnya masing-masing keluarga petani memiliki banyak lahan di banyak tempat, sehingga mereka kerepotan untuk memelihara satu-satu lahan yang letaknya saling berjauhan itu. “Peranan orang tua (ayah) masih sangat kuat di Pipikoro, mereka susah memberi tanggungjawab kepada anak-anaknya untuk mengolah lahan keluarga. sehingga, orang tua itu kerepotan sendiri mengolah lahan keluarga,” ungkap Wempi. Para pemuda desa-desa di Pipikoro tampaknya harus mengambil peran untuk mengembangkan perkebunan di Pipikoro, dan orang tua mesti legowo dengan pembagian jatah kebun.

***

Kami tiba di Desa Lonebasa pukul 10.30, disambut Amir (29) fasilitator PNPM Peduli, yang tinggal di rumah Pak Desa, terletak dekat lapangan sepak bola. saat itu, pak desa tak ada di rumah. Ia ikut rapat di Peana, pusat Kecamatan Pipikoro. Lagi-lagi, kami disajikan kopi Pipikoro. Waktu itu datang satu satu kader pendidikan, yaitu Oktavianus dan Komedi.

Kami berleyeh-leyeh barang satu jam, memanfaatkan waktu untuk ngobrol dengan Oktavianus (43) dan Komedi (47), yang ternyata penuh humor. Oktavianus dan Komedi adalah kader pendidikan yang direkrut program PNPM Peduli, sehari-hari ia bekerja sebagai petani cokelat, guru tidak tetap di SD Bala Keselamatan, dan sejak Januari lalu menambah aktivitas sebagai guru untuk para warga buta aksara di Lonebasa. “kami ini sejak dulu menjadi GTT (Guru Tetap Tani), dan GTY (Guru Tetap Yayasan),” ucap Oktavianus, diikuti tawa terbahak-bahak. Oktavianus menertawakan nasibnya sendiri.

Sejak 1989 ia mengabdi sebagai salah satu dari empat guru di SD Bala Keselamatan. Pada 1992 – 1999 ia ditunjuk sebagai kepala dusun, waktu itu ia jarang ke sekolah karena banyaknya kesibukan di administrasi dusun. Baru pada 1999 sampai 2012 Oktavianus kembali mengajar. Ia mengajar tiap hari untuk kelas satu sampai enam. Yang unik adalah metode mengajarnya, Oktavianus begitu pula dengan Komedi, selalu mengajarkan anak-anak Lonebasa untuk dekat dengan alam. “Saya ajak anak-anak menanam cengkeh di halaman sekolah, tanaman itu dipelihara oleh anak-anak, sekarang cengkehnya ada yang mati dan banyak pula yang hidup subur,” ungkap guru yang mendapat gaji Rp. 500 ribu pertiga bulan dan dana Yayasan Rp. 90 ribu perbulan itu.

Komedi adalah rekan Oktavianus dalam mengajar warga/anak putus sekolah, ia juga guru di Bala Keselamatan. Bersama Pak Oktav ia mengejar warga belajar ke kebun-kebun warga, “kami kejar-kejar mereka untuk diajar. Kami juga ajarkan cara-cara bertani ladang dan cokelat, cara membuat sarung parang dan membuat bakul,” tutur Komedi.

Tengah hari, Oktavianus, Komedi, dan Amir (Fasilitator) mengajak kami untuk ke kebun. Memang waktu itu saya penasaran bagaimana cara mereka mengajar. Ya tuhan, kebunnya minta ampun jauhnya, sekitar dua kilometer lebih. Kita melalui jalan setapak, turun landai ke kebun, masuk ke semak-semak hingga menemukan beberapa orang yang lagi memangkas dan membersihkan rumput di lereng kebun kopi. Berjalan lagi, akhirnya kita menemukan lima orang yang sementara memanen kopi. Mereka-lah murid Oktavianus.

Oktavianus pun beraksi, ia tidak mengeluarkan buku maupun pulpen, ia hanya memegang kopi dan mengajak seorang berbincang. Saya tak tahu apa yang mereka bincangkan, soalnya mereka menggunakan bahasa Uma (dialek lokal). “Kalau kita pakai bahasa indonesia itu sudah dianggap melanggar, apalagi kalau warga belajar melihat buku dan pulpen!” tegas Oktav. Dengan bahasa lokal itu, mereka melatih mengeja benda-benda itu untuk mengenal jenis-jenis huruf.

Ia mengajar barang 20 menit, saya meluangkan waktu untuk mengambil gambar. Subarkah, Amir dan Komedi menyeruput kopi yang dibuat istri petani itu. Sepertinya, mengajar orang dewasa, apalagi di daerah terpencil seperti ini sangatlah sulit. Tapi, setelah melihat kobaran semangat Oktavianus dan Komedi, saya yakin masih ada harapan untuk keluar dari kegelapan informasi itu. Saya kembali mengingat kata-kata Komedi, “Kita ini akar, bukan rotan. Apa yang didapat, itulah yang diajarkan”.
Dalam perjalanan, Komedi menunjuk gunung tempat warga belajarnya berkebun dan berladang. Saya bilang, untuk ini saya lebih baik mendengar saja, tidak usah menyaksikan.. hehe..

Kami balik ke rumah pak desa dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama, muncul rasa kantuk dan membuat kami terbaring untuk menghilangkan lelah. Amir keluar untuk mencari ojek ke Lawe. Saat berbaring, saya membayangkan bagaimana tradisi gotongroyong di kalangan masyarakat pipikoro, tadi pemilik kebun dibantu oleh petani lain untuk membersihkan dan memangkas batang-batang pohon kopi. Tradisi ini disebut Mapalus atau sambung tangan. Ini tak lain efek dari masih kuatnya hukum adat tadi.

Di Lonebasa telah ada sanggar yang telah didirikan oleh Perkumpulan Karsa bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat di sana, dengan bantuan program PNPM Peduli dari SCF dan Kemitraan. Sementara ini, sanggar lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang jumlah anak yang dibimbing ada 30 orang. selain sanggar, telah berdiri juga ‘rumah kesehatan’, tapi karena rumah itu terlalu kecil, sehingga aktivitas kesehatan banyak dilakukan di rumah pak desa, seperti aktivitas penimbangan bayi serta pemeriksaan ibu hamil.

Pukul 15.20, kami pun berangkat ke Lawe, dengan sejuta rasa penasaran.

Lawe

 Lawe adalah desa persinggahan kami yang terakhir, juga desa penerima manfaat PNPM Peduli yang terjauh dan tersulit dijangkau. Boleh dikata orang luar yang pernah menginjak Lawe bisa dihitung jari. Sehingga ketika kami datang, bisa dibayangkan bahagianya mereka.

Setiba di rumah Kepala Desa Lawe, hujan mengguyur tiba-tiba, dalam hati bergumam, tuhan masih berkeinginan menolong. Jika kami telat berangkat dari Lonebasa, mungkin kami sudah kehujanan di perjalanan dan harus berbecek-becek melintasi jalan setapak yang licin.

Niksen Lumba, fasilitator PNPM Peduli sejak pagi tadi menunggu kami. Niksen sudah saya kenal, ia salah satu peserta pelatihan fasilitator untuk CBFM (Community Based Forest manajement) di Makassar April lalu. Kami pun istirahat di ruang tamu sembari menikmati suguhan Kopi Pipikoro, menatap punggung gunung yang tersampiri awan lewat jendela. Desa ini betul-betul di pinggir langit.

Subarckah membuka pembicaraan tentang komoditas kopi di Pipikoro. Katanya kopi di pipikoro sangat khas, dan persoalan rasa tak kalah dengan kopi toraja. Hanya saja kopi pipikoro kurang diperjuangkan nasibnya lantaran akses yang sulit (transportasi dan komunikasi), pembinaan budidaya kopi yang kurang, serta rantai pasar yang panjang. Di Pipikoro juga belum terdapat semacam asosiasi yang mewadahi para petani kopi untuk sama-sama berjuang dalam peningkatan nilai kopi dan akses pasarnya. Masing-masing petani masih memperjuangkan nasibnya sendiri.

Menemukan solusi terhadap peningkatan nilai kopi di daerah terpencil dan terisolasi sepertinya membutuhkan jalan panjang. Ini diakui Yaury Tetanel (34), Staff Ahli kementerian Kesejahteraan Rakyat, “untuk membenahi perkebunan di Pipikoro harus ada orang atau kelompok yang menginisiasi perubahan. Mereka terlebih dahulu memberi contoh keberhasilan dalam budidaya dan pasca budidaya. Setelah warga menyaksikan sendiri peningkatan produksi dengan cara-cara tertentu yang sudah dicontohkan, mereka pasti akan mengikutinya,” ungkap Yauri, yang baru saya ketemui pada sebuah acara di Hotel Jazz beberapa hari kemudian.

Menurut Yauri, masyarakat tidak gampang dipaksa untuk berubah, ia akan berubah dengan adanya teladan dan contoh. Masyarakat Pipikoro juga tidak perlu dipaksa dalam pembentukan asosiasi. Asosiasi petani harus lahir dari kalangan mereka sendiri, mungkin dengan proses yang perlahan. Setelah mereka terbiasa mengorganisasi diri, apalagi sudah ada basis berupa modal sosial yang kuat seperti sambut tangan dan Mapalus, tahap berikutnya yaitu perancangan Peraturan Desa yang mengikat warga dalam pembenahan sistem perkebunan dan pertanian.

Muhammad Rifai, Seorang aktivis LSM turut menyumbang pendapat, “Tentang komoditas kopi dan cokelat ini. Warga tidak mencoba untuk menjual kopinya tidak di Gimpu, tapi langsung ke Palu. Pasti harganya bisa lebih bagus,” ujar Rifai, yang saya temui beberapa hari kemudian di Kota Palu.

***

Saya mencoba arahkan pembicaraan ke energi listrik, waktu itu lampu rumah milik pak desa kedap-kedip, sebentar-sebentar menyala, sebentar-sebentar mati. Perjumpaan dan perbincangan kami pun dibantu dengan penerangan lilin. “Energi listrik di sini menggunakan tenaga kincir/mikrohidro, diperoleh dari arus sungai yang kita lewati tadi. Tapi, energinya tidak cukup untuk seluruh rumah,” ungkap Niksen.

Saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dikelola secara swasta oleh sebuah keluarga pedagang di Lawe. Ketersediaan listrik sangat bergantung pada tenaga arus yang memutar turbin/kincir. Memang, kapasitas energi yang bisa ditampung tidak besar, saat ini saya belum mengerti hitung-hitungannya. Biasanya dari ketinggian air 2,5 meter dapat dihasilkan listrik 400 watt. Kalau tidak salah, baru beberapa rumah tangga yang bisa menikmati listrik. Pemakai listrik pun dibebani Rp. 10 ribu perbulan untuk satu mata lampu yang digunakan. “koslet sering terjadi karena ada warga yang memasang sembunyi-sembunyi sambungan listrik,” ujar Isaiah Koleb, Kepala Desa lawe.

Ketika mengamati rumah pembangkit/generator mikrohidro di tepi sungai esok harinya, saya menjadi yakin bahwa sistem ini bisa ditingkatkan teknologinya. Waktu itu, debit air naik turun. Air yang ditampung di bendungan tidak lancar dan tidak menentu, sehingga putaran kincir kadang pelan kadang cepat, menyebabkan perubahan energi mekanik ke energi listrik melalui generator melambat.

Malam itu, dengan hanya disertai sebuah lilin, saya inisiatif untuk memperlihatkan film dokumenter tentang pembangunan PLTMH oleh masyarakat di dataran tinggi Batang Uru, Mamasa, Sulawesi Barat. Cukup inspiratif, film ini menggambarkan bagaimana usaha Ir. Linggi mengajak masyarakat untuk bekerjasama membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan arus sungai. Sebelumnya, desa itu belum menikmati listrik, sekarang disana sudah surplus listrik, bahkan PLN membeli sebagian cadangan listrik desa itu. Telah terdapat pula bengkel yang memanfaatkan listrik, sekolahnya pun sudah mengoperasikan komputer.

Yang membedakan Batang Uru dengan Lawe hanyalah pada teknologi yang digunakan. Di batang uru, air deras sungai betul-betul diarahkan untuk jatuh ke turbin, kemudian ditambah fasilitas panel kontrol untuk menstabilkan tegangan serta sebagai alat pengalihan beban ketika beban konsumen mengalami penurunan. Sehingga, dengan mengandalkan modal sosial yang ada di masyarakat, saya pikir dengan kemauan keras, problem energi listrik di Desa Lawe ini bisa dipecahkan.

***

Malam itu berdatangan satu persatu warga desa, diantaranya Pak Habel dan Ibu Elsye Kahania (54) yang merupakan kader Kesehatan PNPM Peduli, serta Pak Alfius (40) kader pendidikan dan Oktavianus, kader kesempatan berusaha.
Habel adalah laki-laki yang senang mengerjakan tugas yang biasanya dilakoni perempuan, yaitu sebagai dukun bayi. “Kelihatannya saya ini lak-laki, tapi jiwa saya adalah perempuan,” ujar Habel yang saat itu suasana masih remang-remang cahaya lilin. Habel mengaku, kemampuannya dalam mengobati orang sakit sudah terberi atau bakat alami. Ia biasanya mengandalkan ramuan herbal dalam pengobatan dan disertai doa dari Yang Maha Kuasa. “Saya pernah mengobati orang yang tangannya tertusuk parang, darah muncrat membasahi tubuh orang itu. Saya pegang dan bacakan doa, syukur karena darahnya tiba-tiba berhenti,” terang Habel.

Di Lawe, Habel dikenal sebagai dukun ‘sakti’, ia punya metode tersendiri untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu. Pertama-tama ia mengusap perut ibu dengan ramuan khusus, lalu dibacakan mantra, tak lama kemudian sang bayi dengan mudah keluar dari jabang ibunya. “doa-nya menggunakan bahasa Kaili, yang kalau diartikan kurang lebih : putar-putar kesana kemari, pasti akan keluar juga,” ucapnya disertai senyum simpul. Habel membocorkan salah lagi rahasianya, katanya jika ada anak lahir yang pada hari Jumat, tali pusarnya diiris dan disimpan. Kalau anak itu demam, tali pusar itu bisa membantu untuk menyembuhkan si anak. Dalam enam bulan ini, Habel dengan setia membantu Dukun Elsye dalam persalinan. Maklum, di Lawe tidak ada bidan, pun bidan datang tiga bulan sekali, biasanya hanya untuk sosialisasi Keluarga Berencana (KB).
Dukun Elsye Kahania adalah lokomotif kesehatan di Lawe. Ia pun direkrut sebagai kader kesehatan dalam program PNPM Peduli. Umurnya sudah 54 tahun, dan ia sudah mengabdikan diri sebagai dukun bayi sejak 21 tahun yang lalu. Sepanjang perjalanan kariernya sebagai dukun, baru dalam enam bulan ini ia mendapat apresiasi pihak luar dan mendapat bantuan alat-alat persalinan. “Sejak ada bantuan PNPM, kita tidak perlu lagi ke Koja (desa tempat beradanya Pustu). Kita sudah tidak ragu lagi menangani persalinan, karena sudah dilatih dan dilengkapi dengan peralatan,” ucapnya lirih.

Masuknya program ‘PNPM Peduli’ sangat berarti bagi Elsye. Ia merasakannya sejak membantu proses persalinan Piniel (21) beberapa bulan lalu. “Ibu hamil sudah tidak rewel lagi, lukanya kita bersihkan menggunakan betadin dan refanol (bantuan PNPM Peduli), dua malam ibu itu sudah bisa berjalan. Dulu tidak diobati dan sembuhnya lama,” ungkap Elsye. Waktu itu ia juga sudah menggunakan sarung tangan yang bersih dan gunting plasenta yang steril. Sebelumnya, Elsye menggunakan sarung tangan yang tak pernah diganti, guntingnya yang sudah kurang bagus, dan tidak pernah mengikuti pelatihan pesalinan aman.

***

Alfius (40), guru untuk anak-anak Desa Lawe. Kalau di Belitung ada Ibu Muslimah tokoh pendidikan Laskar Pelangi, maka di Lawe ada Alfius. Saat ini ia diangkat sebagai Kepala Sekolah dengan status guru honor untuk sekolah Dasar Bala Keselamatan, sekaligus kader pendidikan program PNPM Peduli untuk layanan Hak-hak dasar.

Pada tahun 2003 Alfius kembali ke Lawe. Saat itu ia cuti kerja di sebuah perusahaan pengeboran minyak di Samarinda untuk melihat keluarga dan kampung halamannyadi Lawe. Orang tua mulai sakit-sakitan dan menganjurkan untuk menikah, ia pun menikahi gadis Lawe bernama Serli. Sejak itu ia tidak kembali ke perusahaan dan mungkin selamanya akan menetap di Lawe. Salah satu alasan yang memperkuat tekadnya bertahan di Lawe yaitu melihat mirisnya kondisi pendidikan ‘anak bangsa’, yang setelah 67 tahun Indonesia merdeka, masih ada anak yang tidak sekolah. Menurutnya, kita ini kembali ke belakang, kondisi sebelum merdeka.

“Saya menyaksikan sekolah itu hanya menjadi sarang rumput dan kandang kuda,” lirihnya. Selama dua tahun, pada 2001 – 2003, pendidikan di Lawe mandek, sebanyak tiga generasi otomatis tidak menikmati pendidikan. “Saya berfikir, kalau saya punya anak, sekolahnya nanti dimana?” Pertanyaan inilah yang menjadi dasar perjuangan Alfius dalam memperjuangkan pendidikan di Lawe. ia kemudian menawarkan diri ke Dinas Pendidikan Kab. Sigi untuk mengabdi sebagai guru di sekolah Bala Keselamatan.

Tahun 2004, Alfius mulai membenahi sekolah. Ruangan dipenuhi rumput dan kotoran kuda. Dengan sigap ia mengumpulkan anak-anak se desa yang putus sekolah untuk membantu membersihkan sekolah. “Saat itu tak ada kapur sebiji pun, saya tugaskan anak-anak untuk mengumpulkan kapur satu orang sebiji. Untuk papan tulis kami cat mengunakan karbon dari baterai yang dipecahkan,” kenang Alfius. Saat itu masih ada dua buah bangku, tiga meja, dengan murid awal 30 orang, sehingga sebagian murid belajar dengan berdiri. Kemudian ia berembuk dengan warga untuk penyediaan bangku sekolah. Disepakati satu kepala keluarga satu bangku.

Masalah lain adalah buku, Alfius berangkat seorang diri untuk meminta permohonan pengadaan buku ke Dinas Pendidikan. ia pun membawa pulang segepok ‘ole-ole’ buku untuk anak-anak Lawe. Di dinas pendidikan Alfius kaget, ternyata di Dinas Pendidikan masih ada laporan bulanan sekolah yang terus dilaporkan oleh Kepala Sekolah (sebuah sekolah di Pipikoro). “saya turun balik ke Dinas Pendidikan untuk mengambil daftar hadir dan mencocokkan nama yang ada di daftar hadir milik kepala sekolah, ternyata namanya tidak cocok. Kesempatan berikutnya saya ajak kepala desa untuk meyakinkan Dinas. Akhirnya kepala sekolah itu diskorsing enam bulan, lalu diturunkan statusnya menjadi guru bantu di daerah lain,” celoteh Alfius.
Sekolah yang dipimpin Alfius bertahan hingga hari ini, sekarang memiliki murid sebanyak 89 orang. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan, tapi pihak yayasan sepertinya tutup mata terhadap keadaan sekolah ini. Alfius pernah menanyakan honornya pada pihak yayasan. “Kata pengurus yayasan, honor yang Rp. 90 ribu perbulan itu hanya boleh diambil di Palu. Saya bilang, ambil saja honor itu, biar saya saja yang urus sekolah di Lawe,” cetus Alfius. Bagaimana tidak, honor sebegitu kecil, perjalanan ke palu saja membutuhkan ongkos lebih dari seratus ribu rupiah. “tiap tahun yayasan ambil foto, tapi tetap tidak ada bantuan. Sepertinya surga ada di telinga saja”.

Berulang kali ia mendatangi DPRD Komisi C (bagian anggaran) di Kota Palu untuk memperjuangkan nasib sekolahnya. Ia memperlihatkan foto-foto sekolah, lalu mengusulkan untuk pendirian bangunan baru. Puji tuhan, Alfius memperoleh dana pembangunan sekolah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar RP. 127 juta. “Saya tak segan-segan mendatangi anggota dewan, karena saya tahu janji-janji mereka,” ujar Alfius. Saat itu, yang dianggarkan adalah rehabilitasi. Tapi ia menjelaskan kalau sekolah ini tidak ada pondasinya karena beralaskan tanah. Sehingga diizinkan untuk membuat bangunan baru. Kini, sekolah itu sementara dibangun, sekarang sudah tampak pondasi semennya. Saya tidak membayangkan, bagaimana pasir dan semen itu bisa didatangkan ke Desa lawe, negeri di pinggir awan ini.

Kini Alfius ditemani Warens Cristopher mengajar di sekolah. Warens adalah mantan muridnya yang sudah tamat sekolah menengah atas. Mereka berdua rencananya akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, dengan mengambil sekolah jarak jauh. Sejak sekolah ini dipimpin Alfius, murid-murid sekolah ini dari tahun ke tahun lulus seratus persen, walau pelaksanaan ujiannya di daerah lain, yaitu di Onu. Dan seorang muridnya yang bernama Adrianto (13 tahun, sekarang sudah tamat SD) pernah menyabet juara satu lomba matematika se Pipikoro.

Sejak lima bulan lalu, Alfius turut mengabdikan diri sebagai kader pendidikan di program PNPM Peduli. Ia mengajar anak yang putus sekolah dan lebih banyak orang dewasa mengenai pengetahuan dasar, yaitu membaca, menulis dan menghitung. Kini ia memiliki murid informal sebanyak 18 orang. alfius mendatangi rumah murid-muridnya, dengan pola jemput bola. Misalnya ada ibu rumah tangga memasak di dapur, ia mengajari ibu itu hitung-menghitung sesuai bahan dapur yang ada. “untuk orang dewasa, kami menerapkan sistem pembelajaran melalui diskusi. Mereka bukan lagi anak-anak yang harus dipaksa, kita memasuki mereka saat ada waktu luang serta menghargai diri mereka,” tambah Alfius.

Alfius bertubuh kecil, tapi sesungguhnya ia orang besar, tersembunyi di pinggir-pinggir gunung, “Saya akan mengabdikan diri untuk pendidikan Lawe hingga liang lahat!” gemanya garang.

***

Sehabis makan malam yang sedikit telat, Alfius, Oktavianus, dan Elsye izin pulang. Beberapa dari kami melanjutkan cerita dengan ditemani ‘Saguer/arak’ hingga tengah malam. Baru kali itu saya merasakan nikmatnya Saguer, serasa ‘tape’ (permentasi beras) yang sudah lama disimpan. Kantuk menghampiri, kami pun terlelap dengan dibalut selimut. Saguer cukup menghangatkan badan malam itu.

Minggu pagi (27/05), saya dan Subarkah meluangkan waktu menikmati pagi dengan berjalan-jalan di sekitar desa. tampak warga desa beramai-ramai ke gereja. Di kejauhan, saya menikmati kidung jemaat itu, turut merasakan kebebasan, gelora menghadap tuhan, sebuah rasa penghapus derita. Entahlah, mungkin hanya saya saja yang merasakan begitu. Barangkali mereka menikmati, atau sengaja menikmati.

Kami balik ke Gimpu dengan menumpangi ojek yang kami sewa sejak di Lonebasa sehari sebelumnya. Mata saya segarkan dengan pemandangan hijau pegunungan. Saya tak yakin bisa kembali lagi ke sana. Saya hanya berharap, pemerintah, LSM, dan pihak lainnya turut berbagi pada Komunitas Pipikoro. Pipikoro, barangkali boleh disebut sebagai negeri, negeri di dalam negeri yang sejahtera bernama Indonesia. Negeri di Pinggir awan, sebuah negeri yang terpinggirkan.

Idham Malik, 7 Juni 2012
Sulawesi Community Foundation

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content