Mengintip Program PNPM Peduli di Pipikoro

PIPIKORO adalah nama salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Kabupaten Sigi sendiri, merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala. Kecamatan Pipikoro adalah sebuah wilayah terisolir di atas pegunungan. Dari Kecamatan Kulawi Selatan, butuh perjalanan hingga 3 jam perjalanan sepeda motor untuk mencapai desa terdekat di Pipikoro.

Akses menuju kecamatan paling ujung di Sigi ini hanya berupa jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor yang memang telah didesain melewati jalanan pegunungan. Pada musim penghujan, perjalanan akan menjadi sangat sulit, karena jalanan akan menjadi licin atau berlumpur.

Masyarakat Pipikoro mencari mata pencaharian dengan bertani. Mereka menanam kopi, kakao dan jagung. Karena sulitnya akses, masyarakat menjual sendiri hasil pertanian mereka ke Kulawi Selatan dengan menggunakan sepeda motor. Aktivitas lainnya adalah beternak babi.

Di Kecamatan Pipikoro, terdapat 3 desa yang sejak tahun 2011 lalu mendapatkan bantuan program PNPM Peduli. Ketiga desa tersebut yakni Porolea, Lonebasa, dan Lawe. Di ketiga desa tersebut, PNPM Peduli membuat program pemenuhan Hak-Hak Dasar warga, yakni pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berwirausaha (ekonomi). Kini, setelah program berjalan, ketiga desa tersebut mulai merasakan manfaat program PNPM Peduli, yang dapat dinilai dari meningkatnya kesempatan masyarakat desa untuk mengakses HHD.

Sulawesi Community Foundation

Akses jalan Ke Pipikoro

Desa Porolea
Desa Porolea dihuni oleh 242 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sebanyak 1.112 jiwa. Dibandingkan desa lainnya di Kecamatan Pipikoro, Desa Porolea boleh dibilang telah mendapatkan banyak kemajuan. Desa ini tertata dengan rapi, dan jalan beton telah dibuat di sepanjang jalan desa. Di bawah pimpinan Kepala Desa Bapak Abednego Dedi, penduduk desa ini bisa hidup dengan harmonis dan rukun.

Dalam penyelesaian masalah desa, kepala desa senantiasa melibatkan warga untuk bermusyawarah. Ketika ada permasalahan, warga diundang untuk datang ke rumah kepala desa untuk berembug bersama. Warga perempuan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Seluruh penduduk di Desa Porolea bekerja sebagai petani. Mereka menggarap lahan yang ditanami kopi dan kakao. Di desa ini, tanaman kopi dan kakao tumbuh dengan subur dan menjadi sumber utama mata pencaharian warga.
Saat ini, salah satu yang dikeluhkan oleh warga Porolea adalah belum adanya tenaga kesehatan yang ditempatkan di desa ini. Jika ada warga yang sakit dan sangat membutuhkan bantuan tenaga medis, mereka harus dibawa ke Gimpu untuk mendapatkan pengobatan. Namun jika yang sakit tak sanggup lagi pergi jauh, terpaksa warga yang menjemput tenaga medis dengan resiko harus membayar lebih mahal. Sementara itu, warga/ibu yang melahirkan terpaksa hanya mendapat bantuan dari dukun beranak.

Melalui program PNPM Peduli, dukun beranak yang terdapat di desa ini mendapat pelatihan untuk kemampuan menolong masyarakat. PNMP Peduli juga memberi bantuan berupa obat-obatan dan bantuan perlengkapan persalinan. Jika sebelumnya dukun beranak hanya menolong dengan perlengkapan seadanya dan obat-obatan tradisioanl, mereka kini bisa menggunakan alkohol dan betadine.

Dari segi pendidikan, PNPM Peduli membantu agar semua anak usia sekolah bisa mendapatkan pendidikan dengan membuka sanggar pendidikan. Sanggar ini digunakan anak-anak untuk belajar setiap 2 hari dalam seminggu atas bimbingan dari kader pendidikan. Sanggar ini menjadi sangat penting karena di sekolah formal, jadwal belajar anak-anat tidak tetap karena keterbatasan jumlah guru.

Di Porolea guru yang berstatus Pengawai Negeri Swasta hanya 2 orang saja, yang juga sekaligus berperan sebagai kepala sekolah. Guru lainnya adalah warga setempat yang berstatus tenaga honorer. Salah satu guru honorer di Desa Porolea adalah Ibu Nona, yang juga istri kepala desa, yang juga merupakan salah seorang kader pendidikan.
Di bidang wirausaha, melalui program PNPM Peduli, warga didorong untuk mengembangkan industri kopi bubuk. Saat ini Desa Porolea telah memiliki 1 unit mesin penggiling kopi. Warga Porolea pun sepakat untuk mengumpulkan produksi kopi, untuk selanjutnya diolah menjadi kopi bubuk.

Jika dijual dalam bentuk kopi bubuk, keuntungan yang diperoleh warga akan lebih tinggi. Setiap kilogram kopi biji kering biasanya dijual seharga Rp 17 ribu. Namun jika dijual dalam bentuk kopi bubuk, harganya akan meningkat menjadi Rp 36 ribu per kilogram. Dalam hal pemasaran, masyarakat akan dibantu oleh Perkumpulan Karsa melalui fasilitator. Ke depan, produksi kopi bubuk dari desa ini akan dipasarkan secara luas di Palu.
Selain itu, untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi, warga juga diberi penyuluhan mengenai teknik pemeliharaan dan pemangkasan tanaman kopi.

Desa Lawe
Desa Lawe merupakan desa penghujung dan terjauh di atas puncak Pipikoro. Desa ini dihuni oleh sebanyak 293 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa sebanyak 579. Sama halnya dengan Desa Porolea, pemenuhan HHD warga belum tercapai di desa ini. Masuknya program PNPM Peduli benar-benar dirasakan manfaatnya oleh warga desa ini.
Desa Lawe saat ini memiliki sanggar belajar atas bantuan dari program PNPM Peduli. Dari total jumlah penduduk Desa Lawe, sebanyak 35 orang terdeteksi masih buta aksara. Di sanggar, warga yang masih buta huruf dikumpulkan dan diajarkan baca tulis.

Namun, aktifitas warga di kebun kadang membuat proses belajar menjadi terhambat. Pada umumnya warga lebih banyak menghabiskan waktu di kebun setiap hari sehingga tidak ada waktu untuk belajar.
Untuk mengatasi hal ini, kader pendidikan punya kiat tersendiri. Kader pendidikan mendatangi warga, dan membuat kelompok belajar di kebun. Dengan demikian, warga bisa tetap belajar tanpa mengganggu pekerjaan mereka. Setiap kelompok belajar biasanya berjumlah hingga 25 orang.

Salah satu kader pendidikan di Desa Lawe adalah Octavianus, yang juga bekerja sebagai guru honorer di SD Lawe. Octavianus sangat berperan dalam mengajak warga Lawe agar tetap bersemangat belajar baca tulis. “Saya ingin semua warga di sini bisa baca tulis,” ucapnya.

Kegiatan belajar di sanggar

Kegiatan belajar di sanggar

Di bidang kesehatan, di Desa Lawe terdapat 1 orang bidan yang biasanya datang sekali sebulan, yakni Bidan Nelvian. Namun karena akses yang terbatas, juga karena sedang proses melanjutkan pendidikan di kota Palu, Bidan Nelvian tidak lagi bisa rutin datang ke Desa Lawe.

Peranan Bidan Nelvian di desa tersebut digantikan oleh Ibu Elsye, seorang dukun beranak. Ibu Elsye, yang juga menjadi salah seorang kader kesehatan, sangat berperan dalam membantu warga terutama ketika ada yang melahirkan. Tidak hanya di Desa Lawe saja, ibu Elsye juga kadang diundang ke desa lain, seperti Desa Lonebasa yang bertetangga langsung dengan Lawe. Setiap kali membantu proses persalinan, ibu Elsye kadang mendapatkan imbalan sebesar Rp. 20 ribu, namun kadangkala jasanya hanya dibalas dengan ucapan terima kasih.

Dalam menjalankan tugasnya, Ibu Elsye menggunakan 2 jenis obat-obatan untuk membantu pasien, yakni alkohol dan betadine. Ia juga menggunakan sarung tangan khusus untuk membantu proses persalinan yang diperoleh melalui bantuan PNPM Peduli.

Ibu Elsye, sebelumnya melalui program PNPM Peduli pula, telah mendapatkan pelatihan dan training dalam hal membantu proses persalinan. Di Desa Lawe dan desa sekitarnya, kemampuan ibu Elsye sudah tidak diragukan lagi. Ia pun mengaku senang menjalani aktifitasnya tersebut. “Saya senang bisa membantu warga yang melahirkan,” katanya. Sepanjang tahun 2013, telah 7 orang ibu melahirkan yang dibantu ibu Elsye.

Di bidang wirausaha, Desa Lawe mengembangkan usaha perbengkelan. Usaha perbengkelan ini menjadi sangat penting mengingat sepeda motor adalah alat transportasi utama di desa ini. Sejak adanya bengkel, warga tidak perlu lagi pergi jauh jika ada sepeda motor yang mengalami kerusakan.

Desa Lonebasa
Desa Lonebasa berjarak sekitar 2 kilometer dari Desa Lawe. Sama seperti di kedua desa lainnya, di desa ini warga bermatapencaharian sebagai petani jagung, kopi dan kakao. Penghasilan sampingan adalah beternak babi.

Untuk memenuhi kebutuhan HHD masyarakat desa ini, melalui program PNPM Peduli pada tahun 2013, dibentuk sanggar belajar. Di sanggar tersebut, warga belajar baca tulis sekaligus menjadi tempat penyuluhan kesehatan. Di sanggar, warga biasanya diberi pengetahuan tentang kebersihan, kesehatan ibu dan anak, dan pengetahuan tentang persalinan.

Di bidang kesehatan, terdapat 8 orang kader yang membantu bidan dalam menjalankan tugasnya. Biasanya, tugas para kader ini adalah memberikan pengumuman kepada warga setiap jadwal penimbangan balita tiba. Pengumuman biasanya dilaksanakan di gereja. Saat ini jumlah balita di Lonebasa yang rutin mengikuti penimbangan berat badan mencapai 70 orang.

Dalam di bidang Pendidikan, warga relatif antusias dalam mengikuti program belajar yang diselenggarakan di sanggar. Di desa ini terdapat 1 orang kader pendidikan yang paling aktif dalam mengajar warga, yakni Pak Octavianus. Perkembangan terakhir, warga yang buta huruf di Desa Lonebasa yang tersisa tinggal 3 orang saja, dari jumlah sebelum adanya program PNPM Peduli sebanyak 30 orang.

Anak-anak sekolah di Lonebasa

Anak-anak sekolah di Lonebasa

Antusiasme peserta sanggar belajar juga mendorong mereka untuk memiliki ijasah tersendiri. Ijasah tersebut, bagi mereka adalah sebuah kebanggaan tersendiri yang menandakan mereka sudah bisa baca tulis. “Warga ingin punya bukti bahwa mereka sudah bisa baca tulis,” jelas Pak Octavianus. Namun, hingga saat ini permintaan tersebut belum bisa dipenuhi.

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content