“Kalau harus seperti itu, lebih baik perusahaan ini saya tutup saja!” ungkap Ir Khaerusy Syukri pemilik UD. Sumber Jati.
Ungkapan itu terlontar tak lama setelah Syukri mengantarkan pesanan lemari di Bantaeng. Seharian tadi, ia mengurusi banyak hal. Mulai dari pembelian bahan baku kayu, mengontrol kualitas produk, mengantarkan barang pesanan, dan berurusan dengan bank.
Usaha meubel yang dirintis sejak 2006 ini berada di tepi jalan, tidak jauh dari pusat kota Kab. Bulukumba, tepatnya di Ela-ela Kelurahan Kalumeme. Tampak depan, terlihat tumpukan kayu menghiasi halaman pabrik, sebagian bersandar ke dinding, yang lain dibiarkan berserakan. Di balik jejeran kayu, tiga tukang sementara membuat rangka pesanan meubel. Berdiri di atas serbuk gergajian.
Dua bulan terakhir ini kesibukan Pak Andi Syukri bertambah, lantaran harus mempelajari system verifikasi legalitas kayu (SVLK). “Saya mau sekali menerapkan system ini, tapi bapak lihat sendiri kondisi saya seperti ini setiap hari, pergi pagi pulang malam,” keluh Sukri.
Menurutnya, sistim ini membutuhkan pengawalan, sehingga harus ada staf dari perusahaan yang paham SVLK. Harus ada manajemen representative (MR) yang melakukan usaha perbaikan di unit manajemen. MR inilah yang mesti memahami SVLK.
***
Terdapat beberapa prinsip dalam penerapan SVLK, pertama, legalitas perusahaan seperti SITU, SIUP, NPWP, akta pendirian, dokumen lingkungan, izin lain menyangkut legalitas. Kedua, pemakaian bahan baku kayu harus dapat tertelusuri asal usulnya. Unit manajemen harus melakukan pencatatan internal terkait dokumen kayu. Setiap pembelian kayu dari industri primer harus dilampiri nota.
Jika UM membeli kayu langsung dari petani/pemilik kayu, lalu mengangkut sendiri ke tempat penggergajian kayu (sawmill), setelah dipotong-potong kayu itu diangkut sedikit demi sedikit ke pabrik/industry meubel. Dengan model pembelian kayu seperti ini apakah tidak melanggar aturan penatausahaan kayu? Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bulukumba harus melakukan sosialisasi terkait perdagangan kayu lokal kepada para pedagang kayu.
Prinsip ketiga yang harus dipahami manajemen representatif dan pemilik perusahaan yaitu pemindahtanganan produk yang dibuat oleh industri meubel. Produk yang sudah berbentuk lemari, kursi, dan perabot lainnya harus dapat dibuktikan keabsahan pemindahtanganannya. Jika hal ini dilakukan, maka produk industri berupa lemari itu akan dapat dikenali dengan melihat bukti pembeliannya. Juga akan dengan mudah melacak bahwa lemari yang kita beli berasal dari Kabupaten Bulukumba, bahan bakunya dari Desa Kajang. Informasi lemari tersebut dapat segera diperoleh dengan menelusuri ke belakang, bahkan bisa dilacak hingga ke lokasi tebang.
Menarik bukan? Bayangkan, Anda duduk di kursi atau berada di ruangan yang kemudian tahu bahwa kayu yang dipakai ini berasal dari Desa Kajang Kab. Bulukumba dan diperoleh secara sah. Kalau kita rasakan kondisi ini, maka produk yang kita gunakan akan menjadi barang yang sangat berharga dan pasti akan kita pelihara. Dengan kondisi industri yang serba kekurangan, mungkinkah SVLK diterapkan?
Saya yakin hampir di semua industri kecil kondisinya sama. Manajemen pas-pasan, modal kecil, staf terbatas atau bahkan tidak ada. Menanggapi itu, peran pemerintah terutama instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perdagangan, Kantor Lingkungan Hidup seperti apa? Instansi tersebut harus berperan aktif dalam memudahkan industri kecil seperti UD. Sumber Jati di Kab. Bulukumba dalam mendapatkan perizinan, pembinaan manajemen perusahaan, informasi ketenagakerjaan, dsb.
Prinsip keempat terkait dengan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Mampukah industri mengikuti aturan K3? Sementara industri selalu berpikiran bisnis, yaitu mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karyawan perusahaan juga selalu berkeinginan untuk mendapatkan penghasilan setinggi-tingginya, tapi dengan tenaga yang sedikit. Peraturan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) ini apakah sudah disosialisasikan oleh instansi? Melihat kondisi industri dengan alat kesehatan dan keselamatan kerja yang seadanya, mengamplas kayu dengan masker berupa baju kaos, mengecat di ruang terbuka, tidak terlihat alat pemadam kebakaran, jaminan sosial tenaga kerja tidak ada, standar penggajian karyawan disesuaikan dengan kondisi keuangan perusahaan. Silahkan menilai, kira-kira aturan K3 sudah tersosialisasi apa belum. Paling tidak, ada persyaratan minimal terkait ketenagakerjaan yang bisa diterapkan oleh industri kecil.
Praktis pemilik perusahaan harus bekerja keras mengatasi berbagai persoalan, baik itu penyediaan bahan baku, sekaligus bertanggungjawab menghidupi dan menjaga kestabilan perusahaan. Sosialisasi implementasi SVLK dengan kondisi industri seperti ini memberi kesan dipaksakan. Pemilik UD. Sumber Jati sudah mencoba mempersyaratkan kepada penyalur kayunya untuk melampirkan dokumen kayu sesuai persyaratan penatausahaan kayu. Para penyalur lebih memilih menjual kayu ke tempat lain jika syarat tersebut harus mereka penuhi.
Selain itu, pembelian kayu UD. Sumber Jati berasal dari seputaran Kabupaten Bulukumba dengan jumlah kecil, terkadang setengah kubik, seperempat kubik, satu kubik. Jika setiap satu kubik harus menggunakan dokumen SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) dengan biaya tertentu, produknya mau dijual berapa? Sementara buyernya adalah orang lokal yang kelas menengah ke bawah. Bagaimana dengan kredit yang harus dibayarkan setiap bulan ke bank, bagaimana menafkahi 30 orang karyawan setiap hari, setiap minggu, bagaimana memelihara peralatan dan kendaraaan, dan sebagainya.
Penulis : Emil Sinohadji (Pendamping IKM)
Editor : Idham Malik (Sulawesi Cummunity Foundation)