Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), pagi itu, sudah hiruk pikuk. Seorang lelaki dengan badan tegap mengenakan sarung hijau, baju batik, dan berpeci hitam melangkah canggung menuju lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Lelaki itu bernama Pak Rusli, masyarakat adat baru dari Desa Bonto Manurung, Kabupaten Maros yang terbiasa dengan heningnya desa pegunungan. Namun, di antara keceriaan para mahasiswa, dia ingin menyampaikan suara yang tegas. Keresahan yang jarang terdengar: keresahan masyarakat adat terhadap lingkungan yang semakin tak bersahabat.
Pak Rusli menghadiri acara talk show ; Masyarakat Adat di Tengah Krisis Lingkungan; Tantangan, Adaptasi dan Harapan bersama Prof. Dr. Sri Warjiyati, M.H sebagai pakar hukum adat dari UINSA, Melya Findi Astuti sebagai Communication Officer dari Kemitraan. Talk Show ini diinisiasi oleh kolaborasi antara Kemitraan dan FISIP UINSA Surabaya. Di ruangan lobi FISIP yang dipenuhi mahasiswa dan para akademisi UINSA yang berprinsip kuat untuk terus berkontribusi di dalam dinamika masyarakat adat, ia menjadi satu-satunya pembicara yang diundang secara terhormat. “Saya sangat berterima kasih bisa hadir di tengah-tengah bapak-ibu sekalian,” ucap Pak Rusli dengan senyum yang canggung.
Di hadapan para mahasiswa, meski rasa canggung tak mampu Pak Rusli tutupi dari tatapan yang sayu, ia masih bisa menyampaikan pesan yang mendalam. “Lingkungan tempat kami tumbuh, bukan peluang untuk diperjual belikan. Itu adalah kehidupan kami. Kami di desa tidak melihat lingkungan kami sebagai sesuatu yang bisa diambil dengan serakah, tapi sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan.” Kalimat ini disampaikan dengan penuh penghayatan, hingga membuat para mahasiswa bersimpati, menyadari betapa berbeda cara pandang masyarakat adat terhadap lingkungannya dibandingkan pandangan industri modern yang mengedepankan eksploitasi.
Pak Rusli bukan ahli lingkungan yang memiliki status akademik, namun dia berhasil mengangkat pesan penting yang kerap diabaikan dalam diskusi besar tentang krisis lingkungan. Baginya, solusi atas krisis lingkungan bukan hanya terletak pada kebijakan atau teknologi, tetapi juga pada pelestarian semangat gotong royong dari para pihak dan perubahan cara pandang terhadap lingkungan. “Saya berharap kita semua, termasuk mahasiswa, bisa melihat lingkungan seperti kami melihatnya. Bagi kami, lingkungan harus dilestarikan dengan penuh rasa hormat, dan menerima hasil darinya dengan tenggang rasa dan serba cukup,” ucapnya dengan tatapan yang tegas. Dalam ketakzimannya, Pak Rusli mengingatkan kepada para mahasiswa tentang nilai ‘kecukupan’ yang jarang disadari di zaman modern yang kerap kali menggerakkan kehidupan lewat keserakahan.
Penampilan Pak Rusli yang sederhana dengan sarung dan peci bergabung dengan layak di antara semangat para mahasiswa yang menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah—sebuah inisiatif yang meningkatkan kepercayaan diri Pak Rusli sebagai masyarakat adat. Di satu sisi, Pak Rusli tampak sumringah melihat semangat ‘kebhinnekaan’ yang diusung oleh para mahasiswa FISIP. Namun di sisi lain, ada kecemasan dalam diri Pak Rusli yang tergambar dari wajahnya yang menatap lamat-lamat, “Saya khawatir terlihat kurang pantas di sini, hanya memakai apa yang saya punya,” ujarnya dengan rendah hati. Namun, sekali lagi, rasa cemas itu terhapus oleh senyuman dan sambutan hangat dari para mahasiswa yang menghargai kehadiran Pak Rusli.
Sering kali dalam persoalan kesetaraan, masyarakat adat kesulitan menyuarakan keresahan dan ketidakadilan yang mereka dapatkan, disebabkan terkurasnya kepercayaan diri mereka selama bertahun-tahun oleh akses layanan kebijakan yang tak adil yang membuat mereka terpinggirkan.
Acara talk show yang dilaksanakan dengan semangat gotong royong para mahasiswa menjadi titik balik bagi Pak Rusli. Di tengah keraguan akan penampilannya, ia mendapatkan inspirasi baru. Antusiasme para mahasiswa dan perhatian yang mereka tunjukkan memberinya dorongan untuk terus menyuarakan kepentingan masyarakat adat dan lingkungan yang mereka jaga. “Saya jadi lebih percaya diri. Saya akan kembali ke desa dengan semangat baru,” kata Pak Rusli sambil menghela nafas lega setelah acara selesai.
Krisis lingkungan yang dihadapi masyarakat adat bukan hanya tentang perubahan iklim atau degradasi lingkungan hutan, tetapi juga soal suara mereka yang sering kali diabaikan. Bagi Pak Rusli, kehadirannya di acara talk show bersama keluarga besar akademika FISIP UINSA ini bukan hanya soal berbicara, melainkan tentang memperjuangkan nilai-nilai hidup yang sudah dijaga turun-temurun oleh komunitasnya. Nilai-nilai yang dari jauh terkesan sederhana, tetapi justru memberikan satu harapan, mungkin hanya satu-satunya, di tengah ketidakpastian lingkungan yang semakin kacau.
Selepas acara talk show, Pak Rusli akan kembali ke desanya, di Desa Bonto Manurung, dengan membawa lebih dari sekadar cerita tentang Kota Surabaya dan kemegahan UINSA. Pak Rusli pulang dengan kado keyakinan bahwa suara masyarakat adat harus terus berpekik. Dan, bahwa harapan untuk kolaborasi dengan generasi muda dan pihak-pihak lain harus terus tumbuh subur.
Lingkungan bukan hanya milik satu kelompok, tetapi milik semua makhluk hidup yang saling bergantung. Dan di sanalah letak harapan itu—dalam gotong royong tanpa memandang sekat latar belakang. Setara dalam keberagaman, seperti itulah yang diimpikan oleh Pak Rusli.