Malam itu di tepi Sungai Likubassi, udara terasa dingin. Di bawah cahaya lampu, sekelompok pemuda duduk melingkar. Sebagian memegang gelas kopi di tangannya, sebagian lain bersandar pada batu besar di pinggir sungai. Percakapan mengalir, diselingi tawa, sesekali serius. Biasanya saat suasana seperti ini, mereka mengobrol tentang sepak bola atau menyanyikan beberapa lagu tanpa peduli suaranya bagus atau tidak–setiap suara diterima di tongkrongan ini. Tapi, obrolan kali ini berbeda. Mereka sedang membicarakan masa depan ekonomi desa.
Diskusi ini lahir dari keresahan bersama. Sebagian besar lahan di desa mereka sudah digarap, sementara kesempatan kerja di luar desa tidak selalu ramah bagi pemuda adat. Banyak pemuda Kaluppini merasa lapangan kerja semakin sempit. “Kita tidak bisa terus begini. Harus ada usaha yang bisa bikin kita bertahan di kampung sendiri,” ujar seorang pemuda bernama Ardi, memecah keheningan malam.

Sawah di Desa Kaluppini yang baru ditanam (Sumber: Arif)
Satu ide muncul: budidaya cabai salo dua. Jenis cabai ini sudah dikenal di Kaluppini sebagai varietas lokal dengan cita rasa pedas dan harga yang relatif stabil. “Cabai ini tidak butuh lahan luas. Kita bisa tanam di pekarangan atau di lahan kecil. Tapi kalau dikelola bersama, hasilnya bisa besar,” jelas salah satu pemuda lain, Yusuf, sambil menyalakan rokoknya. Semua memberi dukungan atas ide itu.
Malam itu, cabai bukan hanya soal tanaman, tapi simbol harapan baru. Mereka melihatnya sebagai peluang ekonomi yang tidak akan merusak hutan adat. Sebaliknya, cabai bisa ditanam di lahan yang sudah ada tanpa harus membuka hutan baru. Kesadaran ini menunjukkan adanya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab menjaga lingkungan.
Para pemuda juga menyepakati beberapa hal: waktu menanam cabai bersama, berbagi bibit, dan belajar cara perawatan yang lebih baik. Mereka juga membicarakan kemungkinan membuat kelompok tani pemuda agar lebih terorganisir. “Kalau kita bisa kompak, hasilnya bisa lebih besar. Kita bisa jual ke pasar Enrekang, bahkan ke luar,” kata Jamal yang disambut tepukan tangan.

Bibit cabai salo dua yang nantinya akan ditanam oleh masyarakat Kaluppini (sumber: Muslimin)
Mereka juga membicarakan rencana jangka menengah. Mereka ingin menghidupkan kembali tradisi beternak sesuai tradisi adat. Ada juga rencana menanam pohon buah seperti alpukat dan jeruk manis.
Rencana-rencana itu bukan hanya soal uang, tapi juga menjaga warisan leluhur. Mereka ingin menunjukkan bahwa meningkatkan kehidupan perekonomian, tidak harus mengorbankan adat yang berlaku. Keduanya bisa berjalan beriringan lewat negosiasi dan mengembangkan kebudayaan yang selama ini telah dimiliki warga Kaluppini.
Saat ini, pemuda di Kaluppini telah banyak dilibatkan dalam diskusi ekonomi desa. Kaum muda duduk bersama para orang tua dan jajaran adat, berkolaborasi, dan memusyawarahkan arah masa depan desa. Ini menunjukkan partsipasi kaum muda Kaluppini yang aktif dan bermakna. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau pikirkan masa depan kampung?” kata Ardi. Pertanyaan itu seolah menjadi penegasan bahwa generasi muda tidak ingin lagi berada di pinggir, melainkan ikut menata arah perubahan masyarakat adat Kaluppini.
Dalam perspektif GEDSI, inisiatif ini penting. Masyarakat adat haruslah berperan dalam pembangunan. Selama ini, akibat stigma lama yang muncul, suara masyarakat adat sering dianggap belum matang atau sekadar pelengkap dalam forum. Kata adat lebih sering dipandang tradisional, tertinggal kemajuan, dan perlu selalu disuapi. Padahal, masyarakat adat sama dengan kelompok masyarakat lainnya yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, mengenal teknologi, dan mandiri dengan pengetahuan yang mereka miliki. Kini mereka mulai mendobrak stigma itu. Mereka mulai memimpin diskusi, membuat kesepakatan, dan menyiapkan langkah nyata untuk membangun komunitasnya.
Saat diskusi malam itu berakhir, pemuda-pemuda Kaluppini pulang dengan semangat dan harapan baru. Sebelum bubar, Yusuf berkata lirih, “Kalau kita kompak, cabai ini bisa jadi jalan kita bertahan di kampung. Kita tidak perlu lagi pergi jauh cari kerja.” Ucapannya membuat yang lain terdiam sejenak, lalu mengangguk penuh keyakinan.
Malam itu, dari tepi Sungai Likubassi, harapan lahir. Desa bukan lagi pilihan terakhir atau alternatif, tapi ruang penghidupan berkelanjutan.
Penulis: Muslimin
Editor: Ma’ruf Nurhalis










