Tahun 2010 lalu merupakan yang pertama kalinya program HTR dicanangkan di Kabupaten Pinrang. Program tersebut diawali sosialisasi yang dilaksanakan oleh tim dari Sulawesi Community Foundation ((SCF) di Kantor Pemerintah Kabupaten Pinrang. Dalam sosialisasi tersebut, sejumlah stakeholder diundang, terutama yang berkaitan langsung dengan bidang Kehutanan.
Salah seorang yang hadir adalah Nawir, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Desa Massewae, salah satu desa yang berada di sekitar kawasan hutan. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh SCF tersebut, Nawir untuk pertama kalinya mendengar dan mengetahui tentang adanya program pengelolaan hutan bernama HTR.
Nawir menceritakan, jauh sebelum SCF memulai programnya di Kabupaten Pinrang, sudah banyak pihak dari luar yang berinisiatif mengelola kawasan hutan untuk kepentingan mereka sendiri. Ada yang berniat membuka lahan perkebunan sawit, dan ada pula yang konon hendak membagi-bagikan tanah dari dalam kawasan hutan tersebut.
Tak hanya itu, ada juga pihak yang sudah mengurus perizinan HTR ke Kantor Kementerian Kehutanan dan sempat mendirikan koperasi. Keterbatasan pengetahuan mengenai kehutanan membuat masyarakat mengabaikan saja. Waktu itu, masyarakat setempat belum mengerti bahwa kawasan hutan bisa dimanfaatkan oleh mereka.
Ketika SCF melakukan sosialisasi, Nawir baru mengerti bahwa pengelolaan hutan berbasis HTR ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, khususnya masyarakat yang dari segi pendapatan masuk dalam kategori miskin.
Pengetahuan baru tersebut, membuat Nawir segera mengambil tindakan. Ia ingin pengelolaan hutan benar-benar memberi manfaat peningkatan perekonomian masyarakat di desanya. Ia tidak ingin didahului oleh pihak-pihak luar yang berniat mengelola kawasan hutan untuk kepentingan sendiri.
Langkah pertama yang dilakukan Nawir adalah mengumpulkan petani di desanya dan membentuk koperasi. Koperasi tersebut diberi nama Buludewata. Nawir mengajukan usulan ke Dinas Kehutanan setempat dan membuat akta persetujuan ke notaris. Karena belum ada modal awal, pembentukan koperasi dilakukan secara swadaya.
Berbekal pengetahuan tentang HTR dari SCF dan hasil diskusi dengan Dinas Kehutanan, Koperasi Buludewata pun resmi berdiri pada tahun 2010. Setelah itu, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Nawir bersama pengurus koperasi lainnya adalah mengajukan proposal penerbitan izin HTR ke Bupati. Proposal tersebut dilampiri dengan data-data koperasi dan peta kawasan hutan.
Pada awal pengusulan, ia meminta izin pengelolahan kawasan seluas 600 hektare. Namun setelah tim dari Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produski (BP2HP) melakukan verifikasi di lapangan, izin yang dikeluarkan hanya untuk seluas 321 hektare. Dari total luasan tersebut, terdapat areal efektif dan areal tidak efektif. Yang hanya bisa ditanami dan yang diberi izin penebangan.
Pada awal pengurusan HTR, koperasi yang terbentuk bukan hanya Buludewata. Ketika itu, ada 4 unit koperasi lain yang dibentuk oleh pihak luar. Koperasi-koperasi tersebutlah yang kemudian bermasalah. Sebab awalnya, pengusaha yang mendirikan koperasi berpikir mereka bisa langsung menebang pohon begitu izin HTR dikeluarkan. Di satu sisi, mereka telah mengeluarkan modal hingga ratusan juta untuk mendirikan koperasi.
Sebenarnya, pengajuan izin pengelolaan HTR tidak mesti dilakukan oleh koperasi, melainkan bisa juga oleh perorangan. Namun menurut Nawir, pengelolaan HTR dengan metode koperasi lebih menguntungkan. Izin perorangan dinilai jauh lebih rumit. Disamping itu, angka kredit terbatas dan luasan maksimal yang bisa dikelola perorangan maksimal hanya 15 hektare.
Setelah berdirinya koperasi, hal selanjutnya yang dipikirkan oleh pengelola adalah bagaimana mendapatkan pinjaman dana dari Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan. Anggota koperasi Buludewata pun bernisiatif membuat proposal peminjaman dana dan mengirimkan ke Jakarta.
Namun meskipun proposal telah terkirim ke Jakarta, sejumlah anggota mengusulkan agar mereka tetap mengurus langsung ke kantor BLU. Karena rasa solidaritas bersama teman-teman sesama pengurus koperasi, Nawir akhrinya setuju. “Teman-teman bilang tidak enak rasanya kalau tidak berangkat semua,” katanya.
Ternyata, begitu tiba di Jakarta, staf di kantor BLU yang menerima mereka berkata bahwa, proposal seharusnya dikirim saja dan tidak perlu datang langsung. Akhirnya, perjalanan ke Jakarta yang niat awalnya mengurus pinjaman ke BLU, berubah menjadi kegiatan jalan-jalan saja.
Sebelum mengeluarkan keputusan menerima atau menolak pengajuan pinjaman tersebut, BLU melakukan verifikasi kelembagaan. Beberapa kriteria penilaian yang ditetapkan adalah keadaan koperasi, lokasi, pengurus, izin, peta dan lain sebagainya. Setelah proses verifikasi secara kelembagaan selesai, barulah tim verifikasi turun ke lapangan.
Setelah seluruh rangkaian proses verifikasi selesai dilaksanakan, BLU memutuskan untuk memberi pinjaman dana untuk kawasan seluas 163 hektare. Pinjaman tersebut menggunakan pola Rencana Kerja Tahunan (RKT) dengan jangka waktu 8 tahun.
Semenjak berdiri, Koperasi Buludewata telah menjalani 1 kali proses evaluasi. Demi menjaga kepercayaan tim verifikasi BLU, dan agar penyaluran dana pinjaman lancar, Nawir senantiasa berusaha untuk jujur mengenai kondisi koperasinya. “Lebih baik bicara apa adanya karena BLU punya hak menghentikan pinjaman jika hasil verifikasi tidak sesuai yang mereka inginkan,” ucapnya.
Hasil verifikasi dari tim BLU menyatakan Koperasi Buludewata masih memenuhi syarat untuk mendapat pinjaman secara berkelanjutan. Beberapa kriteria yang ditetapkan telah terpenuhi yakni, setiap tahun melakukan rapat anggota tahunan, ada simpanan pokok wajib anggotanya, dan ada proses simpan pinjam meski belum berjalan maksimal.
Usaha lain yang dijalankan oleh Koperasi Buludewata selain simpan pinjam adalah pembibitan. “Kami sudah melakukan pembibitan sebelum ada pinjaman BLU,” jelas Nawir. Proses pembibitan tersebut terlaksana atas bimbingan SCF yang mendatangkan dosen dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bibit yang paling banyak dikembangkan oleh koperasi adalah jati induksi, yakni jati lokal yang mendapat perlakukan khusus. Jenis tanaman ini dianggap bisa memberi keuntungan lebih besar bagi masyarakat. Nawir menjelaskan, jika biasanya jati lokal bari bisa dipanen ketika berumur 25 tahun, jati induksi hanya membutuhkan 8 tahun. Bahkan, dalam usia 6 bulan, ukuran jati induksi sudah bisa mencapai 4-5 meter.