Setelah menjalani proses pendampingan selama kurang lebih 4 bulan oleh Sulawesi Community Foundation (SCF), 5 kelompok Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) Kabupaten Luwu Timur menjalani proses audit yang berlangsung selama seminggu, 4-10 November. Tim audit yang ditunjuk oleh Mustistakeholder Forestry Programme (MFP) Kementerian Kehutanan, berasal dari PT SGS Indonesia berjumlah 3 orang, yakni Agus Susianto, Emil dan Syafri.
Proses pendampingan yang relatif singkat hingga bisa terbentuk 5 UMHR memberikan kebanggan tersendiri. Kelima kelompok tersebut masing-masing berada di Tomoni, Burau, Wotu, Ongkona dan Mangkutana. Awalnya, UMHR di Luwu Timur ditargetkan sebanyak 6 unit. Namun karena persoalan administrasi, yang bertahan hingga menjalani proses audit hanya sebanyak 5 unit.
Proses audit ini sendiri, dilakukan untuk menentukan apakah kelompok yang sudah terbentuk layak mendapatkan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Kementerian Kehutanan. SVLK telah diperkenalkan oleh Kemenhut sejak tahun 2009. Di Sulsel, SCF melalui program MFP ditunjuk sebagai pelaksana program dalam mensukseskan program SVLK tersebut.
Tim audit, Agus Susianto menuturkan, ada beberapa verifier yang ditetapkan untuk menentukan apakah sebuah kelompok UMHR benar-benar layak mendapatkan sertifikasi tersebut. Salah satu yang menjadi penilaian misalnya, bukti alas hak kepemilikan atas tanah yang menjadi lokasi Hutan Rakyat milik anggota kelompok. “Salah satu yang menjadi penilaian adalah apakah bukti yang dimiliki anggota kelompok bisa diakui oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk pengurusan alas titel,” papar Agus.
Agus menjelaskan, sebuah kelompok akan lolos proses audit jika BPN dapat mensahkan bahwa bukti kepemilikan dapat digunakan sebagai dasar mengurus sertifikat kepemilikan. Keputusan verifikasi akan dikeluarkan oleh tim auditor setelah 49 hari kalender pasca proses audit, dan pengumuman kelulusan akan dikeluarkan setelah 69 hari dari waktu audit. Jika lolos dalam proses audit, sertifikasi SVLK tersebut dapat digunakan oleh anggota kelompok selama 10 tahun ke depan, dan akan tetap menjalani proses surveilance setiap 2 tahun sekali.
Dengan sertifikasi SVLK tersebut, diharapkan masyarakat akan mendapat kemudahan dalam melakukan proses penjualan kayu-kayu mereka. Tidak hanya untuk penjualan lokal, melainkan juga untuk ekspor. Apalagi, pada September lalu, Kemenhut dan Uni Eropa telah menandatangani nota kesepahaman di Brussel-Belgia yang berisi bahwa, SVLK dapat diakui sebagai dokumen resmi asal-usul kayu untuk ekspor ke semua negara di Uni Eropa. Dengan adanya nota kesepahaman tersebut, eksportir bisa melakukan pengiriman hanya dengan dokumen SVLK.
Program Manager Forestry and Governance SCF, Anton Jana Sanjaya mengakui, waktu 4 bulan memang relatif singkat untuk membentuk kelompok UMHR sebanyak 5 unit. Namun, waktu yang singkat tersebut dijadikan sebagai tantangan oleh SCF. Berkat pendampingan yang dilakukan terus-menerus, kelompok UMHR bisa terbentuk meski awalnya banyak tantangan yang dihadapi. Bagaimanapun, memberikan pengertian kepada masyarakat untuk membentuk kelompok bukan hal mudah. Apalagi, untuk merekrut angota, setiap calon anggota diminta memperlihatkan dokumen bukti kepemilikan lahan. Hal ini yang terkadang menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat yang belum mengerti tentang program kehutanan dan SVLK.
Yang menggembirakan, pihak Pemerintah Daerah Lutim sangat terbuka dan menyambut baik kehadiran SCF dalam melakukan pendampingan kelompok Hutan Rakyat di sana. “Pihak Pemda, baik Bupati maupun Dinas Kehutanan sangat terbuka diajak bekerjasama, sehingga prosesnya berjalan lancar,” ungkap Anton.
Kepala Dinas Kehutanan Lutim, H Zainuddin yang akrab disapa Bang Jay pun mengiyakan pernyataan Anton. Bang Jay sadar betul, Lutim memiliki potensi yang cukup besar di bidang kehutanan. Tanah Lutim yang cukup subur memungkinkan pengembangan Hutan Rakyat untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Tapi Bang Jay tidak sekedar memerintahkan masyarakatnya menanam kayu, melainkan memberikan contoh. “Untuk bisa mengajak masyarakat, saya menanam duluan, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti,” jelasnya.
Bang Jay bahkan berkomitmen untuk menjadikan Kabupaten Lutim sebagai pusat pengembangan kayu rakyat di Sulsel. Hal ini sejalan dengan program Gubernur Syahrul Yasin Limpo yang menargetkan Sulsel sebagai provinsi pusat penghasil kayu yang berasal dari Hutan Rakyat, mengingat di Sulsel tidak ada lagi HPH.
Salah satu langkah yang dilakukan Bang Jay untuk membuktikan komitmen tersebut adalah dengan mengembangkan pusat pembibitan kayu di Lutim, yang dipusatkan di halaman Kantor Dinas Kehutanan. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan bibit kayu di Lutim sendiri, pusat pembibitan tersebut juga melayani permintaan dari kabupaten lain. Teknik promosi yang dilakukan Bang Jay sangat sederhana. Setiap melakukan pertemuan dengan stakeholder Kehutanan, ia selalu memperkenalkan pusat pembibitan yang dikelola Dishut tersebut. Jenis bibit yang dikembangkan bermacam-macam, seperti jabon, sengon, dan jati super.
Bentuk komitmen Bang Jay ini pulalah yang membuat para petani menjadi bersemangat membentuk kelompok. Meski awalnya tak dapat dipungkiri, pada awal SCF mendampingi dalam pembentukan kelompok, masyarakat masih kebingungan.
Bastian, yang menjadi ketua kelompok Mangkutana Alam Lestari di Kecamatan Mangkutana mengungkapkan, meski sudah dibekali pengetahuan tentang Hutan Rakyat dan SVLK melalui Training Pendampingan Hutan Rakyat yang diselenggarakan oleh SCF sebelumnya, ia tetap merasakan tantangan berat di awal pelaksanaan program ini. “Pada awalnya masyarakat belum paham tentang apa tujuan dari UMHR, jadi saya menjelaskan bahwa kelompok ini bertujuan agar usaha kayu kita dianggap legal,” jelasnya.
Bahkan pada awal proses merekrut anggota, Bastian mendapat banyak tentangan dari masyarakat. “Ada yang berpikir tanahnya mau diambil,” katanya. Apalagi, jika ia meminta mereka memperlihatkan sertifikat bukti kepemilikan lahan. Bahkan ada masyarakat yang menyatakan bisa menjual sendiri kayunya tanpa perlu menjadi anggota kelompok.
Ketua Kelompok Tomoni, Rhanty Sanda memberikan cerita lain. Ia terdorong untuk membentuk kelompok karena selama ini masyarakat kesulitan dalam penjualan kayu. “Jangankan menjual keluar, menebang kayu milik sendiri dan untuk digunakan sendiri pun, kadang ada pihak tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan,” katanya. Ketidaktahuan masyarakat tentang prosedur penebangan dan jual-beli kayu kadang dimanfaatkan pihak tidak bertanggungjawab untuk meminta pungutan dari masyarakat.
Yang unik dari Kelompok Tomoni, Rhanty Sanda adalah satu-satunya anggota perempuan. Anggota kelompok lainnya, rata-rata diwakili oleh kepala keluarga masing-masing. “Ketika rapat pembentukan kelompok, saya satu-satunya perempuan yang hadir, dan langsung ditunjuk sebagai ketua,” ujarnya. Menurut Rhanty, sebagian besar pemilik lahan di Tomoni adalah keluarganya. Hal ini yang membuat ia ditunjuk oleh kelompok lain sebagai ketua, karena dinilai punya akses luas untuk merekrut anggota lain.
Tim MFP, diwakili Ibu Laksmi Banowati yang mengikuti proses audit sebagai observer pun mengapresiasi semangat masyarakat Lutim dalam pembentukan UMHR. Laksmi, memberikan penjelasan kepada setiap kelompok mengenai pentingnya SVLK untuk membantu masyarakat dalam menjual kayu yang berasal dari Hutan Rakyat. Dalam proses audit tersebut, Laksmi menyatakan bahwa ia tidak bermaksud mengintervensi proses audit, melainkan untuk melihat saja apakah proses audit benar-benar berjalan sebagaimana mestinya. Tim audit kata dia, bekerja secara independen tanpa tekanan dari MFP. Laksmi berharap proses penilaian berjalan lancar dan semua kelompok bisa mendapatkan sertifikat SVLK. (anies)
No | Kelompok | Luas Lahan | Jumlah Anggota |
Mangkutana | 206 ha | 152 orang | |
Burau | 112,6 ha | 87 orang | |
Wotu | 151,676 ha | 118 orang | |
Tomoni | 135 ha | 80 orang | |
Angkona | 202 ha | 199 orang |