Pendidikan
Anak-anak belajar dikondisikan dengan keadaan kader. Karena di sini kader juga beraktivitas di kebun, sehingga mengajar ketika tidak ada kesibukan lain. pelaksanaan belajar mengajar tetap berjalan sebanyak dua kali seminggu. Siswa berjumlah 26 orang dan telah ada yang menampakkan hasil, karena anak-anak sudah banyak yang mahir merangkai huruf.
Aktivitas belajar awalnya dilakukan dua kali seminggu, namun pada bulan-bulan terakhir hanya dilakukan sekali sepekan. “Kendala di waktu, masyarakat banyak yang berkebun, belum lagi aktivitas mapalus. Anak-anak juga sering ke kebun. Untuk orang dewasa (di atas 17 tahun) belum ditemukan strategi yang tepat, karena kita belum bisa mengarahkan mereka. Untuk sementara hanya melatih anak-anak usia 9 – 17 tahun seminggu sekali,” ujar Budiansyah, fasilitator PNPM Peduli yang saya temui pada pelatihan kader di desa Lawe.
Pak budi sering mengajak anak-anak yang berkumpul untuk diajar, metodenya belajar sambil bermain. Pak budi biasa di sana 3 hari, karena belum ada perkembangan untuk ketemu dengan warga, sehingga balik lagi untuk mencari waktu yang tepat. Biasa juga dia satu minggu di porelea untuk mendekati masyarakat. “Kendala di desa adalah waktu warga untuk berkumpul, kita susah menemukan waktu mereka untuk diajak ngobrol, sehingga kita biasa di sana tapi tidak bekerja apa-apa, karena sulitnya menemui masyarakat,” tambah Budi.
Tapi, sebulan ini kurang intens, karena aktivitas masyarakat yang padat, seperti pembuatan jalan desa dengan model mapalus. Setelah kerja, biasa mereka menghabiskan waktu di kebun.
Yang dibingungkan oleh Budi adalah bentuk atau pola yang tepat untuk diterapkan dalam mengajar atau mengajak orang dewasa yang buta huruf. Sampai saat ini ia masih kesulitan untuk mengajak mereka untuk ke sanggar yang terletak di Lobo (rumah adat), sementara para kader juga kesulitan mengajar mereka di rumah masing-masing. Sepertinya para kader juga kehabisan waktu untuk berkebun, mengajar di sekolah umum pada pagi harinya, serta mengajar anak-anak yang buta huruf di Lobo.
Kesehatan
Selama program PNPM Peduli sudah ada empat ibu hamil yang ditolong oleh Selestin. Cuma seorang terpaksa dipanggilkan bidan di Pustu Koja, karena plasentanya tidak mau keluar. Ibu yang baru melahirkan bernama Asni, anaknya sehat dengan berat 3,5 kilogram. Selestin sudah bisa memperbaiki posisi bayi dan kemarin ibu Asni melahirkan begitu cepat.
Untuk sektor kesehatan, program PNPM Peduli dalam memperbaiki metode persalinan tampak berjalan baik. Cuma yang masih timpang yang saya amati adalah pemanfaatan beberapa fasilitas yang kurang maksimal, seperti timbangan untuk ibu hamil yang ukurannya tidak presisi, serta penggunaan alat mengukur tensi darah yang belum terlalu dikuasai oleh para kader.
Sampai saat ini peranan bidan di Porelea masih sangat kurang, dukun masih mengambil alih sebagian besar proses persalinan di Porelea. Bidan datang ke Porelea setiap tiga bulan sekali atau di atas tiga bulan. Belum lagi untuk penyakit-penyakit yang lain, seperti ISPA, pnemonia, kista, tubercolosis, yang mungkin juga diderita oleh penduduk Porelea. Penyakit-penyakit ini tidak ditangani dengan baik, karena fasilitas kesehatan sangat jauh, untuk mendapatkan obat juga mereka harus turun ke Kulawi atau ke Kota Palu. Celakanya, mereka tidak mengetahui fasilitas Jamkesmas, sehingga mereka membeli obat di apotik dengan harga obat yang mahal. Pengalaman buruk itu diingatnya terus menerus, sehingga membuat mereka berpikir bahwa biaya kesehatan sangat mahal, dan ketika mereka sakit, mereka takut membeli obat. Padahal sebenarnya ada fasilitas Jamkesmas.
Intervensi yang harus dilakukan, dengan mendesak dinas kesehatan untuk selalu berkunjung ke desa. memberikan penyuluhan kesehatan pada warga, dan membawa obat dan peralatan standar ke desa. pasti banyak warga desa yang membutuhkan.
“kalau ke Porelea lagi, saya ingin mendata jenis tanaman obat yang ada di Porelea,” ujar Budi.
Kesempatan berusaha
Kesempatan berusaha di Desa Porelea masih sebatas rencana. Saat ini telah disediakan fasilitas mesin penggiling kopi untuk pendirian industri kopi. Alatnya sudah ada, namun metode dan model industri kopi belum disusun dengan bagus. Ini diakui oleh fasilitator PNPM Peduli, “saat ini sementara persiapan pembentukan struktur pengurus, sehabis lebaran saya akan mengonsolidasi warga untuk menyusun pengurus,” kata Budiansyah.
Rencananya, terlebih dahulu ditetapkan standar kualitas kopi, kopi yang masuk ke pabrik adalah kopi yang telah disortir, yaitu kopi yang telah matang. “DI desa kita sudah mendapatkan ahli sortir (quality control),” ungkap Budi. Selain itu, petani yang ingin menjual kopinya di industri, harus mendaftarkan diri dulu di industri. Petani yang tidak mendaftar tak dapat menjual kopinya.
Tapi, hal yang perlu diperhatikan juga adalah persoalan manajemen dan pengetahuan (teknis/misalnya kepala mekaniknya/sumberdaya manusia). Sebab, jika proses pengolahannya buruk, hasilnya pun tidak maksimal sehingga harganya akan rendah. Sehingga, penentuan pengurus sangat penting, pengurus haruslah orang yang bertanggungjawab dan punya pengetahuan teknis, serta mampu bekerjasama. Di sinilah peran fasilitator untuk mendesain kelembagaan yang matang dan efisien.
Sementara ini yang telah dilakukan adalah pembenahan kebun dengan metode pemangkasan. “Telah ada empat kebun yang dipangkas,” ujar Abed Nego, Kepala Desa Porelea. Tapi, setelah konfirmasi ke Budi, untuk saat ini masih sebatas sosialisasi metode pemangkasan. Saat pelatihan kader 24 Oktober 2012, Budi kembali memberi penyuluhan pada petani tentang permasalahan di kebun cokelat serta metode perkebunan dengan baik. Seperti penentuan jarak tanam, pemangkasan ranting yang tidak penting, dan cara pemanenan/pemetikan cokelat dengan baik.
Rencananya, pelatihan ini akan berlanjut di sekolah lapang pada demplot yang ada di desa. di Porelea belum ada demplot-nya.