Pengantar
Hutan Rakyat mulai diperhitungkan saat mulai terasanya kekurangan hasil kayu dari kawasan hutan negara, baik itu sebagai kayu pertukangan, kayu industri, maupun kayu bakar. Di samping fungsi hutan rakyat juga untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan, serta untuk pengentasan kemiskinan.
Hutan Rakyat mulai terlihat pada 1952, ketika Dinas Pertanian Rakyat memperkenalkan Gerakan Karang Kitri, yaitu gerakan menanami lahan-lahan kosong untuk antisipasi terjadinya erosi. Namun saat itu masih kurang memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat. Tahun 1964 – 1965 Indonesia mengalami kekurangan bahan pangan, saat itu Hutan Rakyat diarahkan pada jenis tanaman pangan/palawija. Tahun 1976 mulai digalakkan penanaman di lahan milik yang disebut program penghijauan. Penekanannya pada aspek konservasi, sehingga jenis tanaman tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, hutan rakyat sangat membantu memenuhi bahan baku industri kayu dan cukup meningkatkan perekonomian masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penyelenggaraan kehutanan dengan memperhatikan aspirasi dan mengikutsertakan masyarakat telah menjadi landasan yang utama. Bahkan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 70 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999). Maka didoronglah pembangunan hutan rakyat.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 68/Menhut-II/2011 tentang Standar dan Pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) pada pemegang izin atau pada hutan hak. Maka SVLK mesti dimasukkan dalam perubahan UU No. 07 2008 sebagai bentuk komitmen terhadap tata kelola kehutanan yang baik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), daerah memiliki keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing guna kesejahteraan penduduk kota/kabupaten tersebut. Dengan demikian, peraturan tentang pengelolaan hutan hak ini perlu disesuaikan kembali dengan kondisi, kebutuhan dan potensi daerah Bulukumba. sehingga pelaksanaan aturan tidak merugikan masyarakat.
Hal lain yang harus dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan bahwa pemahaman petani hutan rakyat terhadap produksi dan kualitas kayu masih kurang, disamping itu pemasaran hasil jual beli kayu masih bersifat perorangan, sehingga harga jual kayu rendah dan sering dipermainkan oleh pedagang. Juga perlu ditingkatkan pemahaman mengenai kualitas tanah dan aspek lingkungannya agar penentuan bibit sesuai dengan kondisi lahan dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dalam perubahan undang-undang perlu ditambahkan mekanisme pendampingan dan pembinaan pada petani hutan rakyat. Mengarah ke sana, sertifikasi hutan rakyat sebagai salah satu langkah pembinaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat menjadi unit usaha masyarakat yang berkelanjutan.
Tinjauan Konseptual Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan Hak
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, membagi hutan berdasarkan statusnya menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Secara definisi pada pasal 1, hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Pada hutan hak, konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat dilakukan adalah dengan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephut, 1999). Pengelolaan hutan berbasis hutan rakyat memiliki kelebihan dibanding dengan pengelolaan hutan pada hutan negara, yaitu tidak terkendala oleh peraturan-peraturan yang mengikat didalamnya karena memang murni hutan tersebut pada tanah hak sehingga rakyat bebas melakukan apa saja pada lahan hutan miliknya, sedangkan pengelolaan hutan pada hutan negara, kendala utamanya adalah pada peraturan-peraturan yang mengikatnya, mulai dari perizinan hingga pelaporan yang harus dilakukan masyarakat dalam mengelola hutan.
Hutan Hak memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan ekologi, dari beberapa data dan fakta yang diperoleh, hutan rakyat mencakup tiga manfaat tersebut. Secara ekonomi hutan hak memberikan manfaat, data tahun 2011 menunjukkan bahwa dalam luasan total yang hanya 22.500 ha, hutan rakyat Bulukumba mampu memasok 24.236 m3 kayu bulat, dengan perkiraan jumlah perputaran uang mencapai 1,2 milyar Rupiah.
Hutan rakyat juga memberikan fungsi sosial, sebagai salah satu media yang dapat mendukung kegiatan sosial kemasyarakatan, ketika ada kegiatan gotong-royong/kebudayaan yang membutuhkan kayu atau hasil hutan maka hutan rakyat dapat menjadi salah satu penyedianya. Ketika masyarakat membutuhkan kayu untuk membangun atau memperbaiki rumah maka hutan rakyat dapat menjadi penyedia kayu tanpa harus membeli.
Selain fungsi ekonomi dan sosial, hutan rakyat juga memberikan fungsi ekologi. Hutan rakyat dapat membuat iklim mikro (micro climate) daerah di dalam dan sekitar hutan sehingga memberikan suasana sejuk dan indah. Hutan rakyat juga memberikan sumbangsih terhadap penyerapan emisi carbon dan pengurangan efek global warming. Di bulukumba, hutan rakyat dapat merehabilitasi serta memunculkan mata air pada lahan yang sudah kritis. Terpenuhinya fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi dalam pengelolaan hutan rakyat menunjukkan bahwa hutan rakyat adalah contoh positif pengelolaan hutan oleh masyarakat serta membuktikan bahwa masyarakat dapat mengelola hutan secara lestari.
Prinsip-prinsip Hutan Rakyat
Sistem hutan rakyat memiliki prinsip-prinsip sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (2004) sebagai berikut :
- Aktor utama pengelola adalah rakyat/masyarakat lokal/adat.
- Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan
- Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya
- Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat
- Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat.
- pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya
- Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah memalui proses adaptasi dan berada dlam batas yang dikuasai oleh rakyat.
- Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian
- Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama
- Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya , dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Permasalahan
Terdapat beberapa permasalahan mendasar dalam pengelolaan hutan rakyat :
- Penguasaan data dan informasi mengenai hutan rakyat belum maksimal. Inventarisasi sebaran, letak, luas, jenis dan perkiraan potensi, pemaikaian untuk fasilitas publik serta inventarisasi lahan pengembangan seperti lahan terlantar, lahan solum tips, dan pada lahan kemiringan masih kurang.
- Sosialisasi pelaksanaan program hutan rakyat belum berjalan sebagaimana mestinya. Sosialisasi ini untuk menyamakan persepsi dalam menyelenggarakan usaha hutan rakyat kepada para pelaku (instansi, mitra usaha, asosiasi, petani dan LSM). Misalnya pemahaman mengenai perizinan pada hutan milik.
- Pemilihan jenis tanaman masih kurang memerhatikan aspek pemasaran dan keinginan petani lahan milik.
- Kemampuan dan pengetahuan petani kayu dalam memproduksi kayu yang berkualitas masih kurang. Pemasaran hasil kayu juga masih perseorangan belum berbentuk asosiasi atau kelompok (Asosiasi sudah ada tapi belum maksimal).
- Koordinasi antar dinas terkait, Dinas Kehutanan, Dinas Perdagangan dan perindustrian serta Bappeda masih kurang. Peredaran kayu rakyat dan pemanfaatannya kurang maksimal.
- Pemahaman mengenai Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada Hutan Hak yang masih kurang.
Pengelolaan hutan Hak/Rakyat di Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba memiliki luas daratan 115.467 Ha, dari luas tersebut Bulukumba memiliki luas kawasan hutan Negara sebesar 7,32% atau 8.435 Ha dengan pembagian fungsi hutan lindung (HL) seluas 3.537 Ha, Taman Hutan Rakyat / Konservasi seluas 3.537 Ha, hutan produksi (HP) seluas 931,25 Ha dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 509 Ha. Luas luar kawasan hutan diperkirakan 39.978,055 Ha, dan luas penggunaan areal lain untuk irigasi 23.365 ha, padi sawah 45.040 Ha, kawasan pemukiman 11.842,38 Ha, lahan perkebunan 54.473 ha, dan hutan kota seluas 20 Ha (sumber : BPS Bulukumba 2010, dinas kehutanan dan perkebunan Bulukumba 2011).
Berdasarkan luas luar kawasan hutan sebesar 39.978,055 maka diperkirakan luas hutan rakyat adalah 22.500 ha dengan sebaran di 9 kecamatan yaitu Kajang, Herlang, Bontotiro, Bontobahari, Ujungloe, Bulukumpa, Rilauale, Gantarang, dan Kindang.
Pola produksi / penanaman tegakan hutan di Bulukumba umumnya adalah system polikultur atau agroforestry, dengan penanaman jenis kayu perdagangan seperti Sengon, Mahoni, Gmelina, Bitti, Suren dan Jati, yang bercampur dengan tanaman jenis MPTS (multi purpose tree) seperti rambutan, durian dan mangga. Juga bercampur dengan tanaman jenis perkebunan seperti cokelat, petai, kopi dan cengkeh. Luasan rata-rata lahan yang dimiliki petani antara 0,5 – 1 ha.
Meskipun demikian pada 1 – 2 titik lokasi lahan di masing-masing kecamatan Herlang, Kajang dan Bontorito terdapat sistim monokultur atau tanaman sejenis seperti tegakan jenis Jati Super, Jati Putih (gmelina) dan Sengon dengan luasan rata-rata 0,5 – 1 ha per pemilik petani.
Pola produksi / penanaman yang dilakukan petani sangat dipengaruhi oleh berbagai program pembibitan dan penanaman dari pemerintah, baik melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan, program One Man One Tree, Kebun Bibit Rakyat dan kegiatan pendistribusian bibit yang dilakukan oleh pihak perusahaan kayu.
Sebaran permintaan kayu rakyat terbesar ada pada kecamatan Kajang, Herlang dan Bontotiro, yang ditandai dengan banyaknya jumlah titik pengumpulan kayu sementara pada 3 kecamatan tersebut rata-rata 15 – 30 titik. Jumlah volume rata-rata pengangkutan kayu ke sawmill kecil sebesar 4 – 5 m3 dengan intensitas pengangkutan rata-rata 2 – 3 kali per minggu, sehingga rata-rata besaran volume angkut 40 m3 per bulan, jika dikalkulasikan jumlah sawmill kecil sebanyak 50 sawmill maka permintaan kayu sebesar 2.000 m3 per bulan atau 24.000 m3 per tahun. Sedangkan untuk industri primer besar yang jumlahnya 10 industri rata-rata permintaan kayu per bulan sebesar 150 m3 per bulan dengan kalkulasi 1.500 m3 per bulan atau 18.000 m3 per tahun.
Jumlah serapan kayu pada industri perahu dan kapal terbilang cukup besar, temuan yang ada rata-rata permintaan pasokan kayu rakyat sebesar 40 – 80 m3 / 3 (tiga) bulan untuk 1 unit perahu, rata-rata produksi perahu 3 – 5 unit per tahun untuk 1 industri kapal. Untuk pembuatan kapal besar membutuhkan pasokan 80 – 200 m3 / 9 (Sembilan) bulan dengan rata-rata produksi 1 – 2 unit kapal per tahun untuk 1 industri kapal. Untuk pembuatan kapal pesiar membutuhkan pasokan rata-rata 400 m3 / 18 (delapan belas) bulan untuk 1 industri kapal, rata-rata produksi 1 unit setiap 3 – 5 tahun untuk 1 industri kapal. Terdapat 5 industri kapal besar yang aktif dan kurang lebih 20 industri pembuat perahu di Tanaberu yang masih beroperasi. Pembuatan perahu dan kapal sangat bergantung pada permintaan buyer (pembeli) yang umumnya dari luar Bulukumba, terkhusus pembuatan perahu selain permintaan dari kabupaten lain juga melalui proyek tender pemda Bulukumba di Dinas Perikanan dan Kelautan dan Dinas Perhubungan setiap tahunnya rata-rata 3 unit perahu dalam sekali tender.
Dinas Kehutanan dan perkebunan kabupaten Bulukumba telah membangun inisiatif kerjasama sejak tahun 2011 guna mengawal pemberlakuan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut‐II/2009 dan perubahannya Permenhut P.68/Menhut-II/2011 Tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak dan Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu dan peraturan turunan lainnya. Bentuk pengawalan yang menonjol adalah mendorong dukungan kebijakan pemda Bulukumba terhadap pengelolaan hutan hak.
Guna merespon hal tersebut diatas, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba atas dukungan fasilitasi Sulawesi Community Foundation telah melaksanakan pertemuan multipihak melalui pertemuan diskusi roundtable seri I tentang kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba yang dihadiri unsur SKPD dan parapihak terkait yaitu dinas perindustrian dan perdagangan, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, biro hukum pemda, Komisi B DPRD Bulukumba, Asosiasi Kayu Rakyat, Himpunan Pengusaha Kayu dan wakil salah satu perusahaan kayu di Bulukumba.
Hasil-hasil pertemuan tersebut antara lain adalah rekomendasi pembentukan tim legal drafting untuk perbaikan PERDA no. 7 tahun 2008 tentang pengelolaan hutan hak Bulukumba, dan kemauan parapihak untuk bersinergi dalam program-program pengelolaan hutan rakyat dan negara.
Penutup
Tulisan ini diolah dari laporan naskah akademik tentang perubahan Perda Nomor 7 tentang pengelolaan hutan hak di Bukulumba yang dilaksanakan oleh Sulawesi Community Foundation (SCF) bersama Universitas Hasanuddin dan Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. semoga tulisan ini bermanfaat bagi khalayak banyak mengenai informasi terkait hutan hak dan pengelolaan kayu rakyat. Terimakasih.