Selamatkan Hutan Melalui Perda HKm

Kondisi hutan yang kian memprihatinkan mendorong Pemerintah Daerah Bulukumba menyusun Perda untuk menyelamatkan hutan dari kerusakan. Tahun 2009 lalu, Pemda Bulukumba mengeluarkan Perda yang mengatur mengenai pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (HKm), yakni Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2009.

Lahirnya Perda tersebut awalnya diinisiasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, karena melihat kondisi hutan kian mengkhawatirkan. Kerusakan dipicu oleh perilaku masyarakat dalam memanfaatkan hutan. Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan pada umumnya, memanfaatkan hutan tanpa terkendali. Bahkan, makin lama kawasan hutan yang mereka eksploitasi makin luas. Ketika itu belum ada aturan yang mengikat mereka dalam memanfaatkan hutan.

Melihak kondisi ini, Dinas Kehutanan berinisiatif mengajak Bagian Hukum Kabupaten Bulukumba untuk merancang Perda mengenai HKm. Salah seorang anggota tim perumus Perda tersebut, Andi Asnarti mengungkapkan, jika langkah tersebut tidak segera diambil, maka dapat dipastikan kawasan hutan di Bulukumba akan semakin rusak tak terkendali. “Jika masyarakat tetap dibiarkan mengeksploitasi kawasan hutan tanpa pengendalian, maka hutan tidak bisa dipertahankan lagi,” katanya.

Meskipun Perda tersebut lahir pada tahun 2009, namun diskusi mengenai langkah penyelamatan hutan di Bulukumba telah dimulai sejak 2007-2008. Dinas Kehutanan dan Bagian Hukum Pemda sering melakukan diskusi dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.

Asnarti menjelaskan, atruran mengenai pemanfaatan HKm semestinya bisa diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup). Namun, daya ikat Perbup dinilai tidak terlalu kuat. dari segi hukum, Perda dinilai lebih kuat sebab pembuatannya melibatkan Pemda dan DPRD.

Melahirkan Perda No. 4 Tahun 2009 tersebut bukan tanpa hambatan. Awalnya, langkah yang ditempuh oleh Dinas Kehutanan dan Bagian Hukum Pemda Bulukumba mendapat tentangan dari masyarakat yang tinggal di kawasan hutan. Mereka menyangka, pembuatan Perda tersebut akan membatasi mereka dalam memanfaatkan hutan. Apalagi, mereka telah tinggal di kawasan tersebut selama puluhan tahun.

Menurut Asnarti, salah satu kendalanya adalah tidak adanya sosialisasi. Selama ini masyarakat dibebani pembayaran pajak atas kawasan hutan yang mereka kelola. Sementara menurut pemahaman sebagian besar masyarakat, dengan membayar pajak berarti kawasan tersebut telah disahkan sebagai milik mereka.

Padahal sesuai hukum dan undang-undang, pembayaran pajak dikenakan bukan hanya untuk kepemilikan tanah atas nama pribadi, melainkan juga untuk setiap kawasan yang mereka manfaatkan, termasuk hutan milik pemerintah. “Setelah proses diskusi panjang akhirnya mereka bisa mengerti,” jelas Asnarti.

Saat ini, setelah lahirnya Perda tersebut, masyarakat sudah lebih mengerti akan tata kelola HKm di kawasan mereka masing-masing. Mereka tidak hanya mengelola hutan untuk kepentingan ekonomi, melainkan turut menjaga kelestarian ekologi.

Kepala Seksi Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, Nur Muadzir mengatakan, saat ini setidaknya 2 kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat setempat di Bulukumba, yakni kawasan hutan Anrang dan kawasan hutan Bangkeng Buki’. Di kedua kawasan tersebut, masyarakat dibagi ke dalam beberapa kelompok.

Di kawasan Anrang, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) telah terbentuk sejak tahun 2002. “Pada saat itu telah terbentuk 3 KPH,” kata Nur Muadzir. Pada tahun yang sama, Dinas Kehutanan juga mulai melakukan pendampingan kelembagaan.

Pada tahun 2007, Dinas Kehutanan mulai masuk ke kawasan hutan lainnya, yakni kawasan Bangkeng Buki’. Di sana kemudian, kembali terbentuk 3 KPH. Tahun 2010, 3 KPH tersebut dimekarkan menjadi 10 KPH karena anggota yang semakin bertambah. Bahkan ada KPH yang jumlah anggotanya mencapai 300 orang. “Pendampingan dilakukan atas bantuan dari beberapa pihak, seperti Sulawesi Community Foundation, KPB dan DFID,” jelas Nur muadzir.

Dalam proses pendampingan tersebut, beberapa kegiatan yang dilaksanakan adalah bantuan bibit dan penanaman. Jenis kayu dipilih yang bisa memberikan manfaat dari segi ekonomi bagi masyarakat, seperti mahoni, sengon, gaharu, dan jati. Pembagian bibit tersebut dianggap sebagai motivasi agar masyarakat selalu bersemangat melakukan penanaman.

Di samping itu, masyarakat juga memanfaatkan lahan di kawasan untuk perkebunan. Di kawasan Anrang dan Bangkeng Buki’, pada umumnya masyarakat membudidayakan tanaman kopi dan kakao. “Dari segi hasil, mereka bisa memanfaatkan apa saja selain hasil,” jelas Nur Muadzir.

Semenjak lahirnya Perda No. 4 tahun 2009 tersebut, pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat jauh lebih teratur dan bisa dikontrol. Perekonomian masyarakat pun mengalami peningkatan. Meski saat ini belum ada data pasti mengenai pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan maupun perbandingan antara pendapatan sebelum dan setelah adanya aturan yang jelas mengenai HKm, namun setidaknya hal tersebut dapat dinilai dari kondisi masyarakat saat ini. “Ada peningkatan ekonomi meski tidak serta merta,” katanya.

Dinas Kehutanan pun aktif melakukan pengawasan dengan mengerahkan tenaga polisi hutan. Setiap kawasan biasanya diawasi oleh 3-4 personil polhut. Namun, masyarakat juga turut diajak untuk menjaga kawasan mereka sendiri. Mereka rutin melakukan pertemuan setiap bulan bersama Dinas Kehutanan di dalam kawasan untuk berdiskusi mengenai kawasan hutan yang mereka kelola.

Saat ini luas HKm di Bulukumba sesuai SK Menteri Kehutanan tahun 2011 mencapai 2225 hektare. Namun, yang dikelola baru mencapai 50 persen saja. Karena itu, Dinas Kehutanan menargetkan hingga tahun 2015 keseluruhan kawasan bisa dimanfaatkan masyarakat.(*anis)

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content