Pembangunan sektor kehutanan terlihat massif sejak pemerintah (orde baru) melancarkan memperbolehkan sektor swasta untuk menebang dan mengekspor log (kayu bulat). Berdasarkan Undang-undang No. 1/1967 dan Undang-undang No. 6/1968 mengenai investasi asing dan dalam negeri, juga Undang-undang Kehutanan No. 5/1967 dan Peraturan Pemerintah No.21/1970 mengenai dibolehkannya melakukan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) selama 20-25 tahun, pemotongan kayu log dan industri kehutanan (plywood).
Kebijakan ini meningkatkan devisa negara hingga berlipat-lipat, sehingga sektor kehutanan menjadi sumber pemasukan utama bagi negara. Namun, kekayaan negeri ini hanya dinikmati oleh para pengusaha, kolega pemerintah dan juga multicorporat asing yang terlibat, sementara warga sekitar hutan tempat areal konsesi dan kawasan produksi tidak meningkat taraf kehidupannya, dan mereka yang tinggal di area konservasi dan hutan lindung, selalu kesulitan mengakses hutan untuk keperluan hidupnya sehari-hari.
Berbasis masalah tersebut, pada masa reformasi mulai dibuka keran untuk masyarakat dalam pengelolaan hutan. Dikenal dengan istilah CBFM (Community Based Forest Management). Tahun 2007 berbagai perangkat regulasi tentang skema CBFM disusun, dengan diterbitkan P.37/Menhut-II/2007 tentang hutan kemasyarakatan, P.23/Menhut-II/2007 tentang tata cara permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman rakyat, serta P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.
Untuk regional Sulawesi, potensi pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat melalui skema HTR, HKm, Hutan Desa, masih sangat terbuka. Dari 12.489.910 Ha kawasan Hutan di Sulawesi, baru 1.917.612 Ha yang dimanfaatkan pelaku usaha (IUPHHK). Menanggapi skema hutan berbasis masyarakat ini, Sulawesi Community Foundation (SCF) pada Rabu – Sabtu (11 – 14 April 2012), melaksanakan Training untuk Pendamping CBFM regional Sulawesi. SCF berinisiatif mengundang organ-organ CSO (Civil Society Organitation) daerah regional untuk mengikuti training di Hotel JL.Star, Panakukang Makassar. Tujuan training ini yaitu untuk meningkatkan kapasitas pendamping masing-masing utusan LSM dalam proses pendampingan masyarakat sekitar hutan.
Peserta training ini antara lain utusan dari KEKER Sulut, KARSA Sulteng, Jambata Sulteng, SIKAP Sulteng, Lampion Jeneponto, YLLI Luwu, Walda Toraja, dan TLKM. Hadir sebagai Fasilitator adalah Eko Budiwiyono, Trainer CBFM dari Yogyakarta, bersama Rustanto Suprapto, yang juga Direktur Eksekutif SCF. “Kegiatan training ini merupakan bagian dari FGP (Forest Governance Programme) yang telah masuk di fase kedua. Kita ingin meningkatkan luasan akses legal, juga agar area kelola masyarakat semakin luas diantara banyaknya kepentingan yang ingin menguasai kawasan hutan,” ungkap Rustanto.
Menurut Eko Budiwiyono, fasilitasi itu mempermudah persoalan, sehingga dibutuhkan keahlian dalam berkomunikasi. “fasilitator itu mencoba untuk mempengaruhi, mengarahkan pikiran orang lain dan membantu merumuskan piliihan solusi, sehingga mesti mempunyai tiga kemampuan komunikasi, yaitu komunikasi sosial, komunikasi administrasi (dalam bentuk tulisan dan laporan), serta komunikasi politik yang berhubungan dengan struktur kekuasaan,” ujar Eko.
Tugas dari para pendamping ini, boleh dibilang cukup besar. Mereka mesti mendampingi masyarakat dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam, dimana masih banyak faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi. Misalnya faktor birokrasi yang lamban dalam merespon usulan maupun ijin yang harus dikeluarkan, selain itu, pemahaman birokrasi di daerah yang belum merata dalam hal memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan.
Dalam empat hari itu, peserta diberi pemahaman mengenai skema cbfm, seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat. Para pendamping juga dibekali tools analisis gender, serta metode fasilitasi dalam penyiapan masyarakat, pengajuan dan penetapan areal kerja cbfm, pengajuan perjinan, dan bagaimana membangun kerja-kerja kalaborasi dan multipihak.