2018 silam, sekitar 10 orang dewasa bersama 3 orang tim pemetaan yang ditunjuk oleh SCF melakukan penataan batas dengan bekal GPS di tangan. Deras hujan yang turun tidak menyurutkan semangat warga Desa Belapunranga, Kabupaten Gowa, untuk mengelilingi batas luar wilayah kelola mereka di areal konsesi Inhutani. Kadang, langkah mereka cukup terhambat karena harus melewati bukit yang cukup curam, dan jalan setapak licin akibat hujan.
Pengukuran batas wilayah kelola ini dilakukan sebagai upaya mendorong akses legal masyarakat dalam mengelola lahan yang merupakan areal hutan negara (Fungsi produksi) yang telah dibebani izin pada perusahaan milik negara Inhutani. Praktik hubungan yang timpang antara masyarakat desa Belapunranga dengan pemilik izin konsesi menghasilkan terlemparnya masyarakat sekitar dari ruang produksi. Masyarakat, umumnya hanya dijadikan sebagai pekerja pada masa awal kedatangan pemilik izin. Mereka diupah dengan harga yang tidak seberapa untuk membabat hutan, lalu menanam bibit Akasia pada lahan seluas 407 Ha (konsesi). Setelah bibit Akasia tersebut tegak berdiri, masyarakat yang tadinya bergantung hidup pada lahan tersebut harus tersingkir. Mereka tidak dibolehkan masuk, apa lagi mengusahakan penghidupan di bawah tegakan, karena dikhawatirkan terjadi pencurian kayu atau pengrusakan.
Kokohnya pengamanan di tingkat tapak, berhasil menghalau masyarakat masuk ke dalam konsesi, kecuali mereka yang sembunyi-sembunyi. Jawara di tingkat kampung-kampung hingga elit desa dipekerjakan sebagai pengamanan. Mereka ditugaskan untuk memastikan masyarakat tidak melakukan perlawanan. Meski tidak sedikit, kejadian yang melibatkan adu fisik antara masyarakat dengan pihak pengaman di tingkat tapak, bahkan hingga upaya pemenjaraan warga, namun pada akhirnya kesepakatan terjalin di antara mereka. Masyarakat dipersilahkan untuk berusaha di bawah tegakan, dengan catatan tidak merusak atau menebang Akasia.
Melalaui fasilitasi kemitraan kehutanan, praktik samar kemitraan masyarakat dengan pemegang izin dapat dilakukan secara legal. Dengan demikian, pengukuran batas wilayah kelola masyarakat merupakan tahapan awal untuk mencapai kemitraan. Upaya ini juga berarti memberikan derajat peningkatan keamanan penguasaan lahan, karena lahan yang dikuasai tidak dapat diartikan sebagai kepemilikan.
Setelah melakukan pengukuran tata batas, masyarakat yang mengelola lahan dalam kawasan tersebut melakukan sejumlah pertemuan. Pertemuan dilakukan untuk memastikan siapa saja yang mengelola dan luasannya, pengumpulan KTP atau KK sebagai legalitas formal, lalu pembentukan kelompok beserta strukturnya. Keputusan pembentukan kelompok kemudian disahkan oleh penyuluh kehutanan dan diketahui oleh pemerintah desa.
Setiap kelompok diwajibkan untuk membuat profil yang berisi gambaran umum lokasi, jenis tanaman yang selama ini diusahakan, serta rencana pemanfaatan untuk ke depannya sebagai lampiran dalam surat pengusulan kemitraan kehutanan. Dokumen pengusulan diserahkan langsung ke kantor Inhutani wilayah yang berlokasi di Kabupaten Gowa, Kota Sungguh Minasa. Dokumen pengusulan tersebut diterima langsung oleh kordinator wilayah.
Terdapat 7 kelompok yang berhasil terbentuk dan membuat dokumen pengusulan kemitraan kehutanan. 3 kelompok di desa Belapunranga, dan masing-masing 2 kelompok dari desa Manuju dan Borisallo.
Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan Pemegang Izin pemanfaatan hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin usaha industri primer hasil hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan sebagaimana penjelasan dalam Permenhut Nomor P.39/Menhut-Ii/2013 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Skema kemitraan kehutanan dapat berfungsi sebagai ruang mediasi yang disebabkan karena adanya pertentangan klaim atas sumber daya hutan antara masyarakat dengan pemegang izin konsesi.