Ekspedisi Desa Bacu-bacu (Part III)

Akibat jalanan ini pula listrik baru masuk ke Bacu-Bacu awal tahun 2012. Sebelumnya warga hanya menikmati listrik dari pembangkit listrik tenaga air (kincir air). Tapi, Ketiadaan listrik ini kurang diketahui dampaknya terhadap kehidupan warga, setidaknya kehadiran listrik setahun ini lebih memudahkan warga dalam beraktivitas di rumah pada malam hari, bisa bersantai menikmati televisi. Hal menyulitkan lainnya adalah belum massifnya jaringan handphone di desa ini, kita kesulitan untuk mengirim dan memperoleh informasi lewat telepon, sebab sinyal HP hanya ada di sekitaran bukit di atas kantor desa.

Mata pencaharian utama warga desa ini adalah dengan bertani pada lahan tadah hujan irigasi sederhana. Sawah penduduk Bacu-Bacu digunakan dua kali dalam setahun, enam bulan pertama di tanami  padi yang diawali dengan penyiapan lahan pada November, penanaman pada Januari hingga panen pada April. Pada bulan enam, sawah tersebut dipersiapkan untuk ditanami kacang. Kacang berbeda dengan padi, komoditas ini dapat bertahan dengan kondisi air minim atau dapat tumbuh pada musim kemarau. Selain di sawah pada musim kemarau, kacang juga ditanami penduduk pada ladang-ladang kering pada musim hujan. Sehingga kacang panen sebanyak dua kali dalam setahun.

IMG_2975

Menurut Meleng, sejarah penanaman padi di desa ini juga mengalami perubahan-perubahan. Tahun 1970-an, masyarakat masih menolak kedatangan bibit baru serta pupuk. Masyarakat memang dalam menanam padi hanya untuk kebutuhan makan saja, bukan untuk dijual, sehingga mereka belum merasa perlu untuk memperluas atau pun menambah kapasitas produksi mereka. Waktu itu padi yang bernama Padi Galung,  padi yang batangnya panjang itu pun dipelihara dalam rentang waktu panjang, yaitu sekitar enam bulan. Kemudian perlahan-lahan diperkenalkan pupuk dan pestisida, dimana gabah mereka lebih cepat dipanen. Namun, kini warga pun merasakan ketergantungan tinggi pada pupuk (urea, Za, Posca), dan pestisida.

Padi galung ini tetap ditanam hingga kini, lantaran bibit ini dianggap cocok dengan kualitas tanah yang ada di Bacu-Bacu. Walau tiap tahun dinas pertanian selalu memperkenalkan bibit hasil persilangan, seperti padi Bogo, AC Daeri, dan Padi Gadis untuk diujicoba di desa ini. Persentase padi ujicoba di lahan warga sekitar 5 persen. Namun, biasanya bibit ujicoba ini terlambat dikirim ke desa, sehingga biasanya orang telah menanam baru bibit itu datang, sehingga menimbulkan ketidak seragaman waktu tumbuh. Terkait dengan padi galung, “Hasil padi galung lumayan bagus, tapi cukup keras,” ungkap Meleng.

Sepertinya, sudah waktunya untuk memikirikan peralihan penggunaan pupuk kimia ke pupuk organik, serta dari pestisida kimiawi ke pestisida organik. Sebab jika penggunaan pupuk kimiawi dan pestisida kimiawi ini terus berlanjut, tak lain akan merugikan petani kelak, unsur hara pada lahan menipis dan terus digantikan oleh pupuk, sehingga penggunaan pupuk akan semakin banyak sementara hasil panen menurun. Sedangkan penggunaan pestisida kimiawi, selain akan berakibat buruk bagi kesehatan, juga akan membuat hama dan penyakit tumbuhan tersebut bermutasi sehingga tahan terhadap pestisida. Lagi-lagi, ini malah akan menambah kerepotan para petani. sebenarnya penggunaan pupuk organik sudah sering didengar oleh masyarakat Bacu-Bacu, namun mereka mengeluhkan pembuatan dan penggunaannya yang cukup rumit.

Di samping gabah itu, tampaknya kacang-lah yang dapat melonggarkan ikat pinggang penduduk yang lahannya kurang. Misalnya petani yang lahannya hanya 0,4 hektar, produksi padi sekali panen hanya 10 – 15 karung hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. “Biasanya lahan empat are dapat satu karung padi, kalau 40 are menjadi 10-15 karung,” ujar Meleng (57), Kepala Dusun Ammerrung. Sementara kacang sepenuhnya ditukar dengan uang, ada yang menjualnya dalam bentuk kacang mentah di pasar Ralla sejauh 10 kilometer ataupun pasar Doi-Doi yang jaraknya 9 kilometer, tapi ditempuh dengan waktu 45 menit akibat jalan pengerasan yang berupa batu lepas. Kacang terlebih dahulu digiling di pabrik yang ada di desa, setelah itu menyewa angkutan untuk diantar ke pasar.

Pada musim hujan, air diperoleh dari aliran sungai besar Meru Keru, yaitu sungai yang terletak empat kilometer dari pusat desa, berada dan mengalir di ketinggian melewati lahan-lahan penduduk. Selain itu, terdapat banyak aliran-aliran kecil bercabang yang sepanjang tepinya terdapat sawah bertingkat-tingkat. Kini aliran air itu dibantu oleh saluran irigasi teknis dan perpipaan. Namun irigasi yang merupakan bantuan pemerintah itu tampak tidak terawat dan justru memicu konflik pengelolaan. Sebagian warga menyalahkan pembangunan proyek itu, yang dianggap tidak serius. Soalnya terdapat banyak kebocoran pada saluran irigasi tersebut. Sementara pada musim kemarau, air menyusut dan bahkan mengering.

Peyebab mengeringnya sungai dapat pula disebabkan karena menipisnya tegakan kayu di hamparan bukit. penipisan itu tak lain akibat dari aktivitas perladangan penduduk yang merambah hingga ke puncak-puncak bukit. akibat lainnya yaitu munculnya babi di lahan warga (kebun dan sawah), sebab babi manusia sudah memasuki wilayah teritorial babi di hutan. Wajarlah hewan pemakan segala ini mengganggu lahan, yang membuat penduduk Bacu-Bacu disusahkan dengan harus menjaga sawah saban malam. Meski begitu, warga tetap mengusahakan untuk menahan laju babi, dengan membentuk organisasi pemburu babi. Pemburu yang berhasil menangkap babi berhak memperoleh indomie sebanyak  15 bungkus.

Belakangan ini telah ada model penghijauan kembali pada lahan-lahan gundul, dengan menanaminya bibit program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Ambo Tuwo, Mantan Kepala Desa bacu-Bacu telah menginisiasi penanaman kayu-kayuan tersebut pada 2009, kelompok tani yang dipimpinnya telah memperoleh ijin penanaman dan ijin penebangan kayu yang telah ditanam pada 2011, yaitu IUPHHTR. “Namun, bibit yang telah kami tanam itu sering kali diserang ternak (sapi), sehingga banyak bibit yang mati,” ujar Ambo Tuwo. Saat ini warga menginisiasi pengumpulan dana untuk pembuatan pagar pada lahan HTR. Dana itu harus dikumpulkan oleh warga sendiri, sebab dana pinjaman bantuan (BLU) dari pemerintah sukar diperoleh. Kelompok tani harus menampakkan progres penanaman sebelum mengirim proposal permintaan anggaran.

Tahun-tahun sebelumnya, Bacu-Bacu juga pernah mendapat program HTI seluas 200 hektar dengan bibit Gmelina dan Mahoni, pernah pula dilakukan penghijauan atau reboisasi. Selain itu, pohon-pohon jati yang berasal dari pembagian HTI ataupun reboisasi itu banyak ditanami warga di halaman belakang rumah. Sehingga kelak pohon itu akan bermanfaat untuk menambah pundi-pundi keuangan warga.

Satu hal positif yang tampak istimewa di Desa bacu-Bacu, yaitu semangat belajar para generasi Bacu-Bacu. Di desa ini jangan heran ketika melihat rumah warga yang sudah lapuk, namun di ruang tamunya bertengger foto anaknya yang sudah memperoleh gelar sarjana. Para orang tua di desa ini sangat memperhatikan kelanjutan pendidikan anaknya. Mereka rela bekerja siang malam untuk memperoleh ongkos sekolah anak, bahkan banyak orang tua rela merantau ke daerah lain untuk mencari uang demi menyekolahkan anak.

Kami memperoleh data tingginya laju emigrasi di desa ini, khususnya ke Kolaka, Malaysia, dan Kalimantan Timur. Di Dusun Batulappa jumlah KK yang sementara merantau ada 21 KK, hampir semuanya merantau ke Kolaka. Dusun Ampiri terdapat 45 KK dan terbagi di tiga daerah rantauan, yaitu Malaysia, Kalimantan Timur, dan Kolaka/Kendari. Di Dusun Ammerrung terdapat 15 KK yang merantau ke Kolaka, dan empat KK yang ke Malaysia. Daerah-derah itu mereka bertani kebun, menjadi buruh kelapa sawit, atau pun berdagang. Mereka pun datang setiap dua tahun sekali atau setahun sekali. Dari data tersebut tampak begitu banyaknya warga yang merantau ke Kendari, menurut Mia, yang mengawali perantauan ke Kolaka adalah Lalluru dan La Tuwo pada 2006.

Para warga tidak hanya merantau di daerah yang jauh, mereka juga pada musim-musim tertentu merantau ke desa tetangga barang satu minggu/pekan. Tujuan perantauan ini yaitu untuk menambah pundi-pundi keuangan dengan bekerja sebagai pemotong padi (massangki) pada musim panen.

Ketika merantau, anak-anak mereka ditinggal di kampung untuk sekolah, dan jika sudah SMA  mereka menyekolahkan anaknya di desa lain yang ada fasilitas sekolah. Makanya sangat jarang ditemukan anak muda umur SMA di desa ini.

Di Bacu-Bacu terdapat sebuah SD dan SMP di Dusun Ammerrung, dan sebuah SD di Dusun Ampiri. SMP di desa ini baru dibangun tahun 2009 lalu. Anak-anak di desa ini bersekolah dengan cukup disiplin, guru-guru juga datang mengajar dengan intensif. Sehingga masa depan anak muda di desa ini boleh dikata telah memiliki modal pengetahuan. “Kalau sudah bisa membaca dan menulis, itu sudah menjadi modal untuk merantau,” ujar Mia, Ibu yang suaminya sementara merantau di Kolaka. Mia memiliki seorang anak yang masih sekolah kelas empat di SD Bacu-Bacu.

Di Bacu-Bacu ada kecenderungan bahwa anak muda lulusan SMA lebih memilih profesi tentara ataupun polisi, di samping sebagai tenaga guru. Para orang tua sangat mengidamkan anak mereka menjadi tentara, walaupun mereka harus membayar hingga puluhan juta rupiah. Contohnya Muh. Soleh, dia sudah delapan kali mendaftar jadi tentara, namun tidak sempat lulus. Ia punya kenalan di jajaran kepolisian, tapi kenalannya tidak berhasil membantunya untuk lolos seleksi. Uang yang ia bayar pun dikembalikan. Berbeda dengan temannya, ia berhasil lolos dan telah membayar uang. Saya pun bertemu dengan seorang pemuda yang masih bersekolah SMA di Desa Ralla, ia pun bercita-cita menjadi tentara. “kalau orang tua mendukung dan ada uang, saya akan mendaftar jadi tentara”.

Kembali ke perantauan, terdapat warga yang ketimpa sial ketika merantau. Ini dialami Syukur (30), ia merantau selama sepuluh tahun di Serawak Malaysia dan selama lima tahun di negeri jiran dia tidak mendapat gaji. Dia ternyata di jual sama orang yang mengirmnya ke sana menjadi buruh tanpa bayaran. Setelah 5 tahun dia lari dari perusahaan tempatnya bekerja dan akhirnya mendapat pekerjaan dimana ia sudah memperoleh gaji, meski tetap jadi buruh sawit. Selama lima tahun dia mengumpulkan uang agar bisa kembali ke Bacu-Bacu di Dusun Ampiri.

Penutup

Warga Bacu-Bacu pada umumnya tidak terlalu mengeluhkan persoalan di desanya. Mereka pun sudah terbiasa menghadapi orang luar yang masuk ke desanya. Bahkan waktu lomba desa, warga ramai-ramai membuat makanan yang sangat lezat bagi para tamu dari kota. Desa ini hampir semua warganya memiliki lahan, sehingga tidak ada warga yang betul-betul dalam kondisi papa. Mungkin ada satu dua orang, itu pun karena faktor cacat sehingga tidak bisa ke sawah, tapi keluarganya yang lain-lah yang ke sawah.

Tentang warga yang terekslusi secara internal atau termarjinalkan, hanya terjadi pada warga yang menderita penyakit berbahaya, seperti kusta dan TBC. Sebab penyidap penyakit ini akan sulit berinteraksi dengan warga lainnya. Sementara warga lainnya dianggap hanya mengalami ekslusi secara eksternal, yang disebabkan oleh kondisi jalanan yang buruk, pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Mereka rata-rata punya akses bagus di komunitas/kelompok tani mereka. Mereka pun mampu dan punya kesan baik dalam menyekolahkan anak atau generasi mereka. “Saya biasa ikut rapat kelompok tani,” ujar Lawewang, petani yang sudah sangat tua (70-an), beliau memiliki lahan 0,4 hektar dengan hasil panen sepuluh karung. Ia juga mengaku memiliki cucu yang sementara sekolah di kelas 4 Sekolah Dasar (SD). (*dam)

Author
SCF

Sulawesi Community Foundation

Leave a Reply

Skip to content